Bab 1: Cinta Rahasia

1398 Words
Matahari sore bersinar cerah di langit, memancarkan sinar keemasannya di atas kota metropolitan Lenmont, hutan beton raksasa yang dikenal dunia sebagai "Tanah Harapan dan Impian". Dari langit, Lenmont berbentuk seperti setitik air mata raksasa yang dikelilingi oleh bentangan samudera biru. Pada hari ini, lautan terasa lebih biru dari biasanya. Ceria, bahkan, seperti Sebuah cermin besar yang memantulkan sinar mentari. Burung-burung terbang di atas hamparan pasir mengkilap diiringi deru ombak yang berkilauan. Di sebelah pantai, sebuah vila berdiri dengan bangga di tengah padang rumput seukuran enam lapangan sepak bola, alunan musik yang merdu terdengar dari dalam. Sosok ramping dengan rambut panjang berwarna merah kecoklatan yang indah, tiada duanya di Lenmont, bergerak lembut dengan biola di jemari tangannya yang cantik dan menawan. Kemudian, dia berhenti. Dia memutar pinggulnya yang anggun dan sedikit mengernyit pada pelayannya yang berdiri di dekatnya. "Apakah Paman Sarkon akan menyukai ini?" Wanita berseragam, yang lebih dewasa dan lebih bijaksana dalam bersikap, balas tersenyum dan menjawab dengan jujur, "Tentu saja, Nona Maria. Kamu sudah berlatih sangat keras." Maria yang berusia delapan belas tahun melepaskan instrumen itu dari lehernya yang memerah dan mengangkat jari-jarinya. Lepuh baru telah terbentuk di atas kapalan lamanya. Tersenyum lemah, dia memiringkan kepalanya dengan hati-hati ke kiri lalu ke kanan untuk menghilangkan rasa nyeri di lehernya. Pelayan itu melihat lebih banyak kapalan di sepanjang lekukan lembut bahu nyonya mudanya dan menghela nafas. "Ini akan sepadan," gumam nona mudanya pada laut yang berkilauan. "Ya. Pasti akan sepadan, Nona Maria. Tuan Sarkon akan menyukainya, saya yakin." Hanya dengan mendengar namanya saja sudah cukup untuk membuat bibir kemerahan itu tersenyum lebar. Senyum rahasia; menyiratkan perasaan kasih sayang yang teramat dalam untuk satu-satunya orang yang telah mengisi relung hatinya. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya gemetar seolah merasakan kepakan jutaan kupu-kupu yang menunggu untuk meledak dari dadanya. Kekasih tercinta yang hanya diketahui oleh hatinya. Tapi mereka bukanlah sepasang kekasih, belum. Maria merenung sambil menggenggam busurnya dengan erat. Bukannya pria itu tidak menyukainya. Dia hanya... Dia hanya belum mengetahuinya. Pelayan itu melihat ekspresi senang nyonya kecilnya dan tersenyum penuh kasih sayang seperti seorang kakak perempuan, seperti seorang sahabat yang pengertian. Dia tahu rahasia di hati Maria, tentang seseorang yang selalu memenuhi pikirannya. Sejak wanita muda itu berusia sebelas tahun, dia berulang kali mengungkapkan bahwa dia akan menikahi Sarkon, walinya, yang mengadopsinya ketika dia berusia sembilan tahun. Pada awalnya, kata-kata Maria hanya dianggap sebagai permainan anak-anak belaka dan tidak pernah ditanggapi serius. Gadis-gadis seusianya selalu berkata ingin menikahi ayah mereka ketika sudah besar, tetapi kemudian saat dewasa mereka akan memiliki pasangannya sendiri. Pelayan itu mengira Sarkon bagaikan sosok ayah bagi Maria. Tapi Maria tidak berpikir demikian. Sebaliknya, keinginannya untuk menikahi Sarkon, pria paling berkuasa dan berbahaya kedua di seantero Lenmont itu, berubah menjadi sesuatu yang terus bertumbuh semakin kuat dari tahun ke tahun. Dia tidak pernah merahasiakannya. Sejak benih cinta itu tertanam dalam dirinya, setiap hari dia menunjukkan kasih sayangnya secara terang-terangan dan sepenuh hati yang jelas dilihat semua orang di rumah. Dia mengimpikan balasan perasaan yang sama dari Sarkon, sebagaimana seorang wanita yang sedang jatuh cinta pada umumnya. "Apakah dia akan kembali untuk makan malam hari ini?" Suara Maria bergema memenuhi ruangan dingin itu, membawa pelayan itu kembali ke perpustakaan tempat mereka berlatih biola selama empat jam terakhir. "Tentu saja," jawab pelayan itu dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu dia akan kembali. Sesibuk apapun, dia akan selalu pulang untuk makan malam denganmu." Maria mengalihkan pandangannya ke perairan biru berkilauan di luar sana. Mereka mengingatkannya pada mata biru tua yang indah itu. Sesosok wajah membanjiri pikirannya. Hidung mancung itu, lekukan bibir yang sempurna, rahang yang berbentuk dan kuat—itu hanya milik Sarkon. Sarkonnya. Senyum itu tiba-tiba saja berubah menjadi serius. Maria telah melihat cara Sarkon memandangnya belakangan ini. Ada yang berubah. Dia melihatnya dengan cara yang berbeda ... Kemarin, seperti biasa mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di taman selepas makan malam. Tiba-tiba saja, Maria mengusulkan agar mereka berdua pergi menuju pantai. "Kita masih sempat melihat matahari terbenam. Ayo cepat!" Dia berkicau dengan penuh semangat pada wajah datar yang menatapnya. Sarkon tidak pernah menunjukkan emosinya bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Awalnya, Maria menangis ketakutan setiap kali dia bertatapan dengannya. Sekarang, dia sudah terbiasa dengan itu. Ia menatap dengan berseri-seri pada wajah yang dingin dan serius itu, dia meraih tangan Sarkon dan menariknya ke arah suara ombak yang menerjang. Sarkon hanya terdiam mengikutinya seperti biasanya. Saat kakinya menelusuri pasir pantai yang lembut, dia melihat sepatu kulit hitam mengkilap milik Sarkon melangkah pelan di sampingnya dan terkikik. Angin berhembus melewati mereka, bermain-main dengan rambut ikal berwarna merah kecoklatan miliknya dan mengepakkan gaunnya dengan ganas seperti layar perahu. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sembari berbalik ke arah matahari kuning kejinggaan yang bersandar di cakrawala pada lautan yang berkilauan. Sambil meletakkan tangan di atas matanya seperti atap, dia mengagumi pemandangan yang luar biasa di depan matanya. "Ini sangat indah, bukan?" Sarkon tidak menjawabnya. Maria menoleh ke kiri dan membeku. Bermandikan cahaya hangat malam hari, pria yang memposisikan diri sebagai walinya, pria yang dia lihat sebagai pelindungnya, pria yang telah menyerbu mimpinya setiap malam, berdiri di hadapannya seperti patung perunggu yang indah dengan setelan serba hitamnya. Tatapan bola mata kristal biru itu menusuk ke dalam hatinya. Dia melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya di sana — keinginan yang begitu kuat, dia hampir tak bisa bernapas. "Nona Maria," suara pelayannya menyadarkannya kembali pada biola di tangannya. "Y-ya?" Dia menjawab sedingin yang dia bisa. "Tuan Sarkon sudah kembali." Maria berbalik. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. "Benarkah?" Kemudian, matanya melihat ke bawah, dan dia tersentak ngeri, "Aku tidak mau terlihat seperti ini! Aku harus berganti baju, Sophie." Sophie membalas nyonya kecilnya dengan senyuman penuh pengertian. "Tentu saja." Kedua wanita itu bergegas melintasi koridor panjang yang dihiasi dengan permadani mahal dan mahakarya seni serta patung yang mengarahkan mereka menuju sebuah pintu kayu ek besar. Maria lebih cepat dari pelayannya dan buru-buru membuka pintu. Tanpa menunggu bantuan seperti biasanya, dia bergegas ke lemari pakaiannya dan mengambil gaun warna biru langit cerah yang ditaburi bintang-bintang. Sambil memegang gaun itu di depan badannya, Maria tersenyum pada Sophie melalui bayangannya di cermin, "Dia akan terpesona." Sophie tidak bisa menahan senyumnya. "Ya, dia tidak akan bisa mengalihkan pandangannya darimu." Maria terkikik bangga. "Mari kita berpakaian, Nona. Saya akan menata rambut Anda." Ada ketukan lembut di pintu. Sophie pergi untuk menjawabnya. Kain sutra lembut menempel sempurna di kulitnya, memamerkan lekuk tubuhnya di tempat yang tepat. Maria melirik ke potongan leher V yang rendah dan bagian atas payudaranya yang membusung dan menyeringai. Sophie muncul di cermin lagi. Maria tersenyum lebar pada bayangannya, "Bagaimana penampilanku?" Sophie mencoba tersenyum, tetapi Maria tahu. Bahunya terkulai, membujuk pelayan itu untuk mengutarakan pikirannya. "Apakah ada yang salah? Apakah sesuatu terjadi pada Paman Sarkon?" Sophie menggelengkan kepalanya, "Dia baik-baik saja, Nona." Maria mengusap dadanya dengan lega. "Tapi Pak Sarkon sedang bersama seorang tamu. Seorang wanita." "Seorang wanita? Apakah kamu tahu siapa dia?" Maria merasakan campuran ketidakpastian dan kecemburuan. Dia berbalik. Sophie menggelengkan kepalanya meminta maaf. "Albert tidak mengatakan apapun kecuali bahwa Tuan Sarkon mengharapkan Nona hadir dalam lima menit. Tamu itu tidak boleh dibiarkan menunggu." Maria melebarkan matanya tidak percaya. Mulutnya menjadi kering. Itu terdengar seperti perintah. Perintah pertama yang pernah ia dapat dari Sarkon. Selama sembilan tahun mereka hidup bersama, tidak pernah sekalipun dia memerintahnya atau mendesaknya melakukan apa pun. Dia juga tidak pernah membawa tamu wanita ke rumah. Apa hubungannya dengan Sarkon? Rasa panik yang aneh melanda Maria. Kemudian, perasaan takut muncul di dadanya. Mata zamrudnya melebar menatap lantai berkarpet krem saat pikirannya mencari-cari alasan yang paling masuk akal. Mungkin dia hanya mitra bisnis. Tenang, Maria. Maria menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia melihat bayangannya di cermin. Sebuah suara kecil di kepalanya menyuruhnya pergi ke Sarkon dengan segera. Maria tersenyum pada Sophie. "Ayo pergi." "Tapi Nona, rambutmu." "Biarkan saja," Maria berbalik dan meluncur menuju pintu. "Paman Sarkon benar. Kita seharusnya tidak membuat tamu kita menunggu." *** Seperti biasa, mata Maria secara naluriah tertuju ke Sarkon. Karena perawakannya yang atletis dan tinggi badannya, dia mengingatkan Maria pada seorang raksasa. Tapi raksasa berusia dua puluh enam tahun ini memancarkan karisma yang mematikan dan memiliki daya tarik seperti model majalah. Pria-pria di semua sudut kota Lenmont mengikuti gaya setelannya dengan atasan pendek klasik dan gaya quiff keren, sementara para wanita saling bersaing satu sama lain hanya untuk mendapatkan perhatian darinya selama lebih dari lima menit. Tak satu pun dari wanita itu berhasil. Kecuali, tentu saja, Maria. Tapi semua itu akan berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD