RAIN

1020 Words
   Apa masalah terbesar yang kalian miliki dalam hidup?    Tak bisa mendeskripsikannya pakai kata-kata? Atau mungkin sungkan untuk dikatakan?    Jika iya, berarti kalian merasakan kegundahan yang sama dengan aku.    Derasnya hujan yang turun membuatku bergidik dan mengeratkan jaket di tubuhku. Aku di balkon kini, berdiri di sisi pagar dan terus melihat ke bawah. Menunggu sebuah mobil hitam mewah datang dan terparkir di halaman apartemen itu. Namun, sudah lebih dari dua jam aku menunggu, tak ada apapun yang kulihat di halaman itu. Hanya ada beberapa mobil yang terhitung jari jumlahnya, namun jelas, itu semua bukan milik kak Nathan.    Terakhir kali kak Nathan kemari, ia bilang ia akan kembali datang, namun aku justru menjawab dengan sebuah kalimat mencekam yang mungkin membuatnya sakit hati. Aku merasa bersalah dan merasa diriku hina sekarang. Aku tak tau k********r apa yang pantas dilontarkan untuk diriku. Semua k********r yang ada, kurasa kurang untuk mendeskripsikan seberapa munafiknya aku. Sepercik tetesan hujan jatuh tepat di tanganku. Membuat hawa dingin terasa di permukaan kulit. Entah kenapa, tiba-tiba pikiranku terlampau jauh ke masa lalu, di tengah hujan deras yang melanda kota London, ada sepenggal kenangan kecil yang masih kuingat, dan mungkin akan terus kuingat.    Di halaman sekolahku kini, aku tengah menunggu seseorang untuk menjemputku. Rintikan hujan di hadapanku semakin terlihat deras. Seluruh teman-temanku sudah pulang dijemput oleh supir atau keluarga mereka. Tinggal aku sendiri, duduk termenung di halaman gedung sekolah dan terus berdoa, semoga saja ada yang datang menjemputku.    Hari ini di sekolah, aku baru saja belajar berhitung. Guruku menjelaskan tentang angka satu hingga dua puluh saat pelajaran berlangsung tadi. Dari semua teman sekelasku, hanya aku lah yang bisa mengeja angka satu hingga dua puluh dengan lancar, sampai-sampai guruku memberiku cokelat sebagai imbalan.    Untuk membunuh rasa bosan. Aku mencoba menghitung rintikan hujan yang terus turun dari langit menghantam tanah. Namun, hanya keputus asaan lah yang pada akhirnya hadir untuk diriku. Jika dipikir-pikir, orang terpandai di dunia pun rasanya juga tak bisa menghitung jumlah rintikan hujan yang turun itu.    "Adek!"    Aku segera berdiri dan tersenyum girang kala melihat kak Richard dan kak Nathan berlari masuk ke halaman sekolahku. Kak Nathan yang terbalut dengan jas hujan biru tua itu berlari bebas di halaman luas itu, sementara kak Richard dengan payungnya hanya berjalan santai. Mereka menghampiriku dan mengukir senyum hangat di suasana dingin ini.    "Kenapa nggak bawa payung atau jas ujan? Kakak kan udah bilang, delapan puluh persen bakal hujan hari ini," ucap kak Richard.    "Adek kan emang bandel kak," timpal kak Nathan.    Aku tertunduk diam, tak bisa mengelak, memang aku yang salah.    "Ini dipake," ucap kak Richard seraya memberiku jas hujan.    Aku segera memakai jas hujan pink yang dibawa kak Richard itu, dan dengan bersamaan kami pulang.    "Kenapa nggak Mama atau Papa yang jemput aku kak?" tanyaku pada kak Richard.    Kak Richard tertegun. "Mereka sibuk."    Aku terdiam.    "Adek tadi di sekolah belajar apa?" tanyanya mulai mengalihkan pembicaraan. Aku tersenyum girang. "Belajar hitung. Bu guru bilang, Key paling pinter hitungnya, terus Bu guru kasih cokelat. Nanti kita makan sama-sama ya kak."    "Kak Nathan dibagi kan?" timpal lelaki berjas hujan biru itu.    "Sedikit aja," balasku.    Kak Richard menyentuh pundakku. "Nggak boleh gitu, kamu harus adil."    Aku tak lepas dari pandanganku pada kak Richard, ia menasihatiku dengan lembut dan ramah. Hingga rasanya aku lupa dengan segala masalah dan hawa dingin yang melanda.    "Kakak, itu..."    Pekikan pelan kak Nathan berhasil membuat kami berdua menoleh ke depan. Tepat berjarak beberapa meter dari kami, halaman rumah mewah kami sudah terlihat. Namun bukan itu yang penting.    Lagi-lagi, Papa dan Mama bertengkar bahkan kini hingga keluar rumah. Percekcokan dan kata-k********r lagi-lagi kudengar dari mulut mereka. Dan yang lebih parah lagi, k*******n kini hadir menjadi penghias kehancuran itu.    "Kamu itu w************n! Nggak berguna! Aku nyesel pernah kenal kamu!"    Terlihat jelas meski agak jauh. Tamparan kasar itu mendarat di wajah cantik Mama, hinaan demi hinaan terus terlontar satu sama lain. Aku bisa melihat kini Mama mendorong tubuh atletis Papa hingga ia tersungkur ke bawah, aku juga bisa melihat Papa bangkit dan menarik kasar rambut wanita yang seharusnya ia sayangi.    "Papa, stop it!!!" Kak Nathan berteriak dan berlari ke tengah pertengkaran itu.    Kak Nathan membentak Papa, ia membela Mama, kak Nathan memang sosok yang tak pernah tega melihat wanita tersakiti. Namun kini kurasa ia salah, hal yang ia lakukan akan membahayakan dirinya sendiri.    "Kamu di sini aja. Jangan ikut lari, diem di sini nanti kakak balik lagi," perintah kak Richard dan ia melakukan hal sama macam kak Nathan.    Tanganku bergetar ketakutan. Melihat mereka satu sama lain menghina. Aku bisa melihat Papa kini kembali melakukan k*******n dan ia tak pandang bulu, kak Nathan dan kak Richard pun ikut terkena hantaman kasar itu. Hantaman keras itu terlihat sakit, dan kak Richard memeluk kak Nathan, membiarkannya aman dalam dekapan, dan tak peduli kesakitan menghantamnya bertubi-tubi.    Tangisku semakin deras. Bulir air mata mengalir menyatu dengan hujan yang dihiasi gemuruh petir yang keras. Berhasil membuat suasana semakin menakutkan. Takut akan kehancuran dan kegaduhan yang tengah terjadi.    Aku memejamkan mataku dan menghela napas. Mencoba melupakan semua itu, namun tak bisa. Hujan deras di hadapanku masih membuatku ingat hal buruk itu. Trauma mendalam akan kehancuran keluarga yang tak pernah kuharapkan. Dan lagi, tetesan air mata hadir menemaniku kini.    "Woi, ngapain lo disitu? Nunggu jodoh?"    Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Balkon samping, siapa lagi kalau bukan Leo.    "Yah elah, nangis lagi. Lo kenapa lagi sih?"    Aku terdiam, entah harus mengatakan apa padanya.    "Key? Kenapa? Cerita aja kali."    Aku masih terdiam.    "Gua nggak suka ya liat cewek nangis. Apalagi elo. Kenapa sih sebenernya?" kini dengan nada sedikit membentak.    Aku menatapnya, menghapus air mataku dan menggeleng, bersikap seakan semuanya baik-baik saja.    "Halah nggak mungkin. Udah nggak usah bohong. Lo kenapa?"    Aku masih saja terdiam. Untuk beberapa saat selanjutnya, hening, tak ada perbincangan lagi antara kami. Leo juga terdiam di posisinya, namun aku bisa merasakan tatapan penuh tanya itu kini tengah mengawasiku.    "Key?"    Aku menoleh.    "Butuh sandaran?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD