BAB 2: JAS HUJAN BUNGA-BUNGA

2125 Words
Jam di dinding menunjukkan hari sudah mendekati senja. Musim penghujan yang sudah mulai menyapa membuat matahari kerap bersembunyi di balik awan. Langit terlihat mendung tanpa bias jingga yang biasa hadir kala cuaca sedang cerah. Megi merebahkan kepala di atas meja kerja, titik-titik bening muncul di dahinya, sementara punggungnya serasa akan membeku karena hembusan penyejuk ruangan. Mengapa waktu berjalan begitu lambat? Getar ponsel yang beradu dengan permukaan meja membuat Megi terkesiap. Ia segera menguatkan diri dari rasa sakit yang seolah menghisap habis tenaganya. Megi meraih gawainya, menekan tombol terima dan menempelkan alat komunikasi itu di telinga. “Selamat Sore. Dengan Megumi Fayola, jurnalis City News?” ujar seorang wanita di ujung panggilan. “Ya, ini saya. Maaf, dengan siapa saya bicara?” Megi menjawab masih dengan posisinya yang belum berubah. “Saya, Miya Tama, sekretaris CEO Tenshi Ads. Sekitar sebulan yang lalu, Anda membuat janji untuk mewawancarai CEO kami, Ibu Rosa Sarah Tenshi. Rencana wawancaranya adalah besok. Apakah Anda ingat?” Tentu saja Megi ingat, hal sepenting itu tak akan mungkin hengkang dari memorinya. Semangat Megi tiba-tiba menyala, ia bangkit dari posisi lemahnya, menegakkan punggung begitu saja. Nama Rosa Sarah Tenshi sedang menjadi pembicaraan hangat beberapa bulan belakangan ini. Awalnya, ia dikenal di dunia bisnis sebagai putri dari Rai Aditya Tenshi, pemilik Tenshi Group, sebuah jaringan perusahaan yang fokus di bidang pemasaran. Sekembalinya dari studi panjangnya di Perancis, ia mengambil alih kepemimpinan Tenshi Ads. Sebelum Rosa datang, Tenshi Ads kerap dijadikan bahan candaan di kalangan para pengusaha. Perusahaan itu seolah hanya tinggal menunggu dinyatakan pailit. Namun kini, di usianya yang baru menginjak 25 tahun, Rosa tak hanya menarik perhatian orang-orang besar di dunia pemasaran, melainkan juga para usahawan, baik mereka yang baru memulai hingga mereka yang sudah dikenal sebagai para old money negeri ini. Ya, apalah gunanya produk yang bagus jika kita tak mampu menjualnya? Akibat dari kejeniusannya, berbagai penghargaan bisnis didapatkan Tenshi Ads. Seperti efek domino, undangan pertemuan dan wawancara pun menyerang kantor Chief Executive Officer dan mengantri untuk mendapatkan jawaban. Sayangnya, amat sangat sulit untuk bisa mendapatkan peluang wawancara. Bahkan media paling mainstream pun hampir tidak bisa mendapatkan kesempatan itu. Jikapun mereka berhasil mewawancarai Rosa dan hanya mendapatkan beberapa kata darinya, itu sudah cukup dan beritanya akan dimuat di halaman utama yang paling menarik perhatian. Wawancara eksklusif yang dijadwalkan esok hari akan dipublikasikan di semua lini media massa. Temanya adalah Perempuan Muda Berdaya. Berkisah dengan seorang CEO wanita dari generasi muda negeri ini yang memiliki kemampuan bisnis luar biasa. Bisa bayangkan ketika induk wawancara ini jatuh ke tangan City News? Tentu saja, media lainnya iri pada mereka. Dan ketika Pimpinan Redaksi mempercayakan tugas ini pada Megi, sontak semua reporter dan jurnalis di gedung itu hasad pada gadis mungil itu. Bukan hal mudah untuk menentukan siapa yang akan berdialog dengan Rosa. Masalahnya, besarnya perhatian publik dan dunia bisnis pada nama Rosa, sebesar itu pula perhatian yang akan tertuju pada jurnalis yang akan mewawancarainya. Dan panggilan sore ini membuat hati Megi tiba-tiba tak tenang. “Iya, saya ingat. Apakah ada perubahan, Kak?” “Betul,” jawab Miya. “Besok Ibu ada meeting penting di Thamrin. Apakah memungkinkan jika wawancaranya ditunda ke minggu depan?” ‘TIDAK!’ pekik Megi di dalam benaknya. Wawancara bisnis dan inovasi di kantor mereka sangat memperhatikan ketepatan waktu. Seminggu setelah wawancara, naskah harus sudah dilaporkan ke Pimpinan Redaksi untuk diverifikasi dan kemudian diterbitkan. Jika tidak ada wawancara artinya kolom bisnis dan inovasi harus kosong atau diisi dengan berita yang membosankan. “Bakalan jadi masalah banget untuk saya kalau diundur ke minggu depan, Kak. Sebentar saja Kak, saya ga masalah venue berubah Atau wawancara by phone pun ga apa-apa,” jawab Megi. “Meeting ini sangat penting, Kak. Dan setelahnya ada perkerjaan yang harus segera Ibu selesaikan. Akan butuh waktu sekitar seminggu sampai Ibu kembali ke Jakarta. Itu sebabnya kami mengusulkan pergeseran waktu.” ‘Dikira dia doang apa yang punya kerjaan!’ “Tolonglah, Kak. Sebentar saja. Satu jam pun ga masalah. Atau setengah jam deh. It’ll be ok.” Dua minggu penuh Megi menyiapkan wawancara ini. Naskah dan daftar pertanyaan pun sudah siap. Bagi Megi wawancara ini teramat penting. Ia belum lama berada di kota ini, jadi tugas ini seperti memberi kesempatan bagi Megi untuk membuktikan kemampuannya yang masih kerap diragukan banyak koleganya. Setelah terdiam beberapa saat, suara Miya terdengar kembali, “Ibu ada pertemuan bisnis malam ini. Mungkin, sekali lagi mungkin. Mungkin saya bisa mengatur waktu di tengah acara. Bagaimana, Kak?” “Ya! Saya mau! Akan saya tunggu!” ujar Megi, antusias. “Tolong beritahu saya dimana tempatnya.” “Kak Megi, mungkin wawancara ini akan sangat singkat. Malah saya ragu bisa sampai setengah jam.” “It’s ok.” “Baik kalau begitu, lokasi Ibu meeting malam ini akan saya kirimkan ke ponsel Kakak.” “Oke. Terima kasih.” Megi akhirnya melakukan peregangan pada tubuhnya. Ia segera mematikan komputer dan mulai berkemas. Prisa, seorang kolega Megi yang duduk di samping kirinya sontak menoleh saat menyadari adanya pergerakan heboh dari kungkang yang sedari tadi hanya merebahkan kepala. “Bangun juga kaum rebahan!” ujar Prisa. “Gue kira lo berubah dari monyet jadi kungkang.” Megi mendengus. “Wawancaranya dimajuin, Sa. Gue mesti ke lokasi nih, lo tau sendiri macetnya kayak apa,” lirih Megi. “Hah?” Wajah Megi benar-benar terlihat pucat. “Lo ga apa-apa?” tanya Prisa lagi, khawatir. “Ya apa-apa! Keram haid ini membunuhku. Tapi mau gimana lagi?” Megi berdiri dari tempatnya duduk, melangkah tanpa semangat menuju mesin pencetak untuk mengambil setumpuk dokumen. Printer mencetak tanpa suara, sementara Megi menyusun lembar demi lembar di hadapannya seraya melamun. Tepat saat ponsel seseorang berdering nyaring, ia tersadar jika ia harus menghubungi Isla, sahabatnya. Megi ada janji makan malam, Isla akan mengenalkannya pada seorang teman baiknya selama masa putih abu-abu. Megi merogoh saku, mengambil ponsel lalu memasukkan nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Begitu ia akan menekan tombol panggil, Isla justru lebih dulu menghubunginya. “Di mana, Gi?” “Di kantor.” “Lemes amat sih?” “Perut keram. Dan gue ga bisa hot pot-an bareng lo.” “Lho, kenapa?” “Si Rosa ga bisa wawancara besok, malah minta diundur ke minggu depan. Gue ga maulah! Jadi malam ini gue musti ngejar dia.” “Capek banget hidup lo!” “Gitulah Nek. Mending ngejar cowok ya kan?” “Ngga!” “Ah lo mah gitu mentang-mentang udah punya Oki. Padahal cowok lo tuh ga ada bagus-bagusnya!” “Terus aja Gi, gue leletin rawit setan mulut lo!” “Canda Nek, canda.” “Gue juga masih ada kerjaan, Gary juga. Jadi, kita bakalan makan kemaleman. Itupun kalau sempat. Nanti kontakan lagi aja. Kalau lo selesai cepet, nyusul aja oke?” “Oke sip.” “Ya udah, bye Gi.” “Bye, La.” Panggilan berakhir, daftar pertanyaan wawancara pun selesai dicetak. Megi gegas kembali ke mejanya, memasukkan dokumen itu ke dalam map, lalu menyampirkan tas tangannya di bahu kiri. “Gue duluan ya, Sa,” ujarnya pada Prisa. “Oke. Hati-hati, Gi.” Baru dua langkah Megi berjalan, Prisa berujar lagi, “Fokus, Gi. Kalau lo mengacau, banyak yang bakalan ngetawain lo dan bikin pesta syukuran. Lo paham kan maksud gue?” *** Tempat wawancara yang dipilihkan dan disiapkan oleh Miya adalah ruang meeting kecil di salah satu restoran sebuah hotel berbintang lima. Rencananya, Rosa akan keluar selama maksimal 30 menit di tengah rapatnya dan melakukan dialog dengan Megi. Jam di salah satu sisi dinding sudah menunjukkan pukul 19:45 wib, yang artinya sudah tepat satu jam Megi menunggu. Namun, sosok Rosa belum juga muncul di hadapannya. Lima belas menit kemudian, akhirnya, yang Megi tunggu pun tiba. Salah seorang perempuan hebat negeri ini tengah mendekat padanya. Megi berdiri, tersenyum hangat. “Maaf, Kak Megi. Menunggu lama?” ujar Rosa seraya menyambut uluran tangan Megi. “Saya yang minta maaf karena memaksa bertemu Ibu malam ini. Silahkan duduk, Bu.” “Kadang begini Kak, suka tiba-tiba ada meeting penting yang harus dihadiri.” “Iya, Bu.” “Langsung kita mulai bisa? Kami sedang break, setengah jam lagi saya harus kembali ke ruangan.” “Baik, Bu.” Syukur alhamdulillah, tepat 30 menit wawancara singkat itu berakhir. Megi berhasil menanyakan hal-hal terpenting pada Rosa. Dan penjelasan Rosa pun benar-benar membuat Megi bahagia. Ia bahkan sempat lupa dengan keram perutnya selama sesi dialog. Setelah Rosa meninggalkan meja mereka, Megi pun segera meninggalakan restoran itu. Namun yang didapatnya adalah malam pekat yang masih dibasahi gemericik hujan. Megi, terpegun. Ia menyapukan pandangannya, mencari taksi yang bisa ia tumpangi. Herannya, tak ada sama sekali. “Mas, bisa tolong panggilin taksi?” pinta Megi ke seorang security di sana. “Lagi susah banget, Kak. Yang pada ngetem juga ga ada. Tadi juga ada tamu yang nunggu hampir satu jam. Karena hujan deras mungkin.” Megi mengangguk. Ia lalu mengeluarkan gawainya, meluncur ke aplikasi transportasi online. Mencoba memesan dari sana. Dan benar saja, sudah 20 menit namun tak ada satupun taksi yang mau mengambil orderannya. Lelah sekali rasanya, ditambah perutnya yang kembali keram benar-benar membuat Megi ingin pingsan saja. “Hai Nona Kentut,” sapa seorang pria dari balik punggung Megi. Megi berbalik, menatap Gary yang tengah mencengir lebar. “Lo?” “Iya gue.” “Lo ngapain di sini?” “Habis janjian detailing.” “Lo medrep?” “Iya.” “Bukannya lo apoteker?” “Masih pendidikan.” “Lo boongin gue dong!” “Ya kalau gue ga bilang gitu, emang lo bakalan mau nerima obat yang gue kasih?” Megi mendengus. “Jadi, lo sendiri ngapain di sini Nona Kentut?” ‘Perasaan orang manggil gue ga ada yang bener. Anak kecil, Monyet, sekarang Nona Kentut. Ibu dan Ayah lupa akikahin gue apa gimana?’ “Dih, ditanya malah bengong!” tegur Gary lagi. “Gue abis wawancara.” “Lo?” “Jurnalis.” “I see. Keren!” “Perut lo kenapa lagi?” tanya Gary kemudian saat menyadari Megi yang memijiti perutnya sedari tadi. “Muka lo juga pucat banget. Lo sakit?” “Biasalah cewek. Mana susah banget dapat taksi.” ‘Udah dua kali ketemu perutnya masalah muluk. Kemarin kembung, sekarang keram, jangan-jangan besok ketemu gue lagi dia lagi diare!’ “Emang lo mau kemana?” “Pejaten.” “Oh, bareng gue mau?” “Bisa?” “Bisa sih. Pakai jas hujan.” “Mau deh. Maaf ya jadi nyusahin.” “Santai. Tunggu sini, eyke ambil motor dulu, oke?” Megi terkekeh, lalu menganggukkan kepalanya. ‘Beneran kemayu ya?’ Sekitar sepuluh menit yang rasanya sepuluh tahun kemudian bagi Megi, pria bermotor sport itu menepikan kendaraannya di sisi teras hotel. Megi benar-benar tak tau bagaimana harus menahan tawanya. Sudah sangat ia upayakan namun tetap saja ia tak bisa berhenti terkekeh. Adalah raincoat berwarna ungu dengan bunga-bunga pink yang membuat Megi terus tergelak. ‘Ampun banget! Muka macho, badan kayak gorila, motor sport, eh jas hujannya ungu! Ada bunganya pulak!’ “Keren ya?” tanya Gary tanpa dosa. Megi semakin terbahak. “Ketawa aja lo! Buruan nih pake,” ujar Gary lagi seraya menyodorkan jas hujan lainnya berwarna merah polos. “Ini punya cewek lo?” tanya Megi. “Bukan. Punya sahabat gue. Pake aja.” Megi memberengut, membuat Gary mengerutkan keningnya. ‘Mana ada cewek cowok sahabatan!’ Ternyata benar, air menggenang di seantero jalan. Motor-motor bahkan sampai naik ke atas trotoar untuk menghindari banjir. Megi tak menyadari sederas itu hujan yang mengguyur Jakarta beberapa waktu tadi. Pantas saja tak ada kendaraan online yang mengambil orderannya. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba di kosan Megi. Hujan pun sudah reda saat itu. Megi merapihkan jas hujan yang dipinjamnya, memasukkan ke dalam kantung plastik, lalu menyerahkan pada Gary. “Thanks ya.” “Santai!” “Santai mulu hidup lo!” Gary tergelak. “Ya udah ya, gue balik. Jangan lupa kompres hangat perut lo, biar enakan.” “Hmm. Thanks again.” “Oke. Masuk gih.” Megi mengangguk, lalu melangkah mendekati pagar utama tempatnya tinggal. Baru saja Gary memutar pedal gasnya, Megi kembali berbalik. “TUNGGU!” pekik Megi. “E monyet!” latah Gary seraya mendadak menarik tuas remnya. “Duh gue tuh lupa terus. Nama lo siapa?” “Nama gue?” “Iya, nama lo. Gue Megi.” “Hai, Gi.” “Hmm. Jadi?” “Nanti aja ya. Kalau kita ketemu sekali lagi tanpa sengaja, baru gue kasih tau nama gue.” “Hah?” Gary tak lagi menyahut. Ia menurunkan kaca helmnya, memutar pedal gas, lalu melajukan motonya, menjauh dari Megi yang terpegun. ‘Kenapa harus nunggu ketemu tanpa sengaja lagi? Kenapa ga tukeran nama dan nomer hape aja? Dia ga suka cewek ya? Kayaknya kelakuan gue lagi ga kayak monyet....’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD