WAITING

993 Words
   Jam istirahat sudah menyambut kini. Aku tak pergi ke kantin, tak juga pergi ke area SMP. Aku lebih memilih untuk pergi ke rooftop sekolah dan berdiam diri di sana.      Aku duduk di sisi rooftop kini. Aku melihat pemandangan di bawah. Cukup mengerikan jika membayangkan aku terjatuh ke sana. Aku menghela napas panjang, merentangkan kedua tanganku dan membiarkan semilir angin menghantam tubuhku.    "I'm bored!" teriakku, lalu kembali menghela napas panjang.    "Hi bored, i'm Leo."    Aku tertegun sesaat mendengar jawaban konyol itu, lalu aku menoleh ke belakang. Mataku terbelalak lebar. Bibirku diam seribu bahasa kala melihatnya berdiri di hadapanku kini, dengan kedua tangan di masukkan ke dalam kedua saku celana seragam sekolah ini. Aku tak salah lihat. Lelaki keren itu Leo.    "Lo kok...?" entah aku ingin berkata apa.    Ia tersenyum dengan manis, lalu ia mengambil alih duduk di sampingku.    "Masih aja kaget liat cowok ganteng kayak gua?" ia menghela napas. "Jomblo emang nggak bisa berubah ya?"    Dalam hati aku menggerutu menghinanya, namun entah kenapa aku senang ia hadir di sini.    "Lo sekolah di sini?" tanyaku.    Ia mengangguk. "Baru aja masuk tadi pagi."    "Kelas berapa?"    "Sebelas-dua."    Aku hanya mengangguk-angguk mengerti.    "Tadi pas bel istirahat gua liat lo, gua mau manggil tapi lo jalan gitu aja, yaudah gua ikutin, terus lo malah bawa gua kesini deh."    Aku terkekeh. "Gue nggak nanya."    "Yeee jomblo!"    Aku hanya tertawa kecil.    "Btw, ngapain lo ke sini? Kenapa nggak pergi ke kantin?" tanyanya.    "Gue nunggu orang."    "Siapa? Cewek apa cowok? Kelas berapa? Mau ngapain?"    Aku kembali tertawa kecil. "Gue nunggu kakak gue."    Ia mengernyit. "Hah?"    "Kak Nathan, yang kemarenan lo pinjemin baju," aku mengambil jeda. "Dia suka dateng ke sini, kali aja hari ini dia dateng lagi, jadi gue tungguin."    "Ngapain nunggu di sini?"    "Kalo dari sini gue bisa liat mobil kakak gue kalo dia dateng," aku menghela napas. "Tapi dari tadi gue nggak liat apa-apa."    Hening sejenak.    "Key?"    "Hm?"    "Lo sama kakak lo ada masalah apa sih? Gua nggak ngerti. Kemarenan lo sama dia cuek, tapi sekarang lo malah nungguin dia dateng. Maksud sikap lo apa?"    "Gue sayang sama dia, tapi gue benci sama dia." Leo mengernyit.    "Menurut gue, dia itu udah ngelakuin kesalahan yang besar."    "Kesalahan apa?" ***    Lima belas menit lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi. Seisi kelas kini hanya bisa menunggu seraya mendengarkan guru matematika itu menjelaskan materi di depan kelas. Aku bersandar pada dinding dan menopang daguku dengan tangan. Sungguh bosan mendengarnya menjelaskan materi yang sama sekali tak masuk ke otakku. Pesan masuk!    Aku mencuri-curi pandang pada guru di depan itu. Dia masih fokus pada materinya. Diam-diam, aku pun melihat handphoneku. 12.09 Leo    Pulang bareng ya, gua ga nerima penolakan    Aku tersenyum kecil kala membaca pesan singkat darinya itu.    "Kenapa lo tawa-tawa sendiri?" ujar Melly tiba-tiba.    Aku menggeleng.    "Siapa yang SMS? Gebetan? Pacar? Atau jangan-jangan kak Nathan ya?"    "Anak kelas sebelah."    Melly mengernyit. "Siapa? Edo? Gilang? Rino? Atau siapa?"    "Leo."   Melly makin mengernyit.    "Anak baru, Mel."    "Ohh. Iya gue tau. Tadi temen gue di kelas sebelas-dua juga bilang kalo ada murid baru di kelas dia. Jadi namanya Leo?"    Aku mengangguk.    "Cakep nggak?"    Aku berpikir sejenak. "Lumayan lah."    "Kasih tau gue nanti." Kring... Kring... Kring...    "Yak, anak-anak bel pulang sekolah sudah berbunyi. Langsung pulang ke rumah, jangan lupa kerjakan tugas dan besok jangan datang terlambat!" perintah guru itu seraya membereskan buku-bukunya.    "Iya Bu," balas kami serempak.    Tanpa sepatah kata lagi, guru itu berjalan keluar kelas dengan suara sepatu heelsnya yang menghantam lantai. Tak berbeda dengan para murid, kami pun juga berjalan keluar kelas.    "Eh, kemaren Nathan bilang apa?" tanya Melly saat aku tengah merapikan barang-barangku.    "Gue nggak ketemu dia."    "Kok?"    "Ya mana gue tau. Dia nggak ada di rumahnya," aku memakai tasku. "Yaudah yuk pulang."    Aku dan Melly pun berjalan menuju pintu kelas. Dan setelahnya, aku terdiam sejenak. Tepat di samping pintu kelasku, ia bersandar di dinding pintu dengan gayanya yang cool.    "Lama," ujarnya padaku.    Melly menyentuh pundakku. "Ini yang namanya Leo?" tanyanya.    Aku mengangguk. Melly berkeliling di sekitar Leo dan memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sementara Leo hanya bisa terdiam bingung.    Melly menghampiriku dan berbisik.    "Cakepan kak Nathan."    Ujarnya singkat, lalu melangkahkan kaki pergi menjauh dari kami.    "Dia bilang apa?"    Aku tertegun. "Ehm... dia cuma bilang 'gue duluan ya'."    Leo hanya mengangguk-angguk. "Yaudah yuk."    Aku dan dia pun berjalan beriringan. Namun, ada yang aneh. Aku bisa melihat jelas tatapan para murid wanita sungguh berbinar menatap Leo. Murid wanita yang tak sengaja berpapasan atau yang memang sedari tadi sudah berada di dekat Leo, semua menatap Leo takjub dan terlihat berharap lebih.     Aku sedikit cemburu. Hanya sedikit. Aku pun menatap wajah Leo. Tatapannya lurus ke depan, terlihat sama sekali tak peduli dengan seluruh murid wanita di sekitarnya. Aku tersenyum senang, dia tak merespon semua wanita itu sedikitpun.     "Oh iya, Key, ini yang waktu itu."    Aku menatapnya sesaat dan melirik tangannya yang memberiku sesuatu.    "Ini...?"    "Punya lo."    Aku segera merampas benda itu dari tangannya. Aku menatap benda itu sejenak. Itu lembaran foto yang pernah kurobek dan kubuang waktu itu. Dikala hujan seusai kak Nathan pergi dari apartemenku. Tak sangka, Leo memperbaikinya, meski tak seindah semula namun rasanya ini sudah lebih dari cukup. Foto itu ia satukan dengan selotip di sekelilingnya, masih terlihat jelas wajah-wajah yang kurindukan itu. Tak pudar sedikitpun.    "Makasih ya."    Leo tersenyum dan mengacak rambutku pelan. Kami lanjut berjalan, dan aku masih menatap senang benda di tanganku ini. Rasanya aku ingin menangis kala mendapatkan satu-satunya hal tersisa dari keluarga bahagiaku kembali lagi.    "Key?"    Aku menoleh. "Hm?"    "Gimana kalo gua bilang gua suka sama lo?"    Aku tak merespon ucapannya. Hanya bisa terdiam mencerna kalimat itu di pikiranku. Aku masih menatapnya sambil kami berjalan. Ia kembali terlihat menatap lurus ke depan dan berjalan santai tanpa antusias menunggu jawabanku. Namun aku masih saja terdiam.    "Bercanda elah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD