LIMA

2807 Words
"Alasan teross!" "Bukan alasan. Memang itu kejadiannya, masa Ayah harus karang cerita cuma biar sama kayak asumsi Ibu. Gimana ini jadinya." "Ya kenapa bisa pas banget gitu lho. Ke klinik kok bisa barengan sama mantan pacar." "Orang sakit itu nggak dijadwalin, Bu. Tadi Ayah tanya Ibu mau sekalian ikut buat check up, katanya harus ke tempat Bu Rahma. Karena rajutannya ada yang salah." "Tetangga kita kan banyak, yang sakit kenapa harus bu Fifi." "Ayah nggak tahuuuuuuu. Demi Allah. Kami di ruang tunggu yang sama, terus ketika dia harus bayar, dia baru sadar nggak bawa dompet karena buru---" "Dahlah." Ibu mengibaskan tangan, melengos dan langsung jalan ke arah dapur. Sementara Ayah akhirnya nangkap posisi gue yang lagi berdiri di tangga. Dia mengangkat kedua tangan sambil memasang muka bingung. Gue ketawa pelan, "Cemburu dan marah adalah passion Ibu. Santai aja." Ayah ikut ketawa. "Ayah ganteng banget apa ya, Ya? Kok bisa masih cemburuan gitu, buat ke arah sana aja udah nggak kepikiran." "Dapet obatnya?" "Dapet. Ohya, kata Mbak Zia, dia katanya Azriel, dan Azriel katanya Riana, kamu lagi naksir seseorang?" Kalau-kalau aja lo mau tahu darimana bakatnya Biyas buat memperumit sesuatu, salah satu jawabannya adalah yang barusan ini. Tapi tetap, Ibu nyumbang paling banyak. Gue menuruni sisa anak tangga, mengikuti Ayah yang berjalan ke arah sofa, dan kami memilih sofa yang berbeda. Jarak membantu lo untuk berbohong. "Omongan anak kecil dipercaya banget sih, Yah. Naksir versi mereka juga apa artinya." "Memangnya kalau versi kamu artinya apa?" Lagi-lagi gue ketawa, "Ada dokter ganteng, aku naksir. Ada kasir ganteng, aku naksir." Termasuk om-nya Azriel. Dan, naksir versi gue ini sebenernya agak mengerikan. Kalau gayung bersambut, kan level naksir bisa naik dan berubah jadi partner. Tapi, nggak mungkin gue jelasin panjang lebar begitu ke Ayah. Makanya, gue buru-buru lempar pertanyaan, "Memangnya versi Ayah kayak apa?" "Liat Ibumu marah-marah tiap hari aja udah bikin naksir kok. Sama kan simpelnya?" Ayah tersenyum geli, gue jadi ikutan meringis. "Bedanya, Ayah punya satu orang sebagai sumber naksir, kalau kamu ke banyak orang." "Nanti kalau udah ada satu yang menjanjikan, Miya pasti bawa ke rumah." Ayah mengangguk. "Ayah nyusul Ibu bentar ya." Menepuk pundak gue pelan sebelum akhirnya pergi. Gue ngerti banget sih perasaan orang tua. Mungkin, dia merasa gue udah makin besar, tapi udah lama banget nggak kelihatan bawa pacar ke rumah. Karena memang gue nggak tahu harus ngenalin mantan-mantan sebelumnya gimana. Maksudnya, ketika orang pacaran normal pada umumnya, harapan semua orang pasti agar bisa ke jenjang pernikahan, kan? Beda sama zaman-zaman SMP dan SMA. Masih kecil. Sekarang gue aja udah 21 otewe 22 (tapi kuliah nggak kelar-kelar), mungkin pacaran yang dimau mereka yang beneran serius kali. Sementara gue belum mau ke arah sana. Dan, nggak tahu sih gue bakalan menikah atau enggak.  Nanti Ayah dan Ibu berharap banyak, eh ternyata gue nggak bisa mewujudkan. Amysong deh. Bakalan drama banget pasti. Gue nggak suka dan nggak mau. *** "Siapa yang mau Pizza?!" Gue membuka pintu rumah yang nggak dikunci, dan nggak menemukan orang. "Pizza pizza pizza! Apakah princess Riana, indera penciumannya udah nggak sebagus biasanya? Tumben amat!" "Salam dulu, bisa kan, Miya?" Mbak Zia muncul masih mengenakan apron, mukanya jutek, dan tangannya mengacungkan spatula. "Riana sekarang kalau masuk rumah teriak 'nyampe rumaaaaaah' udah bukan lagi 'assalamualaikum, Mbak!'. Kita memang sering nggak sadar efek dari tingkah kita untuk anak kecil." "Demi Tuhan Riana bukan anak kecil, Mbak Zia." Gue mengerang gemas. "Dia udah ngerti kata naksir-naksiran kok." "Justru itu! Berarti segala sesuatu yang dia dengar, baca dan lihat ya harus hati-hati." "Iya, Suhu." Gue berjalan mendekat, mengangkat kotak pizza. "Mau pizza, Mbak? Enak lho. Rotinya empuk, topingnya---" "Riana lagi ngerjain PR sama Mbak Dian. Emang Biyas lagi demen sepedahan ya, Ya?" "Enggak. Udah dari taun kapaaaan, dia sekarang demenannya kuda-kudaan kali, udah gede gitu---maksudnya, motor, Mbak." Gue buru-buru meralat karena matanya udah mendelik. "Kenapa deh?" "Ini dia minta aku yang masak dan ngajak mbak Dian buru-buru bantuin PR, karena abis itu minta main sepedahan bareng mbak Dian. Padahal sebelumnya sepedah aja ngangkrak di gudang. Kupikir karena Biyas. Biasanya kan apa yang dipunya dan dilakuin Biyas, dia mau juga." Gue senyum lebar. "Gue tau sih, Mbak, dia ngikutin siapa. Dah ah, mau nyusulin dia." Sepedah ya? Jadi keinget obrolan beberapa hari lalu sama om Tarangga. Ngeri amat ya si Riana, masih bocah udah sebegininya terpengaruh sama laki. Azriel ngapain, dia ikutan. Nggak beda jauh juga sama Azriel. Riana mengagungkan princess Mulan, dia ikutan kagum katanya. Ck, tunggu aja lo berdua tahu bedanya love story dan the story of love. Mengetok pintu kamar, gue langsung membuka setelah dengar suara Riana bilang 'masuk'. Benar aja, dia dan mbak Dian lagi khusyuk banget duduk di lantai, depan meja yang di atasnya berserakan kertas-kertas. "Pizza ya, Kak Miya? Ih enaaaak." Kepalanya langsung noleh ke mbak Dian, bertanya polos, "Emang ini udah akhir bulan ya, Mbak Dian?" Mbak Dian mengangguk. "Masih banyak PR-nya?" Gue yang tanya. "Enggak dong. Kalau sama mbak Dian, semua tuh beres! Eh kita mau main sepedahan lho keliling komplek. Kak Miya mau ikutan?" "Ada angin apaan main sepedahan lagi?" "Ya enggak. Main aja," katanya. Buru-buru menunduk, menuliskan sesuatu. "Ini ditulis begini kan, Mbak Dian? Abis ini udahan?" "Yang ini yang terakhir kan. Kebalik." "Oh, iyaaaaa!" "Mbak Dian bisa naik sepeda tapi kok nggak bisa naik motor?" "Sepeda kan enteng, Kak, kalau motor berat." Dia nyengir. Iya juga sih. "Udah, Mbak! Yuk, langsung main sepedaan. Hape Mbak Dian nggak mati kan? Masih bisa buat video aku nanti?" "Masih. Langsung masukin tas dulu, biar besok nggak lupa." Selagi Riana berdiri di samping ranjang, sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas, gue bertanya pada mbak Dian berusaha tanpa suara. "Vi-de-o a-pa?" "Di-a." "Bu-at?" "Di-ki-rim ke Az-riel lewat hape om-nya." "Anjrit!" Gue seketika pura-pura batuk saat Riana menoleh ke arah gue sambil menatap nggak suka. "Keceplosan, Ri. Biasanya juga Kak Miya ngomongnya 'astaghfirullah'. Tanya aja Mba Dian." "Mbak Dian, liat wadah pensil aku warna biru nggak? Yang isinya pensil-pensil warna lho. Kok nggak ada di tas ya?" Mbak Dian berdiri, menghampiri. "Tadi yang ngeluarin barangnya Riri. Waktu Mbak masuk, udah di atas meja kertas dan bukunya. Coba diinget dulu, tadi pagi masih ada di sekolah?" "Ada lhooo. Tadi pagi aja dipake aku dan Azriel waktu gambar doraemon. Di mana ya?" "Pizza-nya dingin nih dikacangin." "Kak Miya tunggu bentar lho. Ini pensil aku ilang. Kalau dingin, nanti kan dipanasin. Bentar mbak Dian." Dia berlari ke pintu, dan gue dengar teriakannya. "Mama! Lihat wadah pensil aku yang biru? Yang pensil warna-warna itu lho, Ma! Lihat enggak, Ma?" Suara mbak Zia nggak juga terdengar, tapi Riana masih bertahan di pintu. Mbak Zia mana mau balas teriak dari bawah, pasti milih buat nyamperin, tunggu aja. Orang modelan dia ini, sekalinya marah tetap bikin orang macam gue gregeran karena merasa belum klimaks. Dia marah ke papanya Riana---dih, najis banget gue nyebut dia papanya---aja cuma bilang, 'Udahan! Aku udah nggak kuat, Mas. Kita sudahi sampai di sini' dan dia yang nangis sambil pergi. Gue jadi dia, gue tonjok dulu, tendang dulu penisnya, gue maki depan mukanya persis, baru deh gue minggat. Urusan nangis ya nggak apa belakangan. Mbak Zia menganut 'biar Tuhan yang membalas'. Kalau gue, selagi gue masih dikasih tangan sempurna oleh Tuhan, begitupun kaki dan mulut, maka gue akan memanfaatkan itu dengan baik. Baru, sisanya biar Tuhan. Mau cabut nyawa dia kek, kasih azab pedih kek, seenggaknya gue udah puas melakukannya dengan tangan gue sendiri. Enggak berapa lama, mbak Zia muncul. Gue bilang apa. "Maaf, Mama lupa bilang. Wadah pensilmu kebawa Azriel. Tadi dia nelepon." O-ow. "Mama udah bilang, besok ketemu di sekolah, nggak usah dianter. Tapi dia bilang mau anter karena merasa bersalah. Takut kamu kalau mau warnain gambar nggak bisa. Dia lagi di jalan kok udahan." "Jadi dia ke sini?" "Ekspresi apa itu, Ri?" Gue dan mbak Dian saling pandang, kemudian menutup mulut berusaha menahan tawa. "Apa, Ma?" Riana menoleh ke belakang, ke arah gue dan mbak Dian. "Mbak Dian, kayaknya sepedahannya besok aja deh. Aku capek, mau di rumah aja." "Smooooth." Gue bergumam. "Mama belum selesai masak. Kamu makan pizza-nya nanti nggak boleh banyak-banyak. Harus tetap makan masakan Mama." "Iya." "Dibagi buat mbak Dian, kak Miya, Azriel dan Om Aga." "Om-nya Azriel ikut, Mbak?" Giliran gue yang bertingkah menjijikkan. "Maksudnya, ya pasti ikutlah. Azriel sama siapa kalau bukan sama om-nya." "Bisa kok sama siapa. Sopir baru, misalnya." Mbak Zia mencibir, kemudian nyelonong pergi lagi. "Mbak Dian nanti makannya temenin Azriel dan Riana ya!" "Iya, Bu!" "Makanya, Ri. Jangan terlalu keliatan. Nggak bisa berduaan kan sama Azriel." "Apa sih, Kak Miya!" Gue ngakak, kemudian memilih turun ke bawah buat nyusulin mbak Zia. Niat aslinya sih buat menyambut Om-nya Azriel. Yakali, Bebs, kami chat nggak sesering PDKT biasanya.  Wacana ke Perpustakaan Nasional pun nggak jadi-jadi dan gue tebak memang nggak jadi. Di sisi lain gue sedih, karena satu kesempatan date bareng dia berkurang. Tapi, sisi lain gue lega, ya gila aja lo nge-date ke tempat lemari-lemari buku. Ngebayanginya aja udah ngeri! "Mbak Zia." "Dia cowok baik-baik, Ya. Kamu jangan macem-macem. Usia dia dan kamu itu beda dalam memaknai sebuah hubungan." Lah? "Kamu mungkin belum siap berhubungan serius. Makanya nggak pernah kelihatan punya pacar yang serius. Tapi, kalau inget umur om Aga, dia nggak mungkin ngikutin ritme kamu." Kampret, insting cewek kalau udah punya status 'ibu' bisa begini kali ya. Walaupun dia nggak detail banget paham tentang poin gue dalam memandang sebuah hubungan. Tapi, seenggaknya mbak Zia 'tahu' kalau gue nggak mungkin mau serius sama Tarangga. Serius ke nikah kan yang dia maksud? Yakali. "Santai aja lagi, Mbak. Sebuah hubungan itu berdasarkan keputusan kedua belah pihak. Apa pun jenis hubungannya. Kalau di awal dua orang itu udah deal, maka deal. Iya kan?" "Tapi cerita dia nggak seenteng bayangnmu, Ya." "Maksudnya?" "Mamanya Azriel itu salah satu temenku. Ya karena Azriel dan Riana yang seolah udah mgerti arti soulmate, lama-lama kami akhirnya jadi teman juga. Awalnya temenan cuma karena di grup wali murid, lama-lama jadi teman chat pribadi." "Kok aku nggak tahu?" Mbak Zia mengerutkan kening. "Kenapa juga kamu harus tahu?" Sambil menyusun makanan di meja makan, dia kembali ngomong, "Wong tentang Azriel aja kamu baru mau peduli sekarang setelah tahu dia punya om ganteng kok." Gue meringis. Orang pendiam kadang ucapannya lebih mengiris hati ketimbang dibangsatin orang nggak dikenal. Buat basahin tenggorokan---menyiram luka batinsbeenarnya, gue berdiri mengambil gelas dan air dan kemudian kembali duduk. "Om Aga itu sebelumnya udah permah menikah." Seketika air dalam mulut gue muncrat. J*mb*t! Gue PDKT sama duda woy! Benar-benar pengalaman yang amat sangat baru dan mendebarkan jadinya. Kok malah jadi serem ya gue bayanginnya? Selama ini, konotasi duda di mata gue memang nggak ada bagusnya. Karena, berbagai pertanyaan muncul di kepala gue. Kenapa mereka cerai? Kalaupun yang salah cowoknya, kenapa dia salah? Berarti dia nggak siap berumah tangga. Kalau yang salah cewek, ya sama aja. Salah keduanya, kenapa harus cerai? Kenapa nggak diomongin sampai tuntas? Atau, salah satu selingkuh? Atau ... Gue bilang apa, menikah itu penjara. Sekalinya masuk, lo pasti pengen buru-buru keluar. Nasib baik kalau dapat yang mau ngerti lo setiap detik dan setiap waktu, kalau macam mantannya mbak Zia? Nangis lo yang ada. "Dan, kamu tahu kan gimana seseorang akan menganggap sebuah hubungan setelah mereka pernah gagal?" "Jadi nggak percaya lagi." Bola matanya berputar. "Bukan nggak percaya, susah percaya. Itu dua hal yang berbeda." Okay, ngerti kok ngerti sekarang. "Ketika seseorang itu mau membuka kesempatan, artinya dia sungguh-sungguh. Kebayang nggak kalau ternyata kesempatan yang dia mau coba itu adalah sebuah kegagalan kedua kalinya?" Gue meringis, lagi. "Kasihan, Miya. Kisahnya memang nggak baru, tapi aku yakin, kalau kesenggol, lukanya akan sama sakitnya. Mungkin malah lebih." "Terus aku harus gimana, Mbak?" Jujur aja nih, gue nggak ngerti gimana cara main sama duda. Rules dalam game gue ya selama ini berlaku sama sesama. Ngerti sih, gue nggak boleh diskrimanasi sama status apa pun. Masalahnya, kayak pertanyaan-pertanyaan gue tadi. Mereka cerai. Ada masalah. Gimana sama masalah mereka yang belum kelar. Kemudian gue masuk, yang niatnya nggak ke pernikahan juga, tapi tetap kecipratan masalahnya? Lo ngerti kan maksud gue? Pusing amat jadinya. Lamunan gue buyar setelah mendengar suara bel. Itu pasti Azriel dan Om-nya. Ah, jadi nggak semangat buat nyambut dia. Gue malah menopang kepala dia atas meja. "Kok nggak nyambut keluar?" "Jadi ngeri." Mbak Zia ketawa. "Tapi bener katamu kok. Hubungan ada karena kesepakatan dua belah pihak. Yang penting kasih tau dia tujuanmu apa menjalin hubungan, pandanganmu gimana tentang hubungan kalian di masa depan, setelah itu, kalau dia mau, maka dia tahu resiko. Nantinya bukan lagi jadi salahmu." "Gini dong. Aku nggak suka merasa bersalah." Gue mengedipkan mata, lalu bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, gue menarik napas dalam-dalam. "Tadi om udah telepon kan? Riana di rumah, kan?" "Iya, sabar sebentar lagi. Kalau bertamu, harus nunggu yang punya rumah buka pintu dulu. Inget pesan mama sama papa?" Tangan gue yang udah megang gagang pintu, nggak jadi narik. Kok merasa kesindir ya. "Riana nggak sedang butuh banget kok, tadi Tante Zia---" Gue memutuskan membuka pintu selebar-lebarnya. Dan, seketika menelan ludah karena yang ada di depan adalah ... duda yang menurut gue konotasinya buruk, tetapi fisiknya keliatan sangat menarik. Ia langsung mengubah posisi yang tadinya agak bungkung menatap Azriel, menjadi tegap lurus menghadap gue. Apa yang bikin gue terkesima? Dia memakai kacamata bergagang hitam dengan kaca bening bulat. Dia pakai kaus hitam polos berlengan pendek. Dia pakai celana selutut bewarna cokelat muda, dan ternyata senada dengan warna sandal sepatu ... yang kebapakan banget. Warna kulit dan kelihatan sopan dan rapi begitulah yang gue maksud. Oh jangan lupa ... kotak pizza? "Lho, Miya?" "Hai." "Di sini?" "Iya, Om." Saat dia ketawa, gue baru ngeh panggilan yang gue lontarkan. "Eh, om-nya Azriel maksudnya." "Kak Miya, Riana tadi nyariin pensilnya nggak? Kebawa aku. Aku minta maaf ya. Riana mana? Aku boleh samperin?" "Ohiya, ya ampun gemes banget." Gue mempersilakan mereka masuk lebih dulu. Ingat, mereka dari keluarga yang paham adab dalam bertamu. Benar kan mereka duluan yang masuk baru gue? "Tuh Mamanya Riana. Mau minta maaf juga?" "Tante." Azriel berlari mendekati mbak Zia. "Azriel minta maaf ya. Tadi Azriel mikirnya udah dimasukin di tas Riana. Lupa banget. Tapi, Azriel bawain sekarang, sama bawain Riana pizza. Biar dia nggak marah." Dasar g***n kecil. Gue cuma bisa menggelengkan kepala, melihat betapa royalnya Azriel yang kemudian diantar mbak Zia ke kamar Riana. "Kamu sering datang ke sini, Miya?" "Iya. Sering banget." Gue bawa dia ke ruang tamu, kemudian gue permisi sebentar buat ambil mimuman. Jangan lupakan, adab bertamu dan menerima tamu. Kasih minuman apa ya enaknya? Minuman dingin, takutnya dia nggak suka dan mudah pilek. Kasih yang anget, takutnya dia ngerasa gerah dan butuh yang dingin. Air putih biasa aja, nanti dikira pelit. Gue nggak suka adab-adaban memang. Rumit begini soalnya. Akhirnya, memilih aman dan sudah jadi tradisi turun temurun dan mungkin ini adalah adab yang paling benar, gue kasih dia teh hangat. Cerdas. "Silakan, Mas, diminum." "Terima kasih." Gue ngangguk, duduk di seberang dia, kemudian hening. Mohon maaf ya, ini gue lagi di masa transisi, setelah tahu kebenaran dia sudah pernah menikah. Gue bingung harus gimana nge-treat dia. Masihkah tetap sama? Atau perlu perubahan di beberapa bagian? "Azriel itu mudah sekali merasa bersalah, meskipun kadang ngeyelnya dia suka diluar nalar." Oh syukurlah! Dia akhirnya yang membuka percakapan. "Dia masih asyik ngerjain tugas. Katanya mau sendirian aja. Aku milih buat baca hasil research di ruang kerja, tiba-tiba teriak bawa wadah pensil, dan maksa langsung jalan." Itu kenapa dia masih pakai kacamata baca. Apa dia masih nggak ngeh ya? Nggak apa deh, makin hot kok. Gue berusaha menjawab. "Kemudian mengurangi rasa bersalah, dia merasa perlu kasih sesuatu sebagai bentuk permintaan maaf." "Bener." Senyumannya lebar. "Aku minum ya." Dia menyeruput minumannya setelah gue mengangguk. "Weekend ini ada kegiatan, Miya?" "Enggak." Tanpa pikir panjang. Tadi barusan menyangsikan statusnya, sekarang tabrak tanpa tahu rambu. Memang Miya banget deh pokoknya. "Nyaman nggak kalau menghadiri semacam seminar?" Duh, gue mau didoktrin apaan nih? Jangan-jangan dia bikin partai baru dengan dalih millenial, padaha isinya sama aja. Partai kan visi utamanya mah sama aja ya, gue nggak paham politik juga sih. Atau, sekte baru yang menyeramkan? "Sabtu nanti, saya mau hadir ke acara 'Muda itu Aku, Terbuka adalah Caraku' di Hotel L Jakarta Pusat. Mau hadir juga?" "Gambaran acaranya?" Pura-pura aja dulu, biar nggak kelihatan anti banget gitu. Gue bukan tipe yang betah duduk berjam-jam dengerin orang ngomong di atas panggung. Gue nggak sepintar itu. Gue lebih betah baca sih. Kalau bosan, gue tutup buku atau layar handphone, terus ngapain kek. "Itu acaranya salah satu komunitas millenial di Jakarta. Dan Data Utama jadi salah satu media partner-nya. Sekalian aku juga jadi salah satu pembicaranya, karena anak-anak di Data Utama memang millenial." Kali aja lo bingung, gue bantu jelasin sedikit. Media online yang dia kembangkan itu namanya Data Utama. Kalau di email #KisahKami yang gue sebut itu, merupakan salah satu bagiannya. Kelihatan orang pinter banget ya? Kayaknya gue mundur aja kali ya. Yakali, yang beginian mau diajak berhubungan tanpa pencapaian semacam pernikahan kayak orang-orang? Dia pasti tipe yang punya perencanaan matang untuk masa depan. Eh tapi kan, dia cerai dari bininya bisa jadi bukti kalau dia memang manusia biasa. Coba dulu aja deh. "By the way, Miya, aku minta maaf. Kita batalin ke Perpustakaan karena kata mbak Zia, kamu nggak suka dikurung buku-buku." Dia nggak ketawa atau senyum pas ngomong itu, tapi gue tetap malu abis. "Jadi, aku pikir kalau dikurungnya sesama manusia, mungkin nggak masalah?" Pengen jawab 'sama aja, sama-sama masalah berat yang dibahas', tapi nggak mungkinlah. Udah gila lo berani matahin langsung di awal gini. "Otak gue tuh kapasitasnya beda lho, Mas." Gue nggak mau menyebut diri gue semdiri bodoh. "Hal-hal semacam itu biasanya nggak bisa dicerna otakku. Beda bidang." "Akan dijelaskan dengan bahasa millenial kok. Karena pesertanya pun banyak yang seumuran kamu." Dia memangku tangan, agak mencondongkan tubuh. Memangnya fisik gue mencerminkan usia gue? Banyak yang komen gue suka dandan di atas umur tuh padahal. "Gimana kalau dicoba dulu, dan kalau ternyata memang ini bukan zonamu, kita cari lainnya yang bisa bikin zona kita nggak tabrakan." Anj*ng. Ini beneran, kali ini gue ngumpat dalam hati. Gue nggak nyangka. Kalau yang konotasinya jelek, berubah jadi sesuatu yang sanga menarik untuk dicoba lagi. Lo ganteng, pinter, cerdik, hot, dan kenapa bisa gagal dalam rumah tangga coba? Gue kan makin nggak sabar buat nyobain. Ah PDKT ini memang memakan waktu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD