Chapter 8 - See?

1311 Words
“Apa yang kau lakukan di sini?” suara remaja laki-laki itu masih saja dingin. Ya, dia Dave. Dave yang masih kesulitan mengontrol emosinya kala masih berumur remaja. “Kau sangat tak suka padaku. Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu kesal?” “Tidak!” “Lalu?” gadis kecil itu bertanya lagi. Dave pun mengalihkan pandangannya ke sisi lain. Memilih menghindari pemandangan bibir gadis manis itu yang bergerak-gerak lucu sekaligus mengganggu. “Kau sangat menyayangi Angel. Tapi, padaku? Kau malah tidak suka.” Desah gadis itu dengan wajahnya yang sedih. “Liam. Aku ingin kau menjadikanku adikmu juga.” Dave mendengar suara isak kecil di dekatnya. Lagi, dia membuat gadis manis itu menangis. Tolong, dia ingin Bella selamat dari p*****l seperti dirinya. Berat baginya memperlakukan Bella seperti itu. Tapi, kedekatannya dan Bella sama sekali tidak baik. Bella masih berusia 10 tahun. Berengseknya dirinya, menginginkan gadis kecil itu. Dave menghela napasnya pelan. Dia pun membawa Bella dalam pelukannya dengan hati yang berdebar. Semoga saja, dia bisa mengontrol emosinya sekarang. “Jangan menangis, Bella.” Ucap Dave sambil mengusap rambut gadis itu dengan sayang. Selalu saja seperti ini. Bella selalu berhasil mempengaruhinya melebihi skala gadis lain yang mencoba mendekatinya di sekolah. “Aku hanya ingin kau menyukaiku, Liam.” Isakan kecil Bella membuat bibir Dave melengkung. Panggilan itu, selalu saja membuatnya senang bukan kepalang. Bolehkah Dave menjadikan Bella tunangannya sekarang? Dalam rentan usia belia yang akan menjadi bahan lelucon orang-orang dewasa di sekitar mereka. Sungguh, dia hanya ingin Bella seorang. Seketika, Dave menjadi resah. Bagaimana jika Bella dan kisah anehnya berakhir saat Bella dewasa nanti? Bagaimana jika Bella tak menyukainya lagi suatu hari nanti? Tidak! Selamanya, Bella hanya akan menyukainya, dan menjadi miliknya seorang. “Bella, ikut aku!” Dave melepaskan pelukannya. Tangannya beralih menggenggam tangan Bella yang kecil. Dia harus melakukan sesuatu untuk membuat semua orang tau, jika Bella adalah miliknya. Bella akan kembali ke Italia. Dan sebelum itu terjadi, dia harus memberikan Bella tanda seperti serigala jantan yang menandai betinanya. Bella mengikuti langkah Dave dengan wajah berbinar. Dia sangat senang, saat Dave memperlakukannya dengan baik seperti ini. Dave yang dia kenal, adalah Dave yang dingin dan selalu mengabaikannya. Dave bahkan tak mau berdekatan dengannya lewat dari 2 menit. Dave membawa Bella ke kamarnya. Beruntung, tak ada yang melihat kebersamaan mereka. Karena siapa pun akan merasa heran dengan sikap anehnya ini. “Bella, duduklah.” Bella hanya mengangguk. Sebagai gadis kecil yang polos, Bella tentu saja merasa senang karena Dave mulai menyukainya. Tanpa tau, apa yang sebenarnya Dave rencanakan. Dave mengambil sesuatu di laci. Terdiam sebentar, tanpa ada yang bisa menebak apa yang sedang di lakukan oleh remaja 17 tahun itu. Setelahnya, Dave mendekati Bella yang masih duduk manis sambil tersenyum penuh kagum melihat desain kamarnya. “Apa yang membuatmu terus-menerus mengikutiku?” tanya Dave begitu berdiri di hadapan Bella. “Aku ingin kau menyukaiku juga. Seperti Angel,” jawab Bella seadanya. “Tapi, kau bukan adikku.” “Lalu, bagaimana caranya agar kau mau menyukaiku?” Bella menatap Dave dengan mata indahnya. Ingin rasanya, Dave menyayanginya seperti Angel. Selalu Dave jaga, dan lindungi setiap saat. Dirinya anak tunggal. Dia juga ingin memiliki seorang kakak. Karena kata Angel, mempunyai seorang kakak itu sangat menyenangkan. “Kau harus siap menahan sakitnya, Bella.” Dengan spontan, Dave menarik Bella agar memeluk perutnya. Dan dengan tega, dia menempelkan ukiran huruf L yang sudah dia bakar tadi ke sudut leher Bella yang putih, sehingga meninggalkan bekas luka bakar yang membuat kulit putih pucat itu pun memerah. “Sakit, Liat! Hiks!” “Bella!” Mata terpejam Dave terbuka. Menampakkan sorot mata tajamnya, yang sedikit meredup juga tersimpan kegusaran. Rahangnya mengeras seiring urat di lehernya yang menonjol menampakkan ruas-ruas berwarna kebiruan. “Bernapas, Dave. Bernapas yang benar. Tolong, jangan panik!” Dada Dave bergerak naik turun dengan cepat. Bahkan, alat bantu pernapasan yang menutupi mulut dan hidung Dave, terlihat berembun oleh napas Dave yang memburu. d**a telanjangnya yang di lilit perban, tentu saja membuat pria tua yang sedang menemaninya kini, merasakan kesedihan. Pria itu semakin mendekat. Membingkai wajah Dave dengan tangan kekarnya yang mulai menua. “Bernapaslah, Dave. Kau masih hidup. Lihat, kakek di sini. Bersamamu.” Pria itu tak tahan. Dia pun memeluk tubuh cucu laki-laki tertuanya yang selalu membuatnya bangga. Dan sekarang, cucu terhebatnya itu justru terbaring tak berdaya. Di usapnya kepala Dave yang juga terlilit perban dengan pelan. Dia tak pernah menyangka, Dave akan mengalami semua ini. Menyesal, karena dirinya harus datang terlambat ke sana. Perlahan, pernapasan Dave yang memburu mulai melemah. Urat di sekitar lehernya yang menonjol, mulai menghilang seiring kelopak matanya yang berkedip pelan. Akhirnya, Dave bisa menguasai dirinya. Pria tua itu menarik tubuhnya menjauh. Dia menatap lekat-lekat, wajah Dave yang memar membiru di beberapa sudut. “Kakek?” Dave mengatakannya lewat gerak bibirnya yang masih terbingkai alat bantu pernapasan. Dan pria itu, tentu saja mengerti maksud gerakan bibirnya. “Iya. Kakek di sini. Jangan khawatir.” Alexander. Pria berusia 80 tahun itu, menyusul Dave ke Italia demi melihat Dave baik-baik saja. Kemarin, Maxime memberitahunya jika Dave ke Italia demi mencari Isabella yang ditemukan jejak keberadaannya. Dan begitu dia tiba. Dia malah mendapatkan kabar dari salah seorang bodyguard yang dia utus untuk memata-matai Dave, jika Dave mengalami kecelakaan dan kondisinya parah. “Istirahatlah. Kau harus segera sembuh, sebelum Daddy mu tau.” Perkataan Alex, justru membuat Dave melepaskan alat bantu pernapasannya. Jangan heran, si anak keras kepala itu memang sedikit menyebalkan. “Apa yang kakek lakukan di sini?” Suara Dave terdengar sedikit parau. Tapi, sepertinya tak ada masalah. Pria itu terlihat baik-baik saja sekarang. Alex tersenyum kecil. Wajahnya yang dulu sangat tegas dengan seringaian menakutkan itu, kini terlihat bijaksana oleh kerutan-kerutan kecil di sisi bibirnya. Bahkan, dengan penampilan rambut putihnya, Alex masih sangat pantas menjadi aktor pria cerdik yang menyimpan kelicikan-kelicikan yang menyulut api kecil. “Membantumu menemukan Isabella, apa lagi?” Dave menggeleng pelan. “Di sini berbahaya, Kek. Sebaiknya kakek pulang saja.” Hembusan napas gusar Dave terdengar. Bagaimana bisa dia akan membiarkan kakek Alex berada di sana? Di dekatnya dan membantunya? Tidak. Misinya kali ini sangat berbahaya. Belum sehari saja dia tinggal di sana, musuhnya sudah memberinya penyambutan dengan membuatnya terbaring di rumah sakit dengan luka mengenaskan. “Kalau kakek pulang, siapa yang akan membantumu?” ucap Alex. “jangan khawatir. Kakek yakin, masih bisa menggunakan senjata.” Sambungnya dengan wajah berbinar membuat Dave semakin dilanda kebingungan. “Ada Ressam di sini. Aku tidak mau Daddy marah karena kakek nekat pergi ke sini.” Ke dua pria beda generasi itu terus berdebat. Mereka sama-sama bersikukuh untuk mempertahankan keinginan masing-masing. Klik! Pintu ruangan itu terbuka. Menunjukkan seorang bodyguard yang sigap dengan seragam hitam, dan senjata di balik gesper mereka. “Tuan. Kata dokter, Mr, Ressam harus istirahat total selama beberapa minggu. Benturan keras itu, akan membuatnya tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ada retakan kecil juga di bagian tulang paha dan pergelangan kakinya.” “See?” ucap Alex dengan sudut bibir tertarik ke atas membentuk sebuah senyum kemenangan. “apa kakek bilang. Kau akan butuh kakek untuk menemanimu di sini. Jadi, menyerahlah Tuan Davio yang keras kepala.” Dave menutupi wajahnya. Lagi-lagi, dia harus kalah oleh argumen kakeknya yang selalu tepat sasaran. Dia jadi penasaran, bagaimana masa lalu kakeknya yang di juluki King Devil itu? “Sekarang, tidur. Jangan berpikir terlalu banyak. Setelah kau sehat nanti, kakek akan mengajakmu ke sana.” Mendengar perkataan Alex, seketika Dave menarik tangannya yang menutupi wajahnya. “Ke sana? Ke mana?” tanyanya dengan raut wajah penasaran. Tidak ada yang tidak mungkin, jika sudah masuk ke dalam permainan pria tua di depannya itu. “Selamat! Maxime sudah berhasil menemukan titik pertama yang harus kau singgahi. Sayangnya, dia tidak bisa datang langsung ke sini, agar tak dicurigai.” Dave menutup wajahnya lagi. Demi apa, ke dua kakeknya itu ikut campur dalam masalahnya? Sungguh, dia tidak ingin siapa pun terluka dan membuatnya kehilangan. “Bisakah, jangan turut serta dalam peperangan ini?” lirih Dave putus asa. Dia ingin, keluarganya aman. Dan biar dirinya saja, yang mengusut tuntas kasus ini Alex mengangkat sebelah tangannya. Dengan penuh angkuhnya dia pun berkata, “Masihkah kau akan mengusir kakek dari sini, jika kakek sudah mengetahui sedikit rahasia tentang di mana pembunuh Isabella sekarang?” Sial! Dave merutuki kebodohannya. Bahkan ke dua kakeknya sudah melangkah lebih jauh darinya.  *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD