LIMA BELAS

1784 Words
Gue tuh dulu nggak suka banget sama kisah-kisah ala Cinderella. Maksudnya, gue suka segala sesuatu yang imbang. Jangan cuma cowok yang berjuang mati-matian, tetapi cewek juga bisa, kan? Kerja sama. Itu maksud gue. Segala sesuatu yang berat sebelah itu nggak enak. Yakin. Tapi, malam ini adalah pengecualian. Rasanya, kayak zaman anak SMA, menggebu, banyak kupu-kupu yang seolah bertebaran di dalam perut, nggak sabar juga untuk diperlakukam istimewa oleh Tarangga. Mungkin, karena beberapa waktu terakhir, gue selalu berada dalam sebuah hubungan yang 'serius' versi gue. Yakni saling menjelaskan keinginan dan tunjuan, berkompromi, maka terjadilah ikatan itu. Kalau yang ini, gue beneran nggak ekspektasi apa-apa. Tebakan gue sih, ini juga nggak akan bertahan lama. Gue yakin, tepat di saat Tarangga tahu kalau niat gue sama sekali bukan ke arah pernikahan, dia akan paham dan langsung mengakhiri semuanya. Dia orang dewasa yang nggak akan menggunakan konsep drama. Itu adalah satu-satunya harapan gue. "Miya, Nak Aga udah di bawah. Masih lama kamunya?" See, Pangeran gue datang. Gue mau hidup dalam dunia Cinderella dulu ya, Bebs, lo mau ikut menyaksikan atau milih cukup sampai di sini dulu? Saran gue sih, di sini aja, karena gue nggak yakin lo akan suka sama semua kelanjutannya. Tapi, kalau lo maksa, well, lo udah gue peringati. "Ya...." "Lima menit, turun, Bu!" Memandangi tubuh gue di depan cermin, gue tersenyum lebar. Ternyata, seksi nggak harus terbuka, ya. Dress yang menutupi tubuh bawah gue sampai bawah lutut ini kelihatan cantik banget gue pakai. Entah level percaya diri gue udah sampai tahap mana, tetapi tue merasakan kali ini gue udah maksimal kok. Reza suka segala sesuatu yang terbuka, sesuai dengan prinsip hidupnya. Nah, gue nggak tahu, dengan memberikan gue dress hitam dengan panjang di bawah lutut ini, apakah Tarangga sama tertutupnya? Karena satu-satunya bagian yang terbuka dari gaun ini hanyalah tali yang selebar jari. Memperlihatkan bagian pundak dan lengan. Nggak terlalu kok, karena gue membiarkan rambut tergerai, hanya jepit bunga kecil di sebelah kanan. Ah, dia udah di sana. Duduk dengan manis, senyum manis, sedang ngobrol dengan Ayah dan Ibu. Pakaiannya juga formal banget, gue jadi pengen ketawa. Ini sebenarnya dinner atau acara kawinan? Lo lihat dia di sana, pakai jas hitam yang menutupi kemeja putih di dalamnya. Bedanya, nggak ada dasi yang menghiasi, bahkan ia membiarkan kancing teratasnya terbuka dan ... wait, gue melangkah lebih dekat dulu untuk memastikan. Benar, ternyata, dia membuat rambutnya agak bervolume kali ini. Maksudnya, lebih hidup, sedikit messy dan ... terlihat sangat seksi. Kesimpulannya, dia nggak jadi terlalu formal, hehehe. "Hai," sapanya, tersenyum lebar. Bolehkah gue mengartikan sebagai bentuk kagum dari binar tatapannya itu? "Hai." Dia pamit pada Ayah dan Ibu, lalu berdiri, menggenggam tangan gue untuk keluar rumah. "How do I look?" Kakinya berhenti melangkah, kami sampai di depan mobilnya. Kepalanya menoleh, menatap lekat. "Cantik dan ...." Tarangga nggak melanjutkan kalimatnya. "Dan?" "Boleh aku bilang ... seksi?" Refleks, gue ketawa. Mau bilang seksi aja sampai sebegitunya. Gue pernah baca, katanya isi otak cowok kalau lagi membayangkan cewek beneran nggak keruan dan bikin ngeri. Masalahnya, ada nggak yang coba cari tahu isi pikiran cewek? Nggak jauh beda kok. Ya logikanya, lo liat Robert Downey Jr. lagi shirtless, nggak mungkin kan yang ada di otak lo adalah ... dia tadi pagi makan apa ya. Intinya ada di objek. Eh tapi nggak tahu juga kalau cowok mikir jorok nggak peduli objeknya siapa dan bagaimana bentuknya. Nggak peduli juga sih gue, urusan pribadi masing-masing. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol banyak hal. Tarangga tanya tentang keseharian gue, sudah sampai mana gue baca buku-buku referensi, dan topik berita hari ini. Untuk yang terakhir, tentu dia sebagai yang paling banyak ngomong, karena gue nggak tahu apa yang harus diomongin. Bukan bidang yang gue suka hal-hal tentang perpolitikan.  *** "Haloooooo! Selamat datang!" Teriakan bersamaan menyambut kami ketika membuka pintu rumah. Riana dan Azriel sudah berdandan layaknya pangeran dan putri yang siap untuk hidup bersama. Okay, gue berlebihan kalau kata mbak Zia. "Kamu cantik dan ganteng banget. Mau dinner sama siapa sih?" "Kak Miya dong! Zriel, cantik ya Kak Miya? Dia mah kalau pake beginian cantik banget, Zriel. Aku bilang gitu kan kemaren pas nyari bajunya?" "Punyamu juga cantik, Ri. Ya Kak Miya, ya?" Gue mencubit pipinya gemas. Kalau boleh menerawang ala-ala Samiya Eila, Azriel ini akan tumbuh menjadi cowok yang disukai sekaligus dibenci cewek. Cowok baik ke semua orang. Simalakama, bukan? Kami duduk mengitari meja bulat yang sudah dihias sedemikian rupa. Ada lilin juga bunga di dua pojok kanan dan kiri. Ruangan ini pun dibuat seolah hanya untuk malam ini. Siapa yang mendekornya? Riana dan Azriel ikut andil juga, kah? Gemas banget. "Kamu ke sini sama siapa, Ri?" Kunyahannya terhenti, "Dijemput Om Aga. Sama Azriel. Eh, aku keliling nyari baju itu lho, Kak. Seru banget. Ya, Zriel?" "Banget. Kak Miya suka nggak?" "Suka banget." Gue membungkukkan sedikit badan. "Terima kasih banyak, Azriel dan Riana yang paling manis." "Om Aga yang dekor rumah dong." Gue ketawa kecil, membungkukkan badan lagi ke arah Tarangga. "Terima kasih banyak, Om-nya Azriel yang nggak kalah manis." Semuanya tertawa. Kami benar-benar menikmati makan malam ini. Seenggaknya, gue menikmati usaha mereka, tawa Riana dan Azriel yang terlihat sangat happy, dan senyuman lebar Tarangga. Hingga ketika makan malam selesai, Azriel dan Riana pamit ke kamar masing-masing. Kata Mbak, Riana akan tidur bersamanya malam ini dan baru diantar pulang besok. Kesempatan Riana luar biasa. Mereka yang hanya bia cinta dalam diam, menangis lihat gimana lancarnya aksimu, Ri. Hahaha. Dan, sekarang, giliran yang dewasa yang menikmati waktu bermainnya. Gue beneran kenyang banget, dan jadi ngantuk duduk di sofa ruang tamu ini. Tapi, dengan Tarangga yang bilang 'tunggu sebentar' kemudian dia naik ke atas, itu artinya ada yang pengen dia kasih tahu. Gue kudu melek. Terbukti, sekembalinya dia, dengan senyuman lebar andalannya, gue berhasil mengusir kantuk. Apakah ... akan malam ini? Gue nggak keberatan, karena sebenarnya, Tarangga orang yang bisa bikin nyaman. Ditambah fisik menarik, (setahu gue) dia juga mungkin memang mau. "Happy birthday," ucapnya, untuk kedua kali setelah dini hari mengesankan itu. Gue mengerutkan kening. "Lagi? Sekarang bedanya apa ucapannya?" Dia ketawa kecil. "Yang pertama di rumahmu, yang kedua di rumahku. Diterima kan bedanya?" "Ya ampun." Gue juga nggak bisa nahan tawa, sampai akhirnya dia menyodorkan sebuah kotak kecil. "Apalagi, Mas?" Pikiran gue mulai nggak enak. "Selain pembawaanmu yang menarik, aku suka rambutmu. Aku juga suka gimana kamu ngerawatnya. Lembut dan wangi. Jadi, aku kasih jepit rambut." Gue menatap jepitan bewarna putih keemasan. Memang hanya satu, tetapi seakan menyala indah dan nyapa gue, 'Halo, b***h. Udah sampai mana tujuan lo?' Lo paham enggak, gue senang dia kasih begini. Tapi, gue juga merasa ... ini berlebihan. Maksudnya, kenapa dia selalu memberi sesuatu di tiap pertemuan kami? Apakah dia merasa aku memerlukan segalanya darinya? Kado ulang tahun, okay, gue ngerti. Tapi berturut-turut? Selalu? Tanpa jeda? Bahkan setelah dipikir, sejak awal pertemuan yang kami masih sama-sama asing? Hubungan apa sebenarnya yang dia jalani sebelumnya? Apakah dia begini memang ke semua mantan pacarnya? Bukan berarti dia mau serius banget, kan? Bisa aja dia begini karena memang itu karakternya. Meski hanya untuk sia-sia. Kalung, dress, jepitan ... gimana kalau setelah ini dia akan kasih cincin dan mengikat semuanya? Itu  tahapan yang dilakukan oleh hubungan normal, kalau gue nggak salah. Tetap, semua ini ... berlebihan, kan? Gue harus gimana? "Miya, kamu nggak suka jepitannya? Aku bisa ganti dengan yang---" Gue langsung menggeleng. "Ini bagus, gue suka. Tapi, Mas---" Ucapan gue terhenti karena dia buru-buru menarik sebelah tangan gue, digenggam, kemudian membawanya ke depan bibir dan dikecup beberapa kali. "Aku coba pakein ya," katanya. Gue cuma diam, bingung banget harus gimana ngebedah semua ini satu persatu-satu. Kayaknya, gue beneran kecekik sama permainan gue sendiri. Sampai Tarangga selesai memasang jepitan itu di rambut, terus menciumi kepala, gue masih cengo dan kini kami saling tatap. Dia mengambil kotak dari tangan gue buat dipindahkan ke meja. Badannya maju lebih dekat, sementara tangannya sudah benar-benar menggenggam kedua tangan gue. Dia kasih gue senyum manis sebelum bilang, "Aku---" "Mas gue nggak bisa." Gue langsung bangkit. Tatapan matanya seolah memberitahu semua. Melepas jepitannya dari rambut, gue letakkan gitu aja di meja. "Gue nggak bisa." "Miya, kamu kenapa?" Dia berdiri, menghampiri dengan muka yang super panik. "Aku ... salah kata? Atau, aku kurang ajar genggam tangaganmu? Mi-Miya. Hei, kamu merasa terganggu? Terintimidasi?" Gue mundur, tangannya menggantung di udara. Mulut gue kaku banget, padahal gue pengen ngomong panjang lebar kalau gue nggak bisa lanjutin ini. Gue tadi seolah melihat segala ketulusan dan harapan di matanya. Dan, gue sangat yakin kalau gue nggak bisa kasih dia itu. Tarangga adalah yang terbaik, dia nggak boleh patah harapan untuk kedua kalinya. Gue tahu, gue udah b***t banget dengan mempermainkannya selama ini. Gue ... nggak mau makin jahat. Gue bukan penjahat. Tapi kayaknya memang udah jahat. "Miya, kamu kenapa?" Kami tetap saling berdiri dengan jarak yang nyata. Jantung gue berdegup kencang. Gue takut, sedih, marah dan bingung. "Aku ada salah? Kamu nggak suka jepitannya? Kamu tersinggung? Harga jepitan itu sama sekali bukan hargamu, aku nggak bermaksud---" Dia berhenti ngomong setelah gue menggeleng pelan.  "Terus kenapa?" Astaga, Tuhan tolong kasih gue kekuatan gue buat ngomong sama manusia sebaik dan selembut ini. Rasanya gue nggak punya kekuatan untuk menghancurkannya. "Kita bukan siapa-siapa." Akhirnya! Kalimat keluar dari mulut gue. Ayo, Miya, lanjutin sampai selesai. Matanya membeliak sesaat, dia mengusap kepalanya sambil maju selangkah, tapi gue buru-buru mundur. "Kita bukan siapa-siapa kan, Mas? Jadi ... ya, jadi, ini berlebihan." "Bukan siapa-siapa? Apa maksudmu bukan siapa-siapa, Miya?" Tatapan itu ... dugaan gue nggak salah. Dia terlihat kaget banget. Artinya, dia menganggap ini akan berhasil. Jadi, udahan, Miya. Nggak perlu menunggu nanti-nanti, sekarang adalah waktunya. Tarangga bukan target yang tepat. Bukan dia orangnya. "Waktu kita? Perhatian kita? Ciuman kita? Itu bukan siapa-siapa?" Gue mengurut alis. "Miya, apa maksudnya bukan siapa-siapa? Please, kupikir ... kita punya ketertarikan yang sama? Mau coba ini sampai berhasil? Kenapa kamu harus ngorbanin waktu kalau memang kita bukan siapa-siapa?" Gue memilih memejamkan mata. "Malam ini, aku baru mau ngeresmiin karena khawatir kalau kamu merasa aku permainin tanpa ada kalimat penjelas." Lihat, Miya? Lo lihat, dugaan lo selama ini benar, dia akan begini baik sekaligus ngeri. "Tapi kenapa malah bukan siapa-siapa?" "Gue ..." B*ngs*t, mulut ini! Tarik napas .... "Gue nggak bisa berkomitmen. Gue nggak mau punya hubungan serius dan ya ... gue cuma penasaran sama Mas. Selebihnya nggak ada, sorry." Lebih baik dia benci gue kan daripada dia menyesal? Kalau dia benci, dia akan menjadikan ini pelajaran dan menganggap dia nggak salah, itu lebih bagus. Karena memang dia nggak salah. Jakunnya bergerak beberapa kali, tanda kalau mungkin dia sedang menelan ludah bersamaan dengan kepahitan dari informasi ini. Matanya menatap gue sendu. Gue makin bingung. "Cuma penasaran?" Kepalanya mendengak, hembusan napasnya terdengar kasar. Kemudian tatapannya berubah menjadi tajam. "Kamu nggak mau komitmen, tapi libatin aku di dalamnya?" Gue memang berengsek, banget. "Semua yang kamu lakuin itu karena penasaran? Nggak ada yang salah sama keinginananmu memang. Kamu boleh nggak mau berkomitmen. Tapi, saat kamu mutusin buat melibatkan orang lain dalam hidupmu, artinya kamu siap dengerin pandangannya. Kenapa nggak bilang dari awal, Miya?" "Sorry." Gue menunduk, ini bahkan lebih drama dari adegan gue ninggalin mantan dulu. "Karena takut rasa penasaranmu nggak terpenuhi? Negosiasi, Miya. Jangan ambil keuntingan sepihak." "Maaf." Dia mengangkat kedua tangan, kelihatan frustasi, kemudian dia hempaskan lagi. Gue mengucapkan maaf sekali lagi, kemudian pergi keluar dari rumah itu. Yang berengsek memang gue, mainin hati orang semudah itu. Jadi, dibenci sama Tarangga bukan sesuatu yang berat. Karena gue berhak. Hidup memang menggelikan, bahagianya cuma semu.  Gue memang nggak ditakdirkan untuk menyukai hari ulang tahun, karena selain umur yang nambah, masalah juga nggak ada akhir.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD