"Eh, loe mau ke mana?" Alicia mencekal pergelangan tangan Ani, membuat Ani yang berniat beranjak dari duduknya sontak mengurungkan niatnya.
"Gue mau cari cowok yang namanya Reza," sahut Ani ketus. Jujur saja, ia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajarannya karena wajah Reza yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia mencoba menghilangkan wajah Reza, ia malah semakin mengingatnya. Apalagi saat Reza mencuri ciuman pertamanya. Sialan! Benar-benar pria menyebalkan!
Alicia dan Vani sontak berseru kegirangan begitu mendengar jawaban Ani yang di luar dugaan.
"Cie, siapa tuh Reza?" tanya Vani antusias, menatap Ani dengan mata berbinar.
"Bukan siapa-siapa!" Ani menjawab dengan ketus pertanyaan yang kali ini di ajukan oleh Vani.
Alicia dan Vani sontak menggeleng. Mereka tidak akan percaya begitu saja dengan jawaban yang baru saja Ani berikan. Karena mereka tahu betul jika Ani paling anti dekat-dekat dengan pria. Jadi, saat mereka tahu kalau Ani mau mencari pria bernama Reza, mereka berdua tahu, pasti ada sesuatu yang sudah terjadi antara Ani dan juga pria bernama Reza tersebut.
Pertanyaan adalah, Kenapa Ani mau mencari pria bernama Reza? Dan apa alasan Ani mencari pria itu? Apa yang sudah pria bernama Reza itu lakukan pada Ani sampai-sampai membuat Ani mencarinya?
"Ani cantik deh," goda Vani sambil mengedipkan matanya dan memcolek dagu Ani yang terbelah.
Ani menyibak rambutnya dengan gaya centil. "Emang gue cantik, lo baru sadar?"
Vani sontak cemberut begitu mendengar jawaban Ani. Padahal ia kan sengaja menggoda Ani supaya Ani mau menceritakan siapa lelaki yang bernama Reza itu padanya dan juga Alicia.
"Udah ah, gue mau keluar. Mau cari Reza." Ani melepas cekalan tangan Alicia dan bergegas berdiri. Tapi suara bariton yang berasal dari balik punggungnya sukses membuat Ani diam tak berkutik.
"Kenapa? Lo kangen ya sama gue? Padahal baru beberapa jam kita enggak ketemu."
Ani, Vani, dan Alicia sontak menoleh pada asal suara. Dan mereka melihat seorang pria jangkung nan tampan sedang berdiri bersandar di ambang pintu dengan gaya soknya.
Vani dan Alicia melongo begitu melihat Reza. Tampan, keren, dan gagah, itulah yang ada dalam benak Vani dan Alicia.
Ani menggeram seperti singa kelaparan begitu melihat Reza, sedangkan Reza malah terkekeh, begitu melihat ekspresi wajah Ani yang menurutnya sangat lucu juga menggemaskan.
"Kenapa dia sangat lucu?" gumam Reza yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Aish! Ia bahkan tidak bisa konsentrasi belajar karena wajah Ani terus menghantui pikirannya. Ia juga mendapat teguran dari Dosennya karena kurang fokus dalam mengikuti sesi belajar kali ini.
Reza menghampiri Ani dan langsung menarik pinggang Ani begitu jarak di antara keduanya menipis.
Ani tentu saja terkejut, langsung berontak, mencoba lepas dari dekapan Reza yang ternyata sangat erat.
"Lepas Za!" ucapnya penuh penekanan.
"Kiss dulu," pinta Reza sambil menunjuk bibirnya.
Ani tentu saja menggeleng, menolak permintaan Reza. "Enggak mau!" Tolaknya mentah-mentah.
Reza berdecak, tidak suka begitu mendengar jawaban Ani. Tanpa aba-aba, Reza merangkum wajah Ani dengan kedua tangannya dan langsung membungkam bibir tipis Ani dengan bibirnya, melumat bibir lembut dan manis Ani dengan lembut.
Alicia dan Vani melongo begitu melihat pria yang mereka yakini adalah Reza, tiba-tiba mencium Ani. Astaga! Kenapa mereka harus melihat adegan tidak senonoh ini?
Bahkan, orang-orang di sekitar mereka terkesiap, terkejut dengan apa yang kini mereka lihat. Terutama kaum Hawa, ada yang berteriak dan ada juga yang hanya diam melongo.
Tak jauh berbeda dengan Alicia dan Vani, Ani juga terkejut dengan apa yang Reza lakukan padanya. Belum sempat ia berontak, Reza sudah terlebih dahulu melepas penyatuan bibir mereka.
"Kenapa cari gue? Kangen ya sama gue?" tanya Reza dengan penuh percaya diri. Reza membelai bibir ranum Ani dengan jemarinya, bibir Ani sangat lembut dan juga manis, membuatnya ketagihan sejak pertama kali ia merasakannya.
"Breng–" Ani tidak sempat melanjutkan umpatannya karena Reza membungkam bibirnya. Kembali melumat bibirnya tanpa peduli kalau mereka mulai menarik perhatian dari banyak orang yang masih berada di kelas tempat Ani belajar.
"Sadar tempat bego!" Umpat seorang pria yang tak jauh tampan dari Reza sambil menarik rambut Reza, membuat Reza mau tak mau melepaskan bibir Ani dari pagutannya.
Reza menoleh, menatap berang pada pria yang baru saja menjambak rambutnya. Lebih tepatnya pada Bambang, sahabat karibnya.
"Apa?" Bambang terlihat santai, sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Reza berikan. Di sini yang salah Reza, bukan dirinya.
"Sakit woy!" Umpat Reza, berniat meninju Bambang, tapi Bambang sudah terlebih dahulu menjauh.
Bambang memutar matanya jengah. "Syukurin," sahutnya santai. Sama sekali tidak peduli dengan umpatan yang terus Reza keluarkan.
Ani yang sejak tadi diam, akhirnya mulai sadar dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sialan! Reza baru saja menciumnya di depan umum. Bisa ia pastikan kalau hidupnya tidak akan lagi bisa tenang setelah kejadian kali ini.
"Reza!" Teriak Ani menggelegar.
Reza terlonjak kaget saat Ani tiba-tiba berteriak di telinga kanannya. Telinganya bahkan sampai berdengung. "Teriakan lo keras juga ya, sampai telinga gue sakit," ringisnya sambil mengusap telinganya yang berdengung.
"Kurang ajar! Reza sialan!" Ani terus mengumpat sambil melayangkan tinjuannya pada tubuh Reza yang sangat keras dan berotot. Ini sih, tangannya yang sakit, bukan tubuh Reza.
"Gue pinjam Ani ya, bye." Reza pamit sambil melambai pada Alicia dan Vani yang masih bengong. Tanpa menunggu jawaban dari Alicia dan Vani, Reza menarik Ani keluar dari kelas, tidak peduli meskipun Ani terus memberontak dan menjerit minta di lepaskan.
Alicia dan Vani sibuk mencerna kejadian yang baru saja mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka baru saja melihat seorang pria mencium sahabat mereka, di depan umum lagi.
Alicia dan Vani saling lirik, lalu keduanya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, mencari Ani.
"Van, Ani mana?" Alicia panik saat tidak melihat Ani ada di sekitar mereka.
Ani dan Reza sudah hilang, entah ke mana, bahkan pria yang tadi menarik rambut Reza juga sudah tidak ada.
"Gue enggak tahu, mungkin pergi sama Reza," jawab Vani tak kalah paniknya.
"Reza lepas." Ani mencoba lepas dari cekalan tangan Reza. Tapi, semakin ia mencoba melepaskan diri, maka semakin kuat pula Reza mencekal pergelangan tangannya.
"Diam An! Atau nanti aku cium!" Ancam Reza sungguh-sungguh. Ia tidak berbohong, sekali lagi Ani merengek, maka ia akan benar-benar mencium Ani.
Seketika Ani bungkam, ia tahu kalau ancaman Reza bukan isapan jempol semata. Sialan! Kenapa ia harus terjebak dengan pria menyebalkan ini sih?
Tanpa Ani sadari, kini keduanya sudah sampai tempat parkir khusus motor. Reza melepas tautan jemarinya dengan Ani, lalu duduk di jok motor Ani.
"Sini kunci motornya?"
Ani menggeleng. "Enggak mau!" tolaknya tegas. Untuk apa Reza meminta kunci motornya? Apa jangan-jangan Reza mau mencuri motornya?
"Sayang, sini kunci motornya," ujar Reza dengan nada lemah lembut.
Wajah Ani sontak merona begitu Pria yang kini duduk di motornya itu memanggilnya dengan sebutan sayang. Damn! Semoga Reza tidak menyadari kalau kini wajahnya merona.
"Tambah cantik kalau wajahnya merona," goda Reza sambil mengedipkan matanya dan memberi senyuman manisnya.
"Si-siapa yang merona." Ani memalingkan wajahnya, tidak berani menatap Reza yang kini sedang terkekeh.
Dalam hati, tak henti-hentinya Ani mengumpat. Merutuki kebodohannya sendiri, kenapa coba ia harus merona begitu Reza memanggilnya dengan sebutan sayang? Sial! Pasti ada yang salah dengan dirinya, kenapa pula jantungnya malah berdebar-debar tak karuan?
"Sini kunci motornya." Mau tak mau, suka tak suka, Ani merogoh tasnya, mencari di mana kunci motornya.
"Nih!" Ani menyerahkan kunci motornya pada Reza dengan kesal.
Reza menggeleng, kembali menyerahkan kunci motornya pada Ani. "Ulangi lagi."
Kening Ani berkerut, bingung dengan maksud ucapan Reza barusan. "Maksudnya?" tanyanya dengan alis bertaut.
"Ulangi sayang, yang sopan ngasihnya. Sama calon suami enggak boleh marah-marah. Raut wajahnya yang lembut, jangan galak-galak."
Mata Ani sukses membola begitu mendengar jawaban Reza yang teramat sangat percaya diri. "Ih pede!" cibirnya ketus.
"Ulangi lagi." Reza memilih mengabaikan cibiran Ani.
"Iya-iya," sahut Ani malas. Ani menarik dalam nafasnya guna menghilangkan rasa kesal yang kini bercokol dalam hatinya. Sabar, orang sabar di sayang Ayah.
Reza yang melihat Ani menarik dalam nafasnya hanya terkekeh dengan tangan yang kini menengadah, menunggu Ani memberikan kunci motornya dengan sopan.
Dengan anggun dan senyum manis, lebih tepatnya senyum terpaksa, Ani memberikan kunci motornya pada Reza. Padahal dalam hati, ia ingin sekali menghajar Reza.
"Lo mau naik motor sama gue? Gue gak punya dua helm, cuma 1 helmnya."
Reza memiringkan tubuhnya ke kanan lalu meraih sebuah helm berwarna hitam dari motor yang terparkir di sampingnya.
"Enggak boleh! Itu kan helm orang lain!" sergah Ani cepat.
"Ini helm punya aku, bukan punya orang lain," jawab Reza kalem.
Ani melongo begitu mendengar jawaban Reza yang teramat sangat santai. Kalau punya motor sendiri, kenapa harus pakai motornya?Baru saja Ani akan protes, tapi kalah cepat karena Reza sudah mengulurkan sebuah jaket kulit berwarna hitam padanya.
"Pakai jaketnya biar kamu enggak masuk angin."
Dengan bibir mencebik, Ani menerima jaket kulit miliknya sendiri yang entah kenapa bisa berada di Reza.
Reza menyalakan motor Ani, asal kalian tahu saja. Motornya dan motor Ani sama persis karena memang ia sengaja melakukannya. Ia sengaja membeli motor yang sama persis dengan milik Ani.
Dengan malas-malasan, Ani menaiki motornya dan ia merasa sama sekali tidak takut dengan Reza. Padahal ia dan Reza baru saja bertemu dan bisa saja Reza adalah penjahat yang berniat menculiknya.
"Sini peluk." Dengan penuh percaya diri, Reza meminta agar Ani memeluknya.
Ani menggeleng. Menolak permintaan Reza. "Enggak mau!" tolaknya mentah-mentah. Ani memilih menumpukan kedua tangannya di bahu Reza dan sedikit menjaga jaraknya dengan Reza.
"Yakin?"
"Iya ih! Cerewet banget sih!"
Reza melajukan motor yang di tumpanginya keluar area kampus, membelah jalanan yang padat.
"Reza!" teriak Ani sambil memukul bahu Reza dengan kekuatan penuh. Ia kesal karena Reza merem motornya secara mendadak, membuat tubuhnya sontak maju, menubruk tubuh Reza.
"Makanya pelukan," sahut Reza sambil terkekeh. Sebenarnya ia sengaja melakukan hal itu agar Ani mau memeluknya.
"Modus," cibir Ani.
"Emang modus." Reza menyahut santai.
Ani menghela nafas dan tanpa ia sadari, ia terus menggigit bibirnya dan itu semua tak lepas dari pengamatan Reza yang sejak tadi memperhatikan Ani lewat kaca spion.
Motor yang Reza kendarai sedang berhenti karena lampu merah, jadi Reza bisa melihat wajah Ani dengan puas lewat kaca spion, mengingat helm yang Ani kenakan tidak sepenuhnya tertutup.
Reza tersenyum begitu ia merasakan kedua tangan Ani menyusup masuk ke dalam saku jaket kulitnya yang sama persis seperti jaket kulit milik Ani.
Begitu lampu rambu-rambu lintas berubah hijau, Reza kembali melajukan motor milik Ani dengan kecepatan penuh, membuat pelukan Ani semakin mengerat.
Ani memejamkan matanya, dengan wajah yang kini bersandar di punggung Reza, menikmati suasana yang baru pertama kali ia rasakan.