MOM

1189 Words
   Malam ini, sekitar pukul sembilan. Aku berjalan pelan di komplek perumahanku. Aku memutuskan untuk pulang hari ini. Sesaat setelah menerima telepon dari Vikar pagi tadi, entah kenapa rasanya ada dorongan yang mengharuskan aku pulang hari ini juga. Aku sengaja datang di malam hari. Aku berharap semoga Mama dan lelaki b******k itu sudah tertidur, jadi aku bisa leluasa mengendap-endap ke kamar Vikar.    Aku sudah berada di depan rumah kini. Rumah mewah di hadapanku sekarang sungguh terlihat sepi dan sunyi. Gerbang depan tertutup rapat, pintu rumah dan semua jendela juga tertutup rapat, hanya ada lampu di berbagai sudut yang menyala terang, yang masih bisa membuat orang lain berpikir bahwa masih ada kehidupan di dalam. Aku perlahan membuka gerbang, berhasil dan tidak ketahuan. Aku berdiri sesaat di halaman rumah yang sudah lama tak kuinjak ini. Aku lantas berjalan ke arah pintu, dan dengan sedikit perasaan ragu, aku membukanya.    Nice. Tak ada yang melihatku sama sekali. Aku pun berjalan sepelan mungkin agar tak timbul suara sama sekali, dan dengan segera, aku menuju kamar Vikar. Clak!    "Dek?"    Tak ada siapapun yang kulihat kini. Aku tak salah, ini kamar Vikar, tapi ia tak ada. Hanya ada berbagai macam perabotan kamar yang masih tertata rapi dalam posisinya, terlihat tak tersentuh sama sekali.    Aku menoleh kesana kemari, mencari-cari dan memikirkan kira-kira dimana Vikar. Aku berjalan pelan, masih mencarinya. Namun, aku terdiam seketika aku menghadap tangga itu. Tangga yang akan mengarahkan aku ke lantai paling atas, tepatnya yang akan mengarahkan aku pergi menuju loteng. Aku melangkahkan kakiku menapaki anak tangga satu per satu. Pikiran tentang Vikar hilang begitu saja, aku hanya ingin sampai di loteng sekarang. Hanya itu. Clak!    Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangan yang kurindukan ini. Namun, aku lagi-lagi langsung terdiam sesaat kala tiba di tempat ini. Aku melihat Vikar di sini, di atas tempat tidur itu, tengah terlelap dengan sedikit ketidak tenangan. Aku juga melihat sekelilingku. Perabotan kamar milikku, tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatianku. Hanya saja, ada begitu banyak lukisan sketsa yang tertempel di dinding kamarku ini. Aku mengambil satu lukisan itu, dan menatapnya sejenak.    Is this me?    Yap. Gadis muda berambut panjang dalam sketsa itu adalah aku. Aku melihat ke lukisan yang lain. Masih aku. Dan ternyata, aku baru sadar, semua sketsa sebanyak ini adalah gambar diriku. Sesaat setelah diam menatap semua itu, aku berjalan ke arah Vikar, dan dengan perlahan aku membangunkan dirinya. Beberapa menit setelah aku menepuk pelan tubuh penuh luka itu, ia mengerjap, lalu entah dengan alasan apa, ia terkejut dan segera bangun dari posisinya ketika melihatku.    "Kakak," ia memelukku sesaat setelah mengucap kalimat itu.    Hening, aku masih tak mengerti ia kenapa. Aku duduk di sisi ranjang, sesaat ketika kejadian dramatis itu selesai.    "Kamu kenapa?"    Ia terdiam.    Aku menunduk, mencoba memikirkan cara lebih lembut agar ia bisa buka mulut. Namun, kepalaku yang tertunduk justru melihat sketsa yang tadi aku ambil di tanganku. Aku lantas kembali menatapnya sejenak.    "Ini kakak kan dek?" tanyaku padanya seraya menunjukkan gambar itu.    Ia mendongak dan mengangguk. "Kakak kan waktu itu pernah minta dibikinin lukisan, itu udah aku bikin," ujarnya pelan.    "Tapi kenapa sebanyak ini? Satu ruangan ini kamu tempel lukisan kakak. Kenapa?"    "Aku kangen kakak," balasnya. Begitu lirih.    Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya pelan. "Kakak di sini."    Lagi-lagi hening, hanya ada kesunyian yang menemani kami sekarang. "Kamu kenapa tadi pagi nelpon kakak?" tanyaku, mulai pada inti masalah.    "Mama sama Ayah," lirihnya.    Aku mengernyit. "Kenapa?"    "Ayah nggak pulang udah dua hari. Mama terus-terusan nangis di kamarnya. Dia nggak mau keluar, nggak mau makan, nggak mau ngomong," ia mengambil jeda. "Vikar jadi takut."    "Emang Mama sama Ayah ada masalah apa?"    Vikar menatapku sesaat.    "Waktu itu mereka berantem, Vikar denger katanya Ayah selingkuh," lirihnya lagi. Kini ia menangis, meski tak sendu, aku bisa melihat tatapan takut itu di matanya, air mata bening itu seakan-akan kini menjadi sebuah rasa trauma yang terus-menerus keluar dari dirinya.    "Waktu mereka berantem, Vikar denger Ayah sama Mama terus-terusan ngomong kalo mereka mau pisah," sambungnya. ***    Sekarang, sekitar pukul setengah sebelas malam. Aku masih berada di sini. Vikar menyudahkan ceritanya padaku, ia mungkin kini merasa lebih lega, karena setidaknya ia sudah mengeluarkan apa yang ingin ia katakan.    Aku di dapur kini, meminum segelas jus jeruk yang ada di kulkas. Setelah jus itu mengalir di tenggorokanku, aku menghentakkan gelas ke meja makan, melampiaskan rasa kesalku. Aku menghela napas panjang. Lalu aku beranjak mengambil gelas yang baru dan menuangkan jus itu lagi ke dalam gelas, setelahnya aku berjalan ke kamar Mama. Aku menatap pintu berwarna coklat tanah ini sejenak. Lalu tanpa pikir panjang, aku membukanya. Clak!    Terlihat jelas, Mama di sana, tengah berbaring menyamping di atas tempat tidur. Suara isakan tangis yang pelan bisa ku dengar di kamar sunyi ini sekarang. Aku masuk tanpa izin dan meletakkan gelas berisi jus tadi di atas laci kecil samping tempat tidur Mama. Mama sontak menatapku kaget. Mata lebam itu membuatku tak enak hati. Harusnya aku ada di sisinya, menghapus air mata itu dan menghiburnya. Namun...    Tidak!    Dia bisa mengurus dirinya sendiri.    "Key? Kamu kok di sini? Kapan dateng?" tanya Mama dengan suaranya yang bergetar.    "Mama nggak seharusnya kayak gini!" ujarku.    Mama beranjak duduk dari posisinya, dan menatapku penuh tanya.    "Mama ngapain di sini? Nangis sambil nungguin laki-laki b******k itu pulang? Hah?! Mama sadar nggak sih, Mama udah ngelakuin hal yang nggak berguna!"    "Keyrina jaga bicara kamu!"    "Kenapa Ma? Aku nggak salah kan?" aku mengambil jeda. "Mama terus-terusan ngurung diri di sini tanpa mau ngelakuin apapun, Mama tau nggak sih, Vikar khawatir, ketakutan, kesepian karena Mama!"    Mama mengernyit.    "Mama itu seorang ibu, kalo Mama ngaku bijak, seharusnya Mama nggak ngelakuin semua ini. Mama harusnya tuh bisa bersikap tegar, Mama harusnya nggak nunjukin kelemahan Mama ke anak-anak Mama!"    Aku mengambil jeda, lantas menghela napas panjang.    "Lagian kenapa Mama nangisin laki-laki b******k kayak dia?! Hah?! Mama bahkan usir aku dari rumah ini dan Mama sama sekali nggak ngerasa bersalah, tapi sekarang, cuma karena Mama diselingkuhin sama laki-laki b******k itu, Mama nangis sampe kayak gini?!"    Mama berdiri dari posisinya dan menampar pipiku keras. "Cuma diselingkuhin?! Cuma kamu bilang?! Hah?! Kamu nggak ngerti yang Mama rasain sekarang!!!" bentaknya.    Aku menyeringai.    "Oh gitu. Jadi Mama sakit hati? Hah?! Dan Mama ngerasa Mama menderita sekarang?! Gitu?!"    Aku kembali mengambil jeda.    "Coba Mama pikirin yang udah Mama lakuin dulu. Mama pikir Mama udah bener? Hah?! Mama selingkuh dari Papa demi laki-laki b******k itu, Mama juga nggak ngertiin perasaan Papa waktu itu, apa Mama lupa?! Hah?! Sekarang mungkin Tuhan ngasih Mama kesakitan yang sama, sama yang udah Mama lakuin dulu ke Papa!"    Mama terdiam.    "Ini rasa sakit yang pernah Mama buat untuk Papa. Sekarang Mama ngerasain hal yang sama, gimana Ma? Mama ngerasa hancur? Atau Mama ngerasa gagal?" jeda sejenak. "Papa juga ngerasain hal yang sama dari Mama!"    "Keyrina, shut up!!!"    "Kenapa Ma?! Kasih alesan jelas kenapa Mama nyuruh aku diem? Mama malu aku ungkit masalah itu lagi? Hah?! Mama pantes diginiin. Mama selalu ngerasa bahwa Mama itu bener, tapi sekarang, Mama sadar kan kalo Mama pernah bikin kesalahan yang besar!" Plak!    Aku menatap Mama tajam. "Mama belum bisa jadi ibu yang baik!!!" bentakku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD