"Dia Fauzan. Salah satu kebanggaan kami untuk sesi obrolan bareng narasumber."
Seorang lelaki gondrong baru keluar dari ruangan yang bertuliskan 'private office'. Gue menggeleng cepat karena yang terlintas di otak gue sama sekali bukan hal seharusnya.
"Hai."
Gue buru-buru mengulurkan tangan, "Miya."
"Fauzan. Abis office tour ceritanya?"
Gue ketawa. "Biar menguasai keadaan kalau-kalau pertanyaan mas Fauzan gila-gilaan dalemnya." Padahal gue juga nggak kepikiran buat jadi narasumber.
Kami semua tertawa. Sebelum akhirnya dua orang perempuan dan satu lelaki lagi keluar dari ruangan yang sama dengan mas Fauzan tadi. Mereka semua mengangguk pada Tarangga dengan menyebut 'Mas' dan tersenyum ramah ke gue.
"Makan siang dulu sebelum balik ya, Nis?"
Yang mungkin bernama 'Nis' menjawab, "Iya, Mas. Makasih ya."
"Mas Aga, gue ke sana dulu bentar. Tadi anak lapangan nanyain soal berita kekerasan seksual kemarin."
"Oh okay. Thank you, Fauzan."
Mas Fauzan mengangguk, kemudian ngomong ke gue. "Silakan dilanjutin tour-nya, Miya. Semoga tertarik, gue tinggal sebentar."
"Ohiya, Mas. Semangat!"
Tarangga mengajak gue untuk memasuki ruangan yang bertuliskan 'private office' tadi. Dan, otak m***m gue memang kudu ditampar kadang-kadang. Apa yang lo harapin dari semua ini, yang ada pasti peralatan syuting lah. Sepasang sofa di sudut kanan dengan hiasan meja dan tanaman palsu dalam pot. Ada satu kursi yang mungkin digunakan untuk interview di tengah-tengah ruangan.
"Kita punya dua interviewer andalah dinsini, Miya. Fauzan dan Medina. Tapi Medina lagi izin hari ini. Mereka berdua yang keluar-masuk ruangan ini. Ditemani anak produksi untuk video atau pun gambar untuk keperluan."
Gue mengangguk antusias.
Jadi, kalau-kalau lo bingung gue lagi di mana dan ngapain, gue bantu jelasin sedikit.
Pagi ini, bak millenial produktif, gue datang ke kantornya Tarangga. Katanya, sebagai pengenalan dengan kantornya. Gue nggak masalah dikenalin sama lingkungan atau bahkan keluarga cowok. Yang penting jangan keluarga gue, karena ribet jelasinnya suatu saat.
Tarangga bilang nyewa rumah ini per tahun. Rumahnya lumayan besar, warna d******i putih dengan aksen cokelat untuk pernak-perniknya.
Ada beberapa sekat ruangan.
Pertama, di sebelah kanan pintu masuk, ada anak produksi. Katanya tadi, isinya lima orang, untuk memotret, merekam video sekaligus editing.
Sementara di sebelah kiri, adalah anak-anak konten. Ada lima juga. Mereka orang-orang dibalik email yang gue terima tiap hari atau pun artikel untuk web.
Sistem kerjanya sih normal katanya. Senin-Jumat. Email tetap ada di weekend yang sudah di-schedule sebelumnya. Sementara mereka akan masuk di hari libur kalau hanya ada sesuatu yang urgent sekali.
Katanya, toh mereka bukan media massa yang harus memberitakan segala hal yang terjadi.
Satu lagi, ada dapur sekaligus pantry yang kelihatan homey sekali. Tadi perempuan dan lelaki yang habis keluar dari ruangan pergi ke arah sana. Mungkin mengajak narasumber makan siang.
Dan, terakhir, sekarang adalah ruangan pribadi Tarangga.
Ini masalahnya.
Gue berusaha selalu nge-training diri sendiri untuk menjadi berkelas dan bersahaja. Tetapi, kadang kala, sisi norak nggak bisa dihilangkan. Mau tahu norak versi gue gimana?
Deg-degan tanpa alasan.
Coba aja dijelasin, logikanya, gue kan sering ada di ruangan berdua dengan cowok (bukan gonta-ganti cowok, sering momennya aja), melakukan segala hal yang ingin dilakukan.
Terus, kenapa masih suka deg-degan? Excited yang berlebihan?
Apa coba kalau bukan norak.
Okay, yuk coba kita cari pengalihan perhatian dengan menilai ruangan dari sang empu. Amsyong deh, nggak ada yang menarik, Bebs, selain ruangan polos, kursi dan meja, juga laptop miliknya terpampang di tengah-tengah. Kemudian sofa abu-abu di sebelah kiri mejanya. Ada AC, rak buku yang ... penuh.
Well, apa yang lo harapin dari seseorang yang ngasih lo buku non-fiksi di awal PDKT?
"Ada sesuatu yang mau ditanyain, Miya?"
Gue diam, duduk di sofa sambil menatap sekeliling---yang padahal udah gue lakuin tadi. Karena sama sekali nggak menemukan pertanyaan yang layak untuknya, akhirnya gue menggeleng pelan.
Dia mendekat, ikut duduk di sebelah gue. Gue udah pernah bilang belum kalau wangi Tarangga ini tipe wangi ala-ala danau, dalem, tenang, tapi bisa bikin lo tenggelam sampai meninggal karena nggak berusaha nolong diri sendiri atau minta bantuan orang.
Sementara biasanya, gue dapet lelaki---yang gue maksud Reza, karena terakhir dan terlama adalah dia---dengan wangi parfum yang bikin semangat ... b*******h maksudnya.
Gue jadi bingung sendiri.
Kenapa sama Tarangga semua serba kalem, terkendali, dan seolah penuh strategi, diatur memang untuk seperti ini.
"Kapan-kapan aku jemput atau antar kamu ke kampus, boleh?"
Gue nge-blank bentaran. Ini juga yang mau gue ceritain. Ini aneh banget. Gue nggak paham apakah keajaiban-keajaiban itu ada tentang manusia dengan sejuta perasaannya.
Jadi, sekadar untuk informasi, gue cuma pacaran 4 kali. Enggak perlu kaget, karena sesungguhnya nyari pacar itu lumayan agak susah, soalnya gue nggak mau dong asal-asalan. Takut banget kejadian drama mbak Zia dan suaminya terjadi di gue. Siapa yang mau punya pacar hasil ngasal? One night stand aja sekalian, tapi yang satu ini gue enggak.
Ortu gue pada saat itu baru mengizinkan gue pacaran ketika SMA. Jadi, pas SMP gue cuma tahu istilah cowok ganteng. Salting kalau ketemu di kantin, lewat lorong kelas dan hal-hal lainnya. Gue pacaran beneran pertama kelas 1 SMA. Ini masih menerka-nerka pengertian pacaran itu apa.
Chatingan, nelepon, video call, main ke mal pun cuma dua minggu sekali.
Tiba-tiba gue ngerasa bosen sama aktivitas itu, akhirnya kami putus. Gue nggak pacaran lagi, karena malas ribet dan takut dia punya gejala kayak mantan suaminya mbak Zia woy. Minta dikabarinlah. Suruh bantuin ngerjain tugaslah. Marah kalau telat bales chat lah. Macam-macam. Dikira gue tutor Kumon apa gimana.
Gue pacaran lagi pas kelas 3 SMA. Segal hal dimulai dari sini. Rasa penasaran tentang jatuh cinta yang sesungguhnya, tentang seks dan segala kenikmatannya, tentang bolos kecil-kecilan dari sekolah, dan lain-lain. Kebetulan dapet pasangan yang sama, akhirnya kita praktekin semuanya.
Enak, memang.
Tapi, pertama kali ngerasain enak dan segala kepuasan tentang hidup (pada masanya), gue juga langsung mengalami patah hati besar. Lagi happy-happy-nya pacar main ke rumah karena orangtua gue dan Biyas lagi ke rumah saudara, tiba-tiba ada yang kirim video ke gue.
Tebak isinya apa?
Video seks pacar gue dengan adik kelas.
Rasanya nggak usah digambarin. Seluruh badan gue gemetar, gue banting handphone gue depan mukanya---yang gue selali sekarang, gue nangis sambil maki-maki dia.
Untungnya, pada saat itu, gue sempat nampar dia bolak-balik.
See, komitmen dalam hubungan itu bullshit. Para b*****t kayak mantan suaminya mbak Zia dan mantan pacar gue itu cuma contoh kecil, gue yakin.
Jadi, kalau ngejalin hubungan, nggak usah terlalu dalam lah. Apalagi masih muda begini. Kalau suatu saat keajabian dunia dateng lagi, lo dikasih wahyu tiba-tiba mau berkomitmen dan menemukan pasangan yang setimpal, ya itu pilihan pribadi.
Gue males kenal cinta-cintaan sejak itu. Gue fokus sama diri sendiri. Melakukan hal-hal yang gue suka. Belajar, daftar kampus impian, belajar make up dan foto-foto ootd, hingga akhirnya seperti sekarang.
Tapi, emang mungkin bakat bebal dan binal memang udah ada di badan gue, saking keenakan hidup begini, jadi males kuliah pula. Ditambah main-main sama Reza yang meskipun jarang, tapi gue suka banget.
Sesuka itu.
Pahit ya hidup tuh kalau diurut satu persatu. Nggak akan ada putus rantai sebelum kita beneran ma .... "Astaga." Gue menggelengkan kepala, mengelap muka kasar. Seberapa lama gue melamun? Sampai dia mukanya sepanik itu. Nyentuh pundak gue baru gue kembali ke duia nyata.
"Kamu baik-baik aja?"
"Sorry, Mas. Gue tiba-tiba tadi inget cerita ... cerita lucu campur ngeselinnya Riana?" Gue ketawa hambar, Tarangga ikutan senyum ... kikuk. "Tadi tanya apa? Boleh diulangi? Kadang otak gue mudah kedistraksi."
"Kamu nggak enak badan? Maaf." Tangannya terangkat, menempel di jidat gue.
Jidatnya berkerut, seolah sedang serius sekali mengecek suhu badan gue. Gue malah senyum geli memperhatikan mukanya. Setelah dia sadar jadi bahan senyuman gue, dia menarik tangannya dan ... salah tingkah? Menggemaskan ternyata nggak cuma untuk bayi, tapi bisa juga untuk seseorang yang sudah punya kemampuan bikin bayi.
"Kenapa buang muka gitu?" Gue makin ngakak, saat dia menggeser duduknya. "Malu ya?"
"Miya."
"Astaga, Om-nya Azriel. Apakah ini beneran Tarangga yang lagi bareng gue?"
Tawa gue masih belum berhenti, gue berusaha narik tangan dia buat melihat mukanya. Dia mengelak sambil terus nyebut nama gue yang mungkin maksudnya memperingati.
Gue yakin sebenarnya mudah buat dia dorong gue biar melanting sampai ke jendela mungkin? Atau, minimal jatuh ke lantai. Tapi, entah saking gue yang sekuat tenaga dan niat banget, atau dia yang lagi dalam kondisi salting dan jadi lemah, kedua tangan gue berhasil memegang pundaknya.
Sengaja gue tatap dia dengan muka serius, niatnya sih buat bikin dia tambah salting lagi. Karena gila aja lo, biasanya Reza paling nggak suka dibuat bahan tertawaan begini dan langsung menghukum gue dengan ... jangan bahas masalalu deh. Seenak apa pun.
Namun, yang satu ini memang sungguh ajaib.
Sekarang kedua matanya natap gue dengan sama seriusnya.
Anj*ng.
"Miya," lirihnya.
Gue ... kelu.
Mukanya makin mendekat, sekali lagi dia nyebut nama gue, sebelum akhirnya gue memejamkan mata dan semoga dia paham maknanya.
Begini cara main duda ternyata, harus lebih dulu terjebak dalam suasana.
Dia ... lumaya bikin pening.
"Mas Aga, ada mbak Mala di luar." Suara cewek sambil ketuk pintu menghentikan segalanya.