04 - Cemburu? - √

1806 Words
Reza sontak menutup kedua telinganya yang berdengung begitu teriakan membahana Ani terdengar. "Enggak usah teriak-teriak, An," desis Reza sambil mengusap telinganya yang kini berdengung. Ternyata teriakan Ani cukup membuat telinganya sakit. Sangat sakit malah. Ani sontak cemberut dengan kedua tangan yang kini bersedekap, membuat dadanya semakin membusung. Hal itu berhasil membuat fokus Reza buyar, dan kini fokus Reza malah tertuju pada buah d**a Ani. "Sialan! Apa Ani sengaja menggodanya?" Reza membatin. Reza memalingkan wajahnya ke arah lain sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Ia takut khilaf kalau terus-menerus menatap dadanya Ani yang tampak padat dan membusung. "Sejak kapan lo tahu kalau kita akan di jodohkan?" tanya Ani penasaran, menatap Reza dengan mata memicing. Reza menghela nafas panjang. Jika ia lihat dari raut wajah Ani dan reaksi yang tadi Ani berikan. Bisa ia pastikan kalau Ani memang belum tahu tentang mereka yang sudah di jodohkan dan akan segera melangsungkan pertunangan. Reza kembali menatap Ani dengan kening berkerut. "Kamu benar-benar enggak tahu kalau kita sudah di jodohkan dan akan segera melangsungkan pertunangan?" tanyanya memastikan. Ani sontak menggeleng dengan bibir yang kini kembali mencebik. "Enggak tahu, Ayah sama sekali gak bilang tentang perjodohan ini," jawabnya merajuk. Reza sontak terkekeh begitu melihat raut wajah Ani yang tampak lucu dan juga menggemaskan begitu menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Tawa Reza terdengar sangat menyebalkan. Ani melayangkan pukulannya pada perut Reza yang sialnya keras dan malam membuat tangannya sakit. Reza kembali tertawa lalu mencekal pergelangan tangan Ani, membawa punggung tangan kanan Ani menuju bibirnya, memberi kecupan di punggung tangan Ani yang sontak membuat sang empunya merona. "Tambah cantik kalau lagi merona." Reza mengedipkan mata, sengaja menggoda Ani, membuat Ani tertunduk dengan wajah yang semakin merona. "Apaan sih!" ketusnya. Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu yang cukup nyaring mengintrupsi obrolan Reza dan Ani. Keduanya sudah bisa menebak siapa orang yang baru saja mengetuk pintu. Siapa lagi kalau bukan Lia. "Masuk!" Teriak Reza memberi ijin. Lia membuka pintu begitu mendengar sahutan dari Reza, dan bergegas menaruh semua bahan masakan di meja dapur. "Terima kasih, Al." "Sama-sama," sahut Lia. Lia bergegas keluar dari ruangan Reza. Ia merasa hawa di sekitarnya terasa sangat menyeramkan. "Mau ke mana?" Reza mencekal pergelangan tangan Ani saat Ani beranjak turun. "Mau pulang," jawab Ani ketus. Entah kenapa ia merasa tiba-tiba kesal saat melihat Lia. "Duduk!" Ani menggeleng, menolak permintaan Reza atau lebih tepatnya perintah Reza. "Enggak mau! Gue mau pulang!" Tolaknya tak kalah tegas dan lantang. Raut wajah Reza seketika berubah menjadi dingin begitu mendengar kata penolakan yang keluar dari mulut Ani. Tapi itu tidak membuat nyali Ani menciut. Ia tetap pada pendiriannya, ia ingin pulang. "Duduk Ani!" Dengan gerakan mata, Reza meminta agar Ani kembali duduk, tapi lagi-lagi Ani menggeleng. Ani sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Reza berikan. Sebenarnya Ani takut, tapi Ani mencoba untuk tidak terlihat takut.. Reza mendesis dan dalam sekejap, Ani sudah berada dalam gendongannya. Ya, Reza menggendong Ani seperti anak koala. Mata Ani sukses membola begitu sadar kalau kini Reza sedang menggendongnya. "Lepas!" Teriaknya murka. Reza menggeleng, ia lalu duduk di sofa dengan Ani yang kini duduk dalam pangkuannya. Ani mencoba melepaskan kedua tangan Reza yang melingkari pinggangnya. Tapi tenaga Ani tidak sebanding dengan tenaga Reza, membuat usaha yang Ani lakukan sia-sia. "Gue bilang lepas!" Reza sama sekali tidak peduli dengan teriakan dan pukulan-pukulan yang terus Ani layangkan pada tubuhnya. "Jangan pakai gue lo, Ani. Itu tidak sopan," desis Reza, menatap Ani tajam. Bulu kuduk Ani kembali meremang begitu melihat tatapan mata Reza yang lebih tajam dari sebelumnya. "Iya ma-maaf," lirih Ani dengan kepala tertunduk. Tidak berani menatap Reza yang terus menatapnya dengan intens juga tajam. Tatapan Reza kali ini sangat menyeramkan. "Reza lepas," pinta Ani lirih. Ia merasa tidak nyaman saat merasakan sesuatu yang menyebul di bawah pinggulnya. Ia bukan gadis polos dan ia tahu apa yang kini terasa mengganjal di bawah pinggulnya. Bukannya menuruti kemauan Ani, Reza malah semakin erat memeluk Ani, membawa kepala Ani agar bersandar di bahunya. Mau tak mau, Ani membalas pelukan Reza, menyerukan wajahnya di ceruk leher Reza yang beraroma citrus. "Lapar?" tanya Reza dengan suara parau. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang m***m antara dirinya dan Ani. Sial! Ternyata berdekatan dengan Ani sangatlah tidak baik bagi kesehatan jantung dan juga juniornya. Ani hanya mengangguk, enggan menjawab pertanyaan Reza. Tidak tahukah Reza kalau jantungnya kini sedang berdebar dengan sangat cepat, lebih cepat dari biasanya. Dalam hato Ani berharap kalau Reza sama sekali tidak sadar kalau kini jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Reza melepas pelukannya dari pinggang Ani. "Turun dulu, ayo kita masak makan siang yang simpel." Ani turun dari pangkuan Reza. Reza beranjak menjauh, melangkah menuju dapur untuk mulai memasak menu makan siang "Ka-kamu bisa masak?" tanya Ani gugup. Ia belum terbiasa merubah panggilan mereka menjadi aku-kamu, karena menurutnya itu sangat aneh. "Bisa, kenapa? Kamu gak bisa masak ya?" tanya Reza tanpa sedetikpun melirik Ani yang kini berjalan menghampirinya. Ani sontak menggeleng, meskipun ia tahu kalau Reza tidak melihatnya. Reza tiba-tiba berbalik dan itu membuat Ani terkejut bukan main. Reza menarik pinggang Ani, membuat tubuh Ani menempel dengan sempurna dengan tubuhnya yang keras dan berotot. Ia bahkan bisa merasakan tekanan p******a kenyal Ani. Fuck! Itu berhasil membuat juniornya kembali terbangun. "Kenapa?" tanya Ani gugup. "Kami belum jawab pertanyaan aku, kamu gak bisa masak?" Ani sontak menggeleng dengan kepala tertunduk, merasa malu karena ia kalah dengan Reza yang malah bisa memasak, sedangkan dirinya tidak. Reza mengangkat dagu Ani, membuat kepala Ani kembali terdongak dan tatapan mata keduanya kembali beradu. "Kenapa menunduk? Malu?" tanyanya sambil terkekeh. Tanpa ragu, Ani menggangguk, membuat tawa renyah Reza lolos. "Mau belajar masak?" tawar Reza yang dengan penuh semangat langsung Ani angguki. "Mau," sahutnya antusias. 1 jam adalah waktu yang Reza dan Ani habiskan untuk memasak beberapa menu makanan sederhana. Seperti ayam goreng, sayur asam, dan sambal goreng terasi. Reza sengaja memilih memasak aneka makanan yang menurutnya mudah supaya Ani bisa dengan mudah mengerti, dan ia akui kalau Ani sama sekali belum mahir dalam memasak. Bahkan Ani tidak bisa membedakan mana lengkuas dan mana kunyit. Reza mengusap kepala Ani dengan penuh kasih sayang. "Pintar," pujinya tulus. Wajah Ani sontak merona begitu mendapat pujian dari Reza, dan hatinya juga berbunga-bunga, luar biasa senang atas pujian yang Reda berikan. "Ayo kita makan," Reza menautkan jemarinya dengan jemari Ani, lalu bergegas menuju meja makan di mana masakan yang tadi mereka masak sudah tersaji. "Tolong ambilkan." Reza menyerahkan piringnya pada Ani dan tanpa bantahan, Ani langsung mengisi piring Reza dengan nasi yang sebelumnya sudah tersedia. "Mau yang mana?" "Mau kamu, boleh enggak?" Ani sontak menoleh, menatap Reza dengan kening berkerut. "Maksudnya?" ia merasa pertanyaan Reza sangat ambigu. "Itu, aku mau makan yang itu," sahut Reza sambil menunjuk ayam mana yang ingin ia makan. Ani menggangguk, lalu mengambil dua potong ayam bagian sayap. "Sini, duduk di sini." Reza menepuk kursi kosong di sampingnya. Ani menurut tanpa membantah atau menolak permintaan Reza. Keduanya mulai menikmati makanan yang tersaji di piring masing-masing. Sebenarnya Reza ingin sekali makan sepiring berdua dan di suapi Ani, tapi saat ia melihat bagaimana cara Ani makan, ia sadar kalau Ani kelaparan. "Enak?" Ani menggangguk. "enak banget." Ani sama sekali tidak bisa menutupi rasa senang serta bahagianya karena bisa menikmati makanan yang ia dan Reza masak. Di tambah rasanya yang sangat lezat dan nikmat. Reza tersenyum, kembali mengusap kepala Ani. Keduanya kembali menikmati makan siang mereka dengan lahap. Bahkan tanpa rasa malu dan canggung, Ani sampai menambah. Reza mencekal pergelangan tangan Ani saat Ani berniat merapihkan meja makan. "Tidak usah di rapikan, biar nanti di urus sama pegawai lain saja." Ani menggangguk, lalu mengikuti langkah Reza saat Reza terus menggenggam erat jemarinya yang kini saling bertaut. "Mau pulang?" tawar Reza yang sama sekali tidak Ani sia-siakan karena Ani langsung mengangguk penuh semangat. "Ya sudah, ayo kita pulang." Reza melepas tautan jemarinya dengan jemari Ani, lalu kembali memakai jaket kulitnya, begitu juga Ani. Setelah memastikan penampilan mereka rapi, keduanya lantas keluar dari ruangan Reza. Keduanya kembali menjadi pusat perhatian dari para pekerja yang mencuri pandang pada mereka di sela kegiatannya. Para pegawai restoran tidak berani menatap Reza dan Ani secara terang-terangan, terlebih ketika mereka tahu kalau Ani sepertinya tipe gadis yang akan blak-blakan jika merasa di perhatikan. *** Beberapa menit kemudian. "Ayah!" Ani langsung berteriak begitu memasuki rumah. Haikal yang kebetulan berada di ruang keluarga hanya menggeleng begitu mendengar teriakan membaha Ani. Untung saja ia tidak punya riwayat sakit jantung. Kan bisa gawat. Langkah Ani sontak terhenti saat ia sadar kalau Haikal tidak seorang diri, melainkan ada Hutomo dan juga Alina. Ani menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, merasa malu karena tadi ia berteriak dengan sangat tidak anggun. Ck! Lagi pula, mana ada orang berteriak tapi anggun. "Ani, salim dulu sama Om Hutomo dan Tante Alina." Perintah dari Haikal sukses membuat Ani gugup. Dengan canggung, Ani menghampiri Hutomo dan Alina, menyalimi keduanya secara bergantian. Alina menepuk sofa di sampingnya, meminta agar Ani duduk. "Apa kabar sayang?" tanyanya lemah lembut. "Baik, Tante," jawab Ani sopan. Tak berselang lama, Reza memasuki rumah dan ia berdiri mematung begitu melihat siapa saja yang kini sedang duduk di hadapannya. "Loh Reza!" seru Alina, terkejut saat melihat putranya. Tak jauh berbeda dengan Alina yang terkejut, Hutomo dan Haikal sama terkejutnya, bahkan Reza sendiri juga terkejut mendapati kedua orang tuanya ada di sini. "Sini, Za." Sekarang giliran Haikal yang menepuk sofa di sampingnya dan tanpa bantahan, Reza duduk di samping Haikal setelah menyalami kedua orang tuanya dan menyalami Haikal. "Kamu habis dari mana? Sudah makan siang belum?" tanya Alina "Sudah Bun, tadi Reza mampir ke restoran." "Sama Ani?" tanya Hutomo dan Haikal serempak. Keduanya lantas tertawa, begitu sadar kalau pertanyaan yang mereka ajukan pada Reza sama. Reza sontak menggangguk. "Iya Yah, sama Ani," jawabnya. "Setahu Ayah, Ani gak bisa masak deh." Ani sontak melirik Haikal dengan bibir cemberut. "Salah Ayah yang gak pernah kasih ijin Ani buat bantu-bantu Bibi di dapur," ujarnya, membela diri. Jawaban yang Ani berikan sontak membuat tawa Hutomo, Alina dan Reza lolos. Hutomo dan Alina tahu betul betapa overprotektifnya Haikal pada Ani. Alina menggenggam erat jemari Ani, menatap Ani dengan intens. "Ani gak di apa-apainkan sama Reza?" tanyanya cemas. Ani mengerjap, sekilas melirik Reza yang terlihat santai. Sebenarnya ia ingin sekali bercerita pada Alina kalau Reza sudah berbuat tidak senonoh padanya, tapi ia malu. Karena ia juga malah menikmatinya. Sedangkan Reza hanya diam, karena apapun jawaban yang Ani berikan pada Alina tidak akan berdampak buruk padanya. Reza malah berharap kalau Ani akan berkata pada Alina kalau ia sudah melakukan hal-hal yang tidak senonoh pada gadis itu, karena dengan begitu ia bisa dengan cepat mengikat Ani. Ani menggeleng, tak lupa memberi Alina senyuman manis. "Enggak kok, tadi Ani sama Reza cuma belajar masak." Raut wajah Reza berubah masam, dan itu tak lepas dari pengamatan Ani. Ani jadi bingung, kenapa Reza terlihat sangat kesal? Apa jawaban yang ia berikan tidak sesuai dengan apa yang pria itu harapkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD