“Um … Mas mau tidak … jadi pengantin pengganti itu? Nikah sama saya besok pagi.”
Zahra meringis begitu menyelesaikan kalimatnya. Entah mengapa dia punya ide gila itu dan dengan beraninya menyuarakan. Zahra menelan ludah. Menghembus napas lega karena pria di depannya tidak langsung marah-marah setelah mendengar permintaan gilanya. Pria itu hanya menatapnya tajam.
Zahra berdehem. “Jangan salah paham. Saya bukan ingin menjebak Mas dengan pernikahan. Saya cuma minta bantuan Mas untuk menyelamatkan muka orang tua saya. Saya sendiri tidak masalah ditertawakan, diomongin tetangga. Tapi, orang tua saya.” Zahra menarik napas panjang lalu menghembus perlahan. Sepasang mata wanita itu mengedip. “Saya tidak tega, Mas. Mereka akan jadi bahan gunjingan orang satu kampung.”
“Hanya untuk menyelamatkan wajah orang tuamu dari rasa malu?” tanya Naka membuat Zahra langsung mengangguk.
“Benar. Setelah acara selesai, Mas bisa langsung talak saya. Jadi, semua selesai. Yang penting acara besok tetap ada mempelai prianya.” Zahra menjelaskan. Meskipun dia bisa bicara dengan lancar, namun kedua telapak tangan wanita itu terkepal di atas paha. Tanda jika sebenarnya saat ini dia sedang tegang.
“Kalau saya tidak mau, apa kamu akan tetap menikah dengan pria br*ngsek itu?”
Zahra mendesah. “Saya tidak tahu. Saya bingung. Putus asa. Itu sebabnya saya berani meminta bantuan Mas. Yang saya pikirkan hanya orang tua saya. Mereka akan menjadi bullyan orang-orang kampung, dan saya tidak tega.”
“Berarti kamu akan tetap menikah besok?” Naka mendengkus. “Kamu itu … bodoh.”
“Makanya, tolong bantu saya biar saya tidak jadi orang bodoh.” Zahra menatap memohon. Beberapa saat dua orang itu hanya saling menatap dengan isi kepala yang berbeda.
Kedutan terlihat di sekitar rahang pria 25 tahun tersebut. Beberapa saat kemudian Naka menggelengkan kepala sebelum memutar tubuh lalu mengayun langkah kaki—meninggalkan Zahra tanpa sepatah katapun. Tanpa jawaban.
Satu, dua, tiga detik Zahra terdiam sebelum wanita itu tersentak. Zahra beranjak dari bangku semen, lalu berlari saat Naka sudah nyaris tiba di samping mobil sedan hitam.
“Mas … tunggu!” Suara Zahra berhasil mencegah tangan Naka yang sudah akan terangkat ke arah handel pintu. Pria itu memutar kepala, menatap Zahra dengan kernyit di dahi.
D*da Zahra bergerak naik turun dengan cepat.
“Kamu pasti punya teman pria. Minta saja dia jadi pengantin penggantimu,” ujar Naka.
Zahra mengatur napas yang tersengal, padahal dia hanya berlari tidak lebih dari 15 meter. “Saya tidak mungkin meminta teman sekampung saya menjadi pengantin pengganti. Semua orang mengenalnya. Dia juga sudah memiliki kekasih.”
“Harapan saya hanya … Mas.” Suara Zahra mencicit di ujung kalimat. Dia sungguh tidak punya pilihan lain. Pria di depannya ini lah harapan satu-satunya yang dia miliki.
Naka diam menatap wajah memohon Zahra beberapa saat sebelum kemudian mengerutkan sepasang bibirnya. “Berdoa saja Tuhan menggerakkan hatiku,” kata Naka sebelum memutar kepala lalu meraih handel pintu mobil.
“Tunggu.”
“Apa lagi? Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Aku tidak punya kewajiban mengikuti keinginanmu, bukan? Aku sudah membantumu membuang pria b******n yang tidak pantas menjadi suamimu. Aku—”
“Saya mau … pinjam ponsel.”
Naka mengedip. Dia pikir Zahra masih akan ngotot meminta dirinya menjadi pengantin pengganti itu.
“Saya tidak membawa ponsel, tidak juga membawa uang. Saya tidak bisa pulang.”
“Oh ….” Naka memutar langkah hingga berdiri menghadap ke arah Zahra. Pria tampan itu mengeluarkan ponsel dari balik jas. Menggulir layarnya beberapa saat kemudian mengulurkan ke depan Zahra.
“Terima kasih.” Zahra mengambil iphone dari tangan Naka. Menarik pelan napasnya, Zahra mulai menekan beberapa angka lalu menekan tombol panggil. Zahra memutar langkah ke samping supaya tidak berhadapan dengan Naka.
Zahra mendesah kala orang yang ia hubungi tak kunjung menjawab panggilannya. Bahkan hingga suara panggilan terputus. Zahra menurunkan ponsel kemudian menekan beberapa angka yang berbeda. Tak lama wanita itu sudah menempelkan kembali benda penghubung tersebut ke salah satu telinganya.
Naka berdiri menyandar badan mobil sambil memperhatikan Zahra yang kembali mendesah kemudian menurunkan ponsel lantaran orang yang dihubungi tak juga menjawab.
“Masuklah. Aku akan mengantarmu pulang.” Naka menegakkan punggung kemudian membuka pintu.
Zahra menatap Naka. Mengedip, wanita itu kemudian menarik langkah kakinya. Zahra masuk ke dalam mobil. Menggeser posisi duduk kala Naka masuk ke dalam mobil. Zahra kemudian mengembalikan iphone pada sang pemilik.
“Kita antar dia dulu baru kembali ke hotel.” Naka bicara pada pria yang duduk di belakang kemudi. Pria itu sudah akan menyimpan iphone ke saku dalam jas ketika benda tersebut berbunyi.
Zahra refleks menoleh—berpikir jika mungkin saja adik atau ibunya menghubungi balik nomor itu. Namun, sepertinya bukan kala dia melihat Naka membawa benda persegi pipih itu ke telinganya.
“Halo, Ma.” Naka diam mendengarkan seseorang yang sedang tersambung dengannya berbicara. “Apa itu pertanyaan?” tanya Naka begitu dia mendengar sang mama mengatakan, 'Mama tahu kamu sudah kembali. Apa sekarang kamu sedang berada di Semarang?'
Naka yakin sebenarnya sang mama sudah tahu dengan pasti dimana keberadaannya. Wanita tercintanya itu hanya berbasa-basi menanyakan. Lalu, dia mendengar tawa wanita itu.
Zahra mengalihkan pandangan mata ke jalanan melalui kaca samping. Wanita itu terdiam. Bayangan Wildan yang bergerak liar di atas tubuh seorang wanita itu kembali melintas, membuat hatinya kembali terasa nyeri.
Zahra memejamkan mata, berharap semua itu hanya mimpi. Ia berharap saat membuka mata nanti, semua akan kembali seperti sedia kala. Tidak ada perselingkuhan menjijikkan itu.
****
“Bangun. Bangun ….”
Zahra merapatkan kelopak mata yang tertutup sebelum kemudian membuka pelan. Wanita itu mengedip. Satu detik, dua detik … kedua bola mata Zahra membesar--terkejut melihat wajah pria yang ada di depannya.
“Kita sudah sampai. Turun.” Naka menarik tubuhnya menjauh dari Zahra. Pria itu mengedik kepala ke luar jendela. Membuat Zahra memutar kepala dan betapa terkejut wanita itu melihat rumah dengan halaman tertutup tenda dan penuh dekor. Dia tidak sedang bermimpi. Semua yang terjadi ternyata nyata. Harapannya sirna.
“Turunlah. Aku harus pergi.”
Zahra yang masih sedikit linglung mendorong pintu kemudian keluar dari dalam mobil. Zahra sudah akan menutup kembali pintu saat mengingat sesuatu. Zahra membungkuk. "Besok pagi acara ijabnya jam 9." Lalu wanita muda itu menegakkan tubuh kemudian mendorong daun pintu hingga tertutup.
Zahra memutar langkah tanpa semangat. Zahra berdiri menatap dekorasi di halaman rumah orang tuanya. Zahra sempat menoleh ketika mobil di belakangnya bergerak menjauh. Zahra menghembus pelan napasnya.
“Ra … Zahra! Kamu dari mana saja? Ayo masih. Wildan menunggumu."