◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Pelangi di senja hari,
Lompatan, debur ombak, debaran hati.
Mewakili gelombang yang memecah karang.
Setiap bayang dibalik merah mentari dan lengkung pelangi.
Semua terpatri dalam jepretan memori. ❞
⠀
{ Notes 16 - Roseva Walen & Wim — Twilight blushed (Senja tersipu) } ✒️
⠀
⠀
Pantai memang pantas menjadi rute favorit semua orang untuk melepas lelah, khususnya para kawula muda. Mereka bisa makan kuliner apapun di tenda-tenda sepanjang jalan. Lalu mencicipi cemilan roti bakar berlapis keju dan meses serta taburan cocochip. Jagung dan pisang bakar yang bisa dipoles dengan saos dan sambal atau meses dan mayones. Semuanya bisa dilakukan sambil memandang ombak yang menabuh pasir pantai dan karang. Dihembus oleh angin sepoi-sepoi. Melihat para pemain voli pantai beraksi. Belum lagi kalau ditemani orang terkasih.
Di sanalah sore ini Selva dan Wim makan. Tadinya mereka memang hanya mau makan dan pulang sebelum senja. Tapi ternyata Selva ingin melihat sunset. Tak apalah, Wim setuju saja. Apalagi ketika ia ingat kerjaannya sebagai paparazi merangkap jurnalis yang selalu membawa-bawa kamera, tentu saja potret sunset bakalan jadi asset yang bagus.
Wim mengajak Selva menuju batu karang besar di tepian pantai. Di sana ombak membanting-banting dan berlomba memecah karang. Kelihatannya ingin menunjukkan siapa yang lebih garang.
Sementara Selva sedang duduk di sana sambil makan jagung bakar, Wim sibuk menjeprat-jepret ke berbagai arah.
Walaupun matahari belum menuju peraduannya dan hari masih pukul lima sore, Wim dapat satu objek bagus yang tak bisa dilewatkan.
Pelangi.
Tadi memang sempat muncul hujan lewat. Wajar saja sekarang pelangi menampakkan keindahannya meski di sore hari seperti ini! Ini benar-benar kesempatan langka untuk mendapatkan jepretan yang bagus.
“Sel, look here (lihat sini)! Ada pelangi!” sorak Wim sambil menunjuk pelangi itu.
Selva berdiri di sisi Wim, “Cantik banget,” desahnya.
Wim tersenyum. Ia melirik ke arah Selva yang tengah mengagumi pelangi. Siluet wajah Selva yang lembut dilatar belakangi cahaya senja serta pelangi membuat Wim tertegun. Senyum gadis itu dan binar matanya seakan mampu mengalahkan pesona alam itu sendiri. Menyihir Wim.
Wim mundur kebelakang. Mengatur dan mencari posisi yang pas, lalu membidik kameranya berkali-kali. Rasanya belum pernah ia merasa begitu b*******h mengarahkan lensanya sampai seperti ini. Seluruh fokus perhatian, pikiran dan hatinya hanya terpaku pada satu objek yang tengah memandangi pelangi. Entah berapa kali ia menotret Selva tanpa sepengetahuan gadis itu.
“Selva, over here (di sini)!” ucapnya mencoba mengalahkan desau angin senja yang bergemuruh.
Selva tersenyum sambil menoleh ke arah Wim.
JEPRET! JEPRET!
“You’re so pretty (Kamu cantik banget)!” puji Wim kagum.
Selva gelagapan. “Wim, tapi itu pasti jelek. Aku lagi ngapain tadi?”
“Manis kok. Tenang aja, aku nggak pernah gagal memotret apapun!” jawabnya seraya mengedipkan mata.
Selva masih berniat protes, tetapi ....
⠀
“HOOIII … WIM, SINI!!!!
Mereka terlonjak ketika mendengar ada suara yang memanggil Wim.
Ada serombongan cowok yang datang menghampiri mereka berdua. Cowok-cowok itu membawa bola takraw yang terbuat dari rotan. Kelihatannya sangat mengenal Wim.
Wim tersenyum seraya melangkah ke arah rombongan cowok itu. Dia ber-high five (tos) dengan salah seorang di antara mereka.
“Udah lama nggak ke sini, tahunya datang-datang sudah bawa cewek,” canda salah seorang cowok dalam rombongan itu.
Wim tersenyum. “Oh ya, kenalin, namanya Selva. Sel, ini temen-temen kampus aku,” kata Wim seraya memperkenalkan Selva pada cowok bertubuh besar dan berambut gimbal gondrong yang diikat ke atas, khas cowok reggae.
Mereka saling mengulurkan tangan.
“Nama gue Joker. Jodi keren,” ujarnya sambil memamerkan tawa dan gigi gingsulnya pada Selva.
Mau-tak mau rasa canggung Selva mulai hilang sedikit demi sedikit. Apalagi ternyata teman-teman Wim yang lain ikut-ikutan tertawa.
“Kayaknya gue pernah ngelihat elo deh. Dimana ya?” Jodi garuk-garuk kepala.
Wah… mampus gue, batin Selva.
“Jangan-jangan loe cewek yang masuk ke dalam mimpi gue tadi malam, ya?”
“HUUUUU!!!! Muke loe jauh!” sela temannya yang lain sambil menjitak kepala Jodi.
Jodi tertawa sambil mengangkat jari tengah dan telunjuknya. Peace!
"Tapi beneran, lho," sela temannya yang lain. Ia tidak mengenakan baju sama sekali. Otot bisep dan abs nya membentuk menggoda. Apa mereka ini atlet? batin Selva. Untungnya Selva tidak tergoda sama sekali. Ia terlanjur suka hanya pada Wim. "Kamu mirip artis."
"Mana ada artis hang out (ngeluyur) di tempat rakyat jelata kayak kita-kita di sini, dodol," bantah temannya yang lain sambil menoyor kepala temannya tadi."
"Oh, iya, ya," cowok tanpa baju tadi ikut cengengesan. "Ada juga naek kapal pesiar, jalan-jalan keluar negeri." Mereka semua terkekeh kocak.
Percayalah, ucap Selva dalam hati. Ia jalan-jalan ke luar negeri itu hanya untuk syuting atau pemotretan. Sama sekali tidak ada ceritanya memanjakan diri, dan menikmati waktu seperti saat ini.
Namun, paling tidak Selva kembali tenang karena cowok-cowok tadi tidak menaruh curiga lagi padanya. Tadinya Selva pikir cowok itu bakal membuka identitasnya di depan Wim.
“Wim, loe ikut main takraw, ya? Anyutin aja tuh si Nono, g****k! Lihat, gua telanjang d**a!" ucap cowok yang mencurigai Selva tadi kesal. Dia kelihatan geram pada salah seorang temannya.
Sepertinya mereka taruhan yang kalah buka baju.
Wim menoleh ke arah Selva. “Kamu nggak apa-apa, 'kan, duduk di sini sementara aku main?” tanya Wim minta persetujuan Selva.
Selva mengangguk.
Apa kalau Wim kalah, dia bakalan buka baju juga?
Wow ....
Kenapa dia jadi mengharapkan Wim kalah? Selva menepuk-nepuk wajahnya, mencoba menyadarkan diri.
“Kalau gitu, tolong pegangin ransel sama kameranya, ya,” ujar Wim seraya bergabung bersama gerombolan Jodi.
Selva terus memperhatikan gerak gerik Wim. Tiap kali Wim melakukan smash, berlari, melompat mengejar, menyundul bola. Memantul-mantulkan bola di kakinya. Rasanya Selva ingin sekali melukisnya. Tapi yang ada hanya kamera handphone ini, pikir Selva seraya melirik ponselnya. Kayaknya nggak apa-apa dech, kalau dipakai, pikirnya.
Sekarang gantian Selva yang menjepret Wim. Pasti nanti hasilnya bagus kalau dia cetak, pikir Selva ketika Wim melompat untuk melakukan smash lagi. Apalagi kalau dipajang di kamar, batin Selva lagi ketika menjepret Wim yang sedang tertawa. Kalau foto ini ditaruh di dompet, 'kan bisa dibawa kemana-mana. Selva tersenyum melihat Wim tersungkur saat melakukan tendangan salto. Mukanya lucu … ayo … foto lagi!
Dan akhirnya ….
Wim tidak jadi kalah.
Selva kecewa.
Ia gagal melihat abs (otot perut) Wim. Hiks!
Sekarang para pemenang dan penonton sepak takraw pantai — yang ternyata sudah bertambah banyak — sedang bersorak merayakan kemenangan Wim dan dua orang temannya. Cowok yang tadi tidak pakai baju, sudah memasang kaos nya kembali. Sekarang giliran Jodi dan dua rekannya yang gantian membuka atasan mereka. Para penonton bersorak riang.
Selva ikutan terkekeh ketika melihat salah seorang teman Wim yang mencoba menutupi dadanya yang berbulu lebat dari pandangan penonton. Raut wajahnya memerah tapi masih sempat cengengesan.
"Sesuai perjanjian, yang kalah traktir!" sorak Wim. Tim yang kalah langsung mendadak lemas.
Wim tertawa lepas. Tampangnya berubah-ubah dari lucu … cakep, macho. Selva terpesona. Apalagi kalau keringatan begitu, pikir Selva. Terus alisnya bertaut begitu. Cakep banget.
“Ada apa?” tanya Wim merasa di perhatikan saat mereka menikmati minuman hasil traktiran.
Secara spontan Selva mengusap keringat Wim dengan sapu tangannya.
Terdengar suitan dari meja di sebelah mereka. Tempat teman-teman Wim tadi berada. Beberapa guyonan dan ledekan mereka membuat wajah Wim memerah. Anehnya Selva malah merasa senang melihat Wim terlihat malu begitu.
"Kamu kenapa senyum-senyum?" Wim berusaha tampak cuek. Walaupun wajahnya masih merona.
Selva mengulum senyumnya seraya berpaling. Ternyata Wim pemalu juga. Ia terkikik.
Wim mendelik padanya.
“Tuh lihat, sunsetnya udah muncul!”
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦