Lody membisu selama perjalanan dari pemakaman. Pikirannya melayang mengingat nama yang tertera dengan jelas di papan nisan. Naradipta Bentang Pratama lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Semua keterangan yang ada di papan nisan sesuai dengan data pribadi Nadip. Dunia seolah berhenti berputar kala Lody membaca tanggal wafatnya. Tanggal wafatnya sama dengan tanggal pernikahannya hari ini. Air mata Lody kembali mengalir kala mengingat hal itu.
“Maaf kalau kamu jadi orang terakhir yang tahu soal kepergian Nadip,” ujar Levi sambil fokus mengemudi. Dia baru saja bisa bersuara. Sedari tadi lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Dia tidak sanggup melihat reaksi Lody ketika menatap kosong gundukan tanah yang dipenuhi bunga-bunga beraroma harum dan masih segar yang merupakan tempat peristirahatan terakhir Nadip.
“Apa kata maaf kamu itu bisa bikin Kak Nadip kembali?” jawab Lody dingin.
Levi tidak mau membuat Lody kembali histeris. Dia pilih diam, tidak menjawab pertanyaan Lody yang tidak masuk akal menurutnya. Dia lebih memilih memikirkan akan membawa Lody kemana saat ini. Namun ketika Levi hendak menanyakan soal itu kedua mata Lody terpejam. Mungkin gadis itu tertidur karena terlalu lelah, pikir Levi. Akhirnya Levi memutuskan untuk membawa Lody ke apartemennya. Apartemen yang dia beli beberapa tahun silam sebagai investasi sekaligus tempat istirahat saat bosan di rumah orang tuanya setiap kali ada kesempatan pulang ke Indonesia. Meski tidak ditempati oleh siapapun apartemen tersebut tetap terawat karena ibunya rutin mengunjungi unit apartemen tersebut untuk dibersihkan. Sehingga kapanpun Levi hendak menggunakan unit apartemennya itu, semua perabotan sudah dalam kondisi siap digunakan.
Sesampainya di basement Levi mematikan mesin mobilnya. Namun Lody sama sekali tidak bereaksi. Hal itu membuat Levi sedikit panik. Dia berusaha membangunkan Lody dengan menepuk pelan pipinya seraya memanggil namanya. Dia lalu meraih jemari gadis itu. Meski tak ada respon kulit tangannya terasa hangat serta nadinya masih berdenyut. Akan tetapi hal itu tidak membuat Levi tenang begitu saja. Dia tidak menemukan tanda-tanda Lody bernapas. Dari situlah Levi mulai panik.
“Dy, are you okay?” tanya Levi sambil menepuk-nepuk pipi Lody, berusaha membangunkan gadis itu. Tanpa pikir panjang Levi mengambil keputusan untuk melepas semua aksesoris yang ada di atas kepala Lody termasuk sanggul yang menyangga aksesoris tersebut. Setelah itu dia beralih ke kancing kebaya yang digunakan oleh Lody. “Sorry, aku sama sekali nggak bermaksud buruk sama kamu,” ujar Levi kemudian mulai melepas kancing kebaya dari paling bawah.
Namun ketika kancing baru terbuka tiga biji tiba-tiba Lody menyemburkan napas seperti orang yang baru saja mengalami kesulitan bernapas. Detik itu juga Lody mendorong tubuh Levi agar menjauh darinya sedangkan dia sendiri segera keluar dari mobil. Saat dia berlari tak tahu arah, dari arah berlawanan muncul mobil yang membuat Lody terkejut yang membuat dia bukannya menghindar malah terdiam di tempatnya. Beruntung Levi cekatan dan segera menarik tubuh Lody agar tidak tertabrak mobil tersebut.
“Jangan bikin situasi jadi semakin sulit, Dy!” bentak Levi.
“Aku mau nyusul Kak Nadip.”
“Kamu pikir bisa ketemu Nadip kalau mati dengan cara kamu sendiri?”
Sambil menangis Lody menggeleng lemah lalu tubuhnya limbung ke lantai basement. Levi segera memapah Lody dan membawanya meninggalkan basement. Lody tidak pingsan, dia masih sadar akan tetapi tubuhnya lemas tak berdaya. Apalagi dia baru saja menahan napasnya selama hampir 20 menit. Sehingga dia tidak sanggup menyanggah tubuhnya sendiri.
Setelah berada di dalam unit apartemennya, Levi masih memapah tubuh Lody yang lemas menuju kamar utama. Sebenarnya dia bisa saja menggendong gadis itu, tapi Levi khawatir Lody tidak menyukai perbuatannya dan berakhir melakukan perbuatan di luar nalar lagi. Namun Levi bersyukur Lody tidak histeris sehingga mereka bisa sampai dengan selamat tiba di unit apartemennya tanpa drama seperti di basement.
Levi yang saat ini duduk di pinggiran ranjang terkejut ketika mendengar suara sesenggukan. Ketika dia menoleh ke arah Lody, gadis itu sudah kembali memejamkan matanya. Khawatir Lody melakukan hal gila seperti di mobil tadi, Levi memeriksa hidungnya. Levi bernapas lega saat merasakan napas hangat dari lubang hidung Lody di jarinya. Levi menunggu sekitar sepuluh menit sebelum keluar kamar untuk memastikan Lody benar-benar tertidur.
Saat ini Levi sedang berada di luar kamar. Hari ini sangat melelahkan baginya. Hingga tanpa terasa dia terlelap begitu saja ketika baru saja merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di depan televisi. Alam bawah sadarnya memutar kembali pertemuannya dengan Nadip kemarin lusa, ketika dia baru saja tiba di Indonesia.
Dua hari lagi Nadip akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya yang bernama Lody. Hubungan asmara keduanya telah berlangsung selama hampir 3 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Semua persiapan telah rampung dan tinggal menunggu hari H. Hanya tinggal menunggu waktu kurang lebih sekitar 48 jam Nadip akan memulai babak baru dalam fase kehidupannya. Dia akan mengarungi bahtera rumah tangga bersama perempuan yang begitu dicintainya.
Momen ketika mereka melangsungkan acara lamaran tiga bulan yang lalu masih teringat segar dalam ingatan Nadip. Hanya dengan mengingat senyum gadis pujaan hatinya ketika mengangguk lembut saat menerima lamaran Nadip di hadapan kedua keluarga besar, mampu membuat Nadip melamun di tengah keramaian bandara siang ini. Beruntung Nadip segera tersadar dari lamunannya. Coba kalau tidak, mungkin orang-orang yang hilir mudik di depannya menyangka dia adalah seorang pemuda gila yang tersesat di tempat ramai.
Nadip melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Sosok yang dinantinya selama lebih dari setengah jam di bandara internasional ini belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sosok yang ditunggu Nadip tersebut bernama Levi. Laki-laki seusia Nadip yang telah menjalin persahabatan dengannya sejak masa putih biru.
Levi sendiri menetap di Amerika Serikat sejak sepuluh tahun yang lalu. Dia meninggalkan tanah air tercinta karena berkuliah di salah satu universitas tertua di Amerika Serikat jalur beasiswa prestasi. Setelah menamatkan kuliah jenjang sarjananya Levi kembali melanjutkan kuliah masternya di kampus yang sama sambil bekerja di sebuah perusahaan bonafit hingga saat ini. Levi hanya pulang ke Indonesia di waktu-waktu tertentu saja. Kalau bukan untuk urusan keluarga dia paling sulit diminta pulang. Kali ini Levi pulang karena permintaan Nadip untuk menghadiri pernikahan sahabatnya itu.
Beberapa tahun yang lalu mereka berdua memang membuat sebuah perjanjian apa pun situasi dan kondisi dalam hidup masing-masing, ketika salah satu dari mereka akan melangsungkan pernikahan, maka salah satunya wajib hadir dalam momen sakral sahabatnya. Dalam situasi ini sebenarnya bukan janji itu juga yang membuat Levi memutuskan pulang di luar waktu kepulangan dia yang biasanya, melainkan karena calon istri Nadip adalah Lody, gadis dingin yang pernah disukainya ketika masa putih abu-abu. Namun sayang Levi belum sempat mengutarakan perasaannya secara gamblang pada Lody, karena Nadip sudah lebih dulu menyatakan perasaan pada gadis itu. Levi ingin melihat Lody untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya perempuan itu akan menjadi istri sahabatnya.
Dari tempat Nadip sedang menunggu samar-samar ia melihat sesosok laki-laki bertubuh atletis dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya, tertangkap oleh pandangan Nadip. Dia tidak mungkin salah mengenali orang. Meski mereka terbilang sangat jarang sekali bertemu, tetapi ikatan batin mereka telah teruji ketepatannya. Senyum Nadip semakin mengembang. Ada rasa bahagia yang membuncah saat dia benar-benar melihat sosok Levi Ghautama Khawas, sahabatnya dengan nyata. Dia berjalan cepat mendekati objek yang sangat dirindukan dan juga dikaguminya.
“Udah lama lo? Sorry, Bro. Pesawat gue tadi delayed parah waktu transit,” jelas Levi sambil memeluk Nadip lebih dulu.
“Santai, Bro. Baru setengah jam-an gue di sini. Nggak lama-lama banget, kok,” jawab Nadip sambil menepuk pundak Levi cukup kuat.
Mata Levi mencuri pandang, dia menilai dari atas sampai bawah penampilan Nadip, sambil mengingat semua kenangan tentang masa remaja mereka. Nadip yang selalu tekun belajar, sangat menyukai seni teater tapi tidak begitu menyukai seni musik seperti Levi. Nadip yang selalu suka berorganisasi sampai bisa menarik Levi juga ikut berkecimpung di dunia organisasi. Sayangnya Levi selalu gagal membuat Nadip mengikuti jejaknya masuk dunia musik. Nadip yang selalu melindungi Levi dari perundung di sekolah mereka tapi tak jarang juga luput dari kejahilannya itu, kini sudah berubah menjadi laki-laki dewasa, tidak hanya secara fisik dan usia tetapi juga secara karakter.
“Lo yakin mau nikah, Dip?” tanya Levi santai tapi serius setelah keduanya saling melepas pelukan.
Sebenarnya Levi tidak keberatan sahabatnya menikah duluan. Dia hanya ingin menilai seberapa besar keyakinan Nadip atas keputusan besar yang baru saja diambil dalam hidupnya. “Gue sudah memantapkan hati untuk menghabiskan sisa usia gue bersama Lody,” ujar Nadip kemudian menghadiahi pundak Levi dengan sebuah tonjokan candaan.
Levi tersenyum penuh arti mendengar jawaban Nadip. Apalagi ekspresi penuh kegembiraan yang terpancar jelas di wajah Nadip. Ada kebahagiaan tersendiri dalam hatinya saat ini. Ada dua hal penyebabnya. Yang pertama karena sahabatnya akan menikah dan yang kedua karena dia yakin Lody tidak salah memilih Nadip sebagai calon suaminya.
“Lo harus akrab lagi sama Lody, Lev. Gue yakin kalau lo kenal Lody versi yang sekarang, lo juga pasti akan jatuh cinta sama dia.” Tiba-tiba saja Nadip berbicara seperti soal Lody. “Dan kalau misalnya lo langsung jatuh cinta sama dia pada pandangan pertama ketika bertemu lagi nanti, gue rela melepas Lody buat elo,” ucapnya sambil menatap ke dalam bola mata Levi seolah sedang mencari kebenaran dari kata-katanya tadi di sana.
Levi terbahak detik itu juga setelah mendengar kata-kata Nadip yang penuh makna tersirat itu. Nadip memang tidak pernah tahu bagaimana perasaan Levi yang sesungguhnya ketika SMA. Selama sekolah Levi memang tidak pernah terlihat secara terang-terangan mendekati seorang perempuan. Yang Nadip tahu hanyalah Levi menyukai salah seorang adik kelas mereka. Nadip tidak pernah tahu bahwa cewek yang disukai sahabatnya itu adalah calon istrinya sekarang. Nadip mengira selama ini Levi memilih kuliah di luar negeri karena faktor latar belakang keluarga Levi yang memang dari keluarga kaya dan terpandang serta kemampuan Levi yang cukup mumpuni di bidang akademik. Nadip tidak akan pernah menyangka bahwa alasan Levi memilih Yale University adalah karena untuk menghindari Lody yang tidak pernah memberinya kesempatan untuk didekati sebagai pacar dan juga supaya Nadip punya kesempatan lebih banyak untuk bisa mendekati Lody.
“Tenang, Dip! Meski kita sahabatan dari SMP, tapi bisa gue pastikan kalau soal cewek, selera kita beda, Bro. Kriteria cewek gue sama sekali nggak ada dalam diri cewek yang lo taksir,” jawab Levi dengan senyum asimetris andalannya.
Kini Nadip yang tertawa. Namun yang dikatakan Levi tidak salah soal kriteria perempuan. Ketika mereka sama-sama remaja Nadip ingat betul bagaimana cewek-cewek populer di sekolah mereka berlomba-lomba untuk mengejar dan meraih perhatian Levi. Bahkan ada yang sampai ke taraf terobsesi pada Levi. Dan tidak ada perempuan kategori biasa saja yang ingin menjadi pacar seorang Levi. Semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Baik dari segi materi, nilai akademis, latar belakang keluarga hingga tampang yang sebagian besar di atas standar cewek cantik di sekolah mereka.
“Cabut sekarang, Dip. Gue butuh tidur. Kayaknya jetlag,” keluh Levi sembari memijat puncak hidung mancungnya.
“Mau diantar ke apartemen lo atau rumah ortu lo?” tanya Nadip berjalan di sisi Levi.
“Ke rumah ortu aja. Bisa dijadikan adonan kue gue kalau nyampe Indo bukannya sungkem dulu ke orang tua malah ngacir ke apartemen,” jawab Levi sambil tertawa.
“Oke, Bro. Gue pastiin lo sampai rumah ortu lo dengan selamat tanpa lecet sedikitpun.”
Levi tersenyum bahagia melihat binar mata Nadip yang dipenuhi ketulusan. Sampai-sampai dia berpikir, mungkin hal sesederhana itulah yang membuat Lody tertarik dan jatuh cinta pada Nadip. Hal sederhana yang sebenarnya juga ada dalam diri Levi, tapi tidak pernah mau dilihat oleh Lody.
~~~
^vee^