◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Rumahmu mencerminkan jati dirimu.
Rumahmu adalah istanamu.
Rumahmu adalah surgamu.
Benarkah?
Aku tidak punya definisi tertentu dari rumah.
Karena aku masih belum juga menemukan rumahku. ❞
⠀
{ Notes 13 - Wim — Day 1 decor (Dekorasi hari 1) } ✒️
⠀
⠀
Selva merenung di kamar. Jam dinding Barbie-nya sudah menakar pada angka satu malam. Belum mengantuk juga. Yang ada dan terus membayangi hanya rasa senang berkepanjangan.
Setiap mencoba menutup mata, ada senyum Wim. Berbalik ke kanan kelihatan mata Wim. Berbalik ke kiri ketemu sama hidung Wim. Nengok langit-langit, nongol paras Wim. Untungnya Selva nggak penasaran melihat kolong ranjang.
Kira-kira ada apa di sana...?
Hiiiiiii ....
Senyum masih mengembang di bibirnya. Matanya terpejam. Pikirannya berkelana pada kejadian tadi pagi.
⠀
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
⠀
Sehabis sarapan, Selva dan Wim segera memantau rumah baru yang bakal ditempatinya. Selva sengaja meminta Wim mengemudi mobilnya saja, siapa tahu nanti ada yang harus di beli. Perlengkapan-perlengkapan untuk mendekorasi tentu banyak. Selain itu, kalau motor Wim diparkir di apartemen Selva, berarti nanti Wim akan mengantar Selva pulang. Ide jenius, bukan?!
Wim langsung setuju. Tentu saja setuju. Naik mobil, nggak panas!
Awalnya Wim membawa mobil selamban siput. Ia tahu Selva pasti menyuruhnya untuk lebih kencang dan ternyata feeling Wim benar. Selva menyuruh ngebut. Why not (Kenapa nggak)!
Tiga puluh menit sampai di lokasi, membuat wajah Selva yang baru keluar dari mobil memucat laksana vampir. Shock. Pusing. Mual. Pengen yang asem-asem.
Lho?
Seharusnya perjalanan tadi normalnya ditempuh selama lima puluh menit. Tapi, Wim memangkasnya sampai sebegitunya. Membuat mental penumpangnya down.
Wim santai saja mengambil kunci rumah baru dari tangan Selva tanpa menanyakan dari mana asalnya Selva mendapat topeng pucat begitu. Dengan langkah ringan ia meninggalkan Selva yang berjalan tertatih-tatih satu setengah meter di belakangnya.
Wim membuka pintu ruangan.
“Fiu … Fiuu …,” ia bersuit.
Rumah ini cantik. Atau mungkin bisa di sebut seperti villa. Atau lebih tepatnya lagi kastil. Tidak! Sepertinya kastil agak berlebihan. Wim membayangkan rumah kontrakannya sendiri. Kamar tidur Wim sama besarnya dengan kamar mandi pembantu di rumah ini. Tapi jika dibandingkan dengan rumah orang tuanya, rumah ini memang masih jauh kalah besar. Hanya saja serumah dengan orang tuanya, bisa menghilangkan makna rumahku adalah istanaku.
Wim berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Berharap suatu saat ia bisa membuat rumah seartistik ini. Tidak perlu ruangan yang terlalu besar. Yang penting tampak berseni dan halamannya luas. Bisa dibuat kolam renang, kolam ikan dan ditanami pohon serta bunga-bunga. Kalau bisa, juga dibuat patung air mancur yang bagus biar lebih bergaya. Itu lho, patung anak kecil lagi pipis. Ditaruh di depan gerbang, untuk menyambut tamu.
Kebayang nggak tuh?!
He … he ….
Wim mengalihkan pandangannya pada Selva yang terlihat masih sibuk mengatasi traumanya. Wim memang sopir yang lihai. Tapi …, mengerikan jika membayangkan Wim tidak sempat membelokkan mobil tadi, maka mobil mereka akan berciuman dengan truk besar dengan muatan sapi. Kalau sapi saja bisa menjerit histeris saat itu, maka pekikan Selva dua kali lebih nyaring tiga kali lebih membahana.
“Hei, kamu sakit?” Wim menepuk bahu Selva yang terduduk di sofa yang memang sudah tersedia di sana.
Karena pertanyaannya tidak diacuhkan Selva, Wim ikut-ikutan duduk sehingga posisi mereka kini berhadap-hadapan.
Ia berlagak memperhatikan seluruh ruangan.
“Kelihatannya ruangan ini perlu di cat ulang. Atau bagusnya dikasih wallpaper bermotif. Putih mengingatkan pada rumah sakit. Tapi kalau kamu suka, yea ... tidak apa-apa,” ujar Wim seperti bicara sendiri.
Sejenak kemudian ia kembali mengalihkan pandangan pada Selva.
"Apa kamu sudah tentukan desain apa untuk rumah ini?"
Selva melongo. Desain? Memangnya ada jenisnya? Ya, ampun .... Ia memang buta soal interior!
"Jadi kamu sama sekali nggak ada bayangan, mau didekor seperti apa?"
Selva menggeleng perlahan dengan tatapan polos.
Wim mendengus, memejamkan mata. Sudah kuduga, aku sedang berhadapan dengan balita yang baru belajar merangkak keluar rumah.
Baiklah!
Wim mengeluarkan majalah interior dari dalam ranselnya. Ia meminjam majalah itu dari Yudi, karena Yudi seorang arsitek. Ia lupa memberi tahu Yudi kalau ia mengambil majalah ini tadi pagi. Ouch!
"Well," Wim duduk sambil mengembangkan majalah itu di sebelah Selva. "Di sini ada beberapa tipe desain interior rumah. Kamu bisa pilih atau kombinasikan sendiri desain seperti apa yang kamu ingin. Baca dulu, perhatikan. Nanti kita lanjutkan melihat-lihat ruangan sambil kamu ingat desain-desain tadi."
Wim menggeser majalah itu ke hadapan Selva.
Selva menerimanya. Bukankah ini mirip dengan brosur yang ditawarkan Daimon padanya, tapi tidak Selva gubris?
Selva mulai berkonsentrasi membolak-balik majalah itu. Memperhatikan setiap detail dan gambar-gambarnya. Artikel di majalah itu juga menyarankan beberap produk berkualitas untuk melengkapi setiap ruangan. Selva mengangguk-angguk paham. Ia hanyut menghayati isi dari majalah itu. Ini lebih menarik ketimbang membaca dan menghafal naskah skenario film.
Ia melirik Wim sekilas — yang duduk menyender di lengan sofa panjang di hadapannya, dengan kaki berselonjor santai. Tampak serius memainkan game ular makan apel di ponsel-nya.
Wim cakep banget, pikir Selva. Ia merasa meleleh. Selva mendesah pelan.
"Kenapa? Bingung memilih desainnya?"
Lagi-lagi Wim salah mengartikan desahannya.
"Kayaknya aku sudah dapat gambarannya."
Wim mengalihkan pandangannya ke arah Selva. Menghentikan game tadi.
"Ada beberapa jenis yang aku suka. Aku mau itu bisa dipadukan." Selva menghentikan kata-katanya. Ia menatap raut wajah Wim yang tampak fokus. Apa seperti ini dia kalau sedang dalam mode bekerja? pikir Selva dalam hati.
"Jadi ...?" ucap Wim mengagetkan Selva lagi.
"Aku suka tipe tradisional, shabby chic, industrial, vintage, minimalis juga suka. Tapi aku masih bingung menempatkannya dimana. Kecuali kamarku, aku sudah putuskan desainnya shabby chic."
Wim terkekeh kecil. "Kamar tidur shabby, benar-benar feminim ya ...," komentar Wim. "Oke. Sekarang kita tentukan warna. Warna kesukaan kamu, apa?”
“Pelangi,” jawab Selva.
“Merah, kuning, hijau, dilangit yang biru,” senandung Wim. Ia diam sejenak. Berpikir Selva sedang bercanda atau serius. Kemudian tiba-tiba Wim menjentikkan jari. Tersenyum. Posenya hampir sama dengan Daimon ketika memperoleh ide. Sepertinya Daimon memang kakaknya. Cih!
“Ada apa?” tanya Selva.
“Coba ceritakan semua tentang kamu. Film kesukaan kamu, majalah favorit. Musik, atau apa pun.”
“Buat apa?”
“Untuk ide pendekorasian rumah, dong.”
Hmmm. Selva berpikir sejenak. Apa benar cuma untuk proses dekorasi rumah. Atau jangan-jangan …. Jangan-jangan Wim pengen mengenal dirinya lebih jauh! Selva menggigit bibir. Ini kesempatan yang bagus. Siapa tahu nanti gantian Wim yang akan menceritakan riwayat hidupnya.
“Nama, kamu sudah tahu, 'kan?” mulainya. Wim mengangguk segera. "Sekarang aku baru berumur 17 tahun. Masih single."
Aku nggak nanya itu, batin Wim.
"Terus ..., aku suka film kerajaan, kayak Cinderella, kadang juga yang bertema fantasy seperti Harry Potter, Ella Exchanted, trus film yang romantis seperti AADC, Eifel I’m in Love, My Heart, Barbie juga suka. Trus lagu ….”
“Kamu pernah nonton BF, nggak?” potong Wim. Ia hanya ingin melihat reaksi gelagapan dari Selva.
Dan benar. Seketika wajah Selva terpahat jadi patung.
“Nggak,” jawabnya setelah jeda seperempat menit.
“Bener?” tanya Wim meragukan.
“Sungguh.”
“Terus, CD yang aku lihat di apartemen kamu, itu namanya apa?”
Selva mulai keringatan dengan wajah blushing (merona).
“Itu … itu … pu… punya Nabel yang udah lama ketinggalan waktu … oh … waktu nginap di rumah.”
Sebenarnya Selva dan teman-temannya patungan untuk membeli CD itu dan majalah Playboy hanya karena penasaran. Kenapa banyak orang yang ngomongin tentang kedua benda tadi. Kalaupun mereka kumpul dan menonton film itu, paling hanya untuk mencela para pemainnya, ada yang panuan, atau yang t*t*knya kayak bakpao, lalu mereka ngobrol hal lain dan membiarkan filmnya jalan sendiri.
“Oh, ya?”
“Iya …. Bukan punya aku.” Muka Selva memerah. Paling nggak bukan cuma aku yang punya saham di sana.
Wim mengangkat kedua alisnya, bergumam, “Oh ... punya kamu juga nggak pa-pa,” ceplos Wim cuek. Yang penting dia sudah sukses bikin Selva gundah gulana.
Selva merengut kesal. Ia malu sekali pada Wim. Bagaimana Wim memandangnya sekarang? Apa ia bakal menganggap Selva cewek nakal ...?
Huhu .... Selva meratap dalam hati.
“Lanjut. Lagu yang kamu suka apa?” ujar Wim sambil mengulum senyumnya.
Susah juga mengembalikan konsentrasi. Apalagi cara Wim bertanya seperti polisi menginterogasi. Seolah Selva lah yang menjadi agen VCD p*rn*.
“Lagu yang aku suka, Britney Spears, Tata Young, Melly Goeslaw, Peter-pan, Sulis ….”
“Sulis? Cinta Rosul?” tanya Wim tak percaya.
“Kenapa? Kamu pikir aku nggak suka lagu-lagu religi?”
“Bukan bermaksud melecehkan, tapi sebenarnya aku juga senang lagu Opick, Raihan dan Debu.”
“Oh, ya?” Selva terpana. Ada juga ternyata cowok yang bukan hanya urakan nyanyi lagu barat, mabok, berjoget gila-gilaan, berciuman di depan umum dan tidak tahu siapa yang dia cium, lalu nguntil es krim di kulkas, bisa suka sama lagu-lagu bernuansa religi? Really (Benarkah)?
“Kamu lebih senang pantai atau pegunungan?” lanjut Wim lagi.
“Aku senang dua-duanya. Rasanya ingin libur di pantai, tapi juga asyik kalau pergi ke pegunungan,” jawabnya. Agak berharap Wim akan menawarkan mengajaknya jalan-jalan suatu saat nanti ke sana.
“Kadang-kadang, waktu pagi aku ingin menatap pegunungan tapi waktu sore aku ingin melihat sunset (matahari terbenam). Sayangnya aku nggak bisa menyaksikan itu. Bahkan waktu libur,” lanjut Selva.
Wim tersenyum lagi. “Kenapa nggak ngajak temen-temen kamu jalan-jalan ke sana?”
Nggak berperasaan!
Nggak ngerti kode!
Ini kode keras!
Kode keras ...!!!
Nyadar nggak sih ...?!
Selva ngambek. Bukannya nawarin dirinya sendiri malah merekomendasikan teman-temanku. Apa enaknya jalan-jalan ke pantai atau ke gunung sama mereka. Nggak ada romantis-romantisnya!
“By the way, kalau aku ngajak teman-temanku ikut mengerjakan rumah ini gimana, kamu setuju nggak?” tanya Wim tanpa memperhatikan raut wajah kesal dari Selva.
“Kami satu tim. Mereka semua temen akrabku sejak SMA. Sekarang juga kuliah di kampus yang sama. Tapi beda fakultas. Nah, mereka lagi butuh kerjaan buat nambah-nambah uang saku. Biasa … anak kos,” ujar Wim kembali meyakinkan Selva. "Gimana menurut kamu?"
“Berapa orang?”
“Cuma empat orang.”
Wim membuka ranselnya. Mengeluarkan album foto pada Selva. Mencoba meyakinkan bahwa ia memboyong orang-orang baik ke tempat ini.
“Yang ini Fathir. Orangnya gendut tapi kerjanya kilat, sama juga kayak makannya,” tunjuk Wim pada sosok bulat di foto. “Yang ini Ruli, dia cakep, 'kan?” Wim menaik-turunkan alisnya.
Selva mencibir.
Cakepan juga kamu! tambah Selva dalam hati.
“Ini Deki,” lanjut Wim. “Tapi kami lebih senang manggilnya dengan nama belakangnya. Sagitarius. Kadang kalau pengen bikin dia keki, kita panggil di depan umum dengan nama ‘Tari’. Dia bakalan mencak-mencak. Tapi sebetulnya orangnya pemalu. Coba aja ajak salaman, dijamin langsung pingsan."
Wim terkekeh geli. Membuat Selva ikut mengulum senyum.
"Nah terakhir, Timothius. Dia si tangan dingin. Nanam pohon, bunga, sampai uang pun semua jadi subur.”
Selva membelalak tak percaya.
“Mamanya kerja di Bank.”
Selva mencibir lagi. Dikira bisa menanam pohon uang, nggak tahunya ….
“Nah, sekarang udah agak baikan?”
Selva tercengang. Nggak menyangka orang se-cuek Wim bisa tahu tadi dia sedang mabuk darat.
“Udah bisa jalan?” tanya Wim lembut.
“Belum,” sahut Selva becanda.
Namun betapa kagetnya Selva ketika tiba-tiba Wim berjongkok di hadapannya. Menyerahkan punggungnya.
Senyum mengulas di bibir Selva.
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦