Bab 9. Jangan Dekati Anakku

1424 Words
Happy Reading Aluna tahu hal ini pasti terjadi, cepat atau lambat pasti pria itu pasti akan datang ke rumah orang tuanya dan Valen akan bertemu dengan ayahnya. Tadi saat diperjalanan ke rumah sakit bersama papanya, Aluna banyak mendengar cerita mengenai Alva dan ucapan penyesalannya. .... Perjalanan ke rumah sakit pagi tadi. Aluna dan Bima satu mobil bersama, kebetulan Bima juga akan ada meeting dengan klien, jadi sekalian antar Aluna ke rumah sakit. "Valen udah nyaman sama Sintia?" tanya Bima. Menoleh ke arah putrinya di samping. Masih Jean yang menyetir, cowok dengan penampilan garang tapi rapi itu memang selalu standby di rumah Bima. "Kayaknya iya, Pa. Valen itu anaknya nggak sulit kalau sama orang baru yang menurutnya baik dan udah dibolehin sama Maminya. Di London dulu juga kan sama Nanny, aku kerja jadi udah biasa aku tinggal," jawab Aluna. "Syukurlah, memangnya kamu udah bener-bener mantap buat kerja?" "He'em. Aku single parent, nggak ada yang kasih nafkah, jadi harus kerja buat nyambung hidup. Nggak mungkin kan aku minta terus sama Mama dan Papa, hehehe." "Kamu anak Papa satu-satunya, harta orang tuamu dan juga perusahaan bakal papa wariskan ke kamu. Tiap bulan juga papa pasti kirim jatah uang jajan kamu ke rekening," ujar Bima. Memang benar apa yang dikatakan oleh kakeknya Valen itu. Tiap bulan Aluna tetap dapat uang jajan dari orang tuanya meskipun wanita itu sudah bekerja sejak dulu. Papa Bima selalu mengatakan jika uang itu bisa ditabung, kalau untuk belanja sehari-hari bisa memakai uang gaji dari Aluna sendiri. Apalagi ketika Aluna sudah memiliki Valen, Bima menaikkan uang jajannya Aluna dua kali lipat dari yang biasanya. Jadi, meskipun Aluna sendirian di negeri orang dan menjadi single parent, tetapi tabungannya menggendut karena setiap bulan dapat uang jajan dari ayahnya. "Ah, makasih ya, Pa." Aluna memeluk ayahnya dari samping, kepalanya dia sandarkan ke bahu sang ayah. "Padahal Luna nggak mau ngerepotin Papa dan Mama terus, Luna ngerasa malu karena udah dewasa dan di usia segini masak Luna masih dikasih uang jajan?" Bima tersenyum, mengelus rambut putri satu-satunya itu. "Tapi menurut papa kamu masih Putri kecil kami. Oh ya, misalkan suatu saat nanti Alva tahu kalau kamu ada di Jakarta, pasti dia dan Valen akan segera bertemu." Aluna yang mendengar itu langsung menegakkan tubuhnya dan menghadap pada sang ayah. "Aku nggak mau mereka ketemu, Pa. Udah bagus Valen nggak pernah tanya-tanya tentang sosok ayahnya. Masih sakit kalau ingat bagaimana penolakan pria itu," ujar Aluna dengan raut sendu. Ucapan Alva yang mengatakan jika dia tidak bisa menerima benih yang dia kandung masih selalu terpatri di ingatannya. Bahkan Aluna masih ingat dengan jelas bagaimana Alva memintanya untuk menggugurkan kandungan hanya karena dia tidak mau bertanggung jawab. Alva tidak mau menyakiti Mutia kalau sampai calon istrinya itu tahu dia menghamili wanita lain. Aluna sangat paham itulah yang dimaksud oleh Alva. "Tapi, setelah kepergianmu itu, Alva terlihat sangat menyesali perbuatannya. Beberapa hari setelah pernikahannya dengan sahabatmu itu, Alva langsung mengatakan kepada Papa dan Mama kalau kepergianmu itu dikarenakan dirinya yang tidak mau bertanggung jawab atas kehamilanmu. Kalau bukan Alva yang mengatakan tentang hal itu, apa mungkin Papa dan Mama tahu kalau kamu menyembunyikan hal sebesar ini?" ujar papa Bima. Kali ini Aluna hanya diam saja, jika biasanya dia langsung menyuruh papanya berhenti cerita kalau menyangkut Alva, entah kenapa sekarang Aluna ingin mendengarkan. "Bahkan Alva sampai bersujud semalaman di depan pintu rumah hanya agar papa memberitahu keberadaan mu di mana. Tiap hari apa datang untuk meminta maaf meskipun mamamu selalu mengusir bahkan memukulnya dengan sapu, tapi Alva tetap tidak kapok, dia akan datang lagi dan lagi di keesokan harinya. Dia bahkan nggak dirawat di rumah sakit padahal wajahnya sudah papa bikin bonyok, badannya juga pasti sakit semua. Kamu nggak tahu kan kalau saat itu Papa bahkan hampir membunuh dia?" Aluna menggeleng. Dia tahu cerita di mana katanya papa memukul Alva, tetapi tidak tahu kalau sampai separah itu. "Saat itu dia mengatakan kalau dia ingin sekali menikahimu dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tentu saja papa nggak mau, apalagi dia udah punya istri. Papa nggak mau kamu dijadikan istri kedua walaupun Alva koar-koar pada seluruh warga jika dia mencintaimu. Kenapa tidak dari sejak awal dia tahu kamu hamil kalau mau tanggung jawab, saat papa tanya seperti itu dia cuma bisa nangis." Aluna menunduk, memainkan ponselnya yang baru dia ambil dari tas kecilnya. Dia masih diam, tidak menyela ucapan papanya sama sekali, seolah mendapatkan izin cerita, Bima juga lanjut menceritakan bagaimana Alva dan penyesalannya. "Alva mengatakan pada Papa jika dia tetap akan menunggumu pulang meskipun itu bertahun-tahun lamanya. Pasti Alva kesal sekali karena tidak tahu di mana keberadaanmu saat itu, tetapi setelah 3 tahun kepergianmu, Alva mengajak papa bicara 4 mata saja. Dia mengungkapkan semua, seluruh perasaannya dan juga kesalahan pahamm diantara kalian selama ini." Aluna langsung menatap sama ayah. "Kesalahan pahaman? Maksudnya?" tanya Aluna yang kini ikut penasaran. Bima menarik napas sebelum cerita, dia ingat bagaimana tatapan putus asa Alva saat menceritakannya semua aib itu padanya. "Alva selama ini ternyata hanya di manipulasi oleh Mutia. Alva sebenarnya sudah cinta sama kamu, tapi Mutia selalu mengatakan hal-hal buruk tentangmu dan banyak fitnah yang wanita itu ucapkan pada Alva. Saat itu Alva diam saja dan tidak ingin menegurmu ataupun bertanya apakah yang diceritakan oleh Mutia itu benar karena dia tidak mau merusak persahabatan kalian. Mutia menggunakan akal licik untuk mendapatkan Alva dan Alva baru tahu semua itu setelah dia menikahi Mutia." Aluna tentu saja syok mendengar hal itu, jadi ternyata selama ini Mutia benar-benar tidak tulus berteman dengannya, padahal dia sangat tulus terhadap Mutia. Rasanya ingin menangis tetapi Luna tahan, dia sedih karena Mutia yang sangat dia sayangi ternyata begitu kejam padanya. Ah, ternyata doanya dulu menjadi kenyataan. Alva dan Mutia tidak bahagia seperti yang dulu mereka pamerkan padanya. Aluna mencibir dalam hati, mengingat bagaimana dulu Alva begitu mementingkan perasaan Mutia dan tidak mau tanggung jawab atas kehamilannya bahkan koar-koar kalau yang pantas mengandung benihnya hanya Mutia, tentu sekarang Aluna merasa senang, sedikit mengobati lukanya. Jahat nggak sih? Kalau misalkan Aluna dikatakan jahat karena tertawa di atas penderitaan mereka, tidak apa-apa karena hanya Aluna yang tahu bagaimana perasaannya dulu hingga saat ini. "Alva menceraikan istrinya itu setahun setelah nikah juga karena tidak mau nama baik keluarganya yang konglomerat itu nanti jadi sorotan kalau misalkan nikah baru seminggu terus cerai." "Ya, itu konsekuensinya, terserah dia mau hidup bagaimana yang jelas aku nggak siap kalau Valen harus tahu siapa ayahnya. Rasanya luka itu belum kering kalau ingat ucapan pria itu," ujar Aluna akhirnya. Dari sekian banyak cerita yang diucapkan ayahnya, Aluna tetap tidak akan memaafkan pria itu, meski Aluna tahu jika kejadian malam panas itu murni kesalahannya. Valen sejak masih di rahim tidak diinginkan, jadi dia juga tidak akan membiarkan Valen tahu siapa ayahnya. "Dia juga akhirnya tahu kamu di Inggris karena papa cuma kasih clue itu. Tidak memberi tahu tepatnya di kota mana." *** Valen menyadari kehadiran ibunya ketika menoleh ke belakang. "Mami! Mami udah pulang?" Valen berdiri dan langsung berlari ke arah Maminya yang kini tersenyum hangat menyambut sang putra. "Valen lagi main?" "Iya, Mi. Valen tadi dibelikan mainan banyak sama Om Alva." Valen menunjuk pria yang ada di belakangnya itu pada Maminya. Mengatakan jika itu adalah Om Alva yang membelikan mainan banyak tadi saat Mami di rumah sakit. Aluna menatap Alva dengan tatapan datar, tidak ada senyum sama sekali. Hanya datar dan dingin yang ditunjukkan pada Alva. Sedangan Alva sendiri masih mematuhi di tempat, sambil matanya berkaca-kaca melihat wanita yang sudah enam tahun lamanya dia cari. "Luna," bergetar bibir Alva ketika mengucapkan nama itu. "Mami, Om Alva ini temannya Mami, ya? Tadi kata Om Alva dulu Mami sama Om sering main bersama," seru Valen membuat Aluna kembali menatap sang putra. "Iya sayang, Alva udah makan? Udah tidur siang?" "Belum Mi, kalau makan siang tadi udah. Sama Om Alva." Aluna menghela napas mendengar cerita sang putra. Ternyata Alva menggunakan dengan baik waktunya saat bertemu dengan Valen untuk pertama kali. Makan siang bareng, sampai beli mainan. "Ya udah, kalau gitu Valen sekarang siap-siap bobok siang, ya? Nanti Mami temenin. Sekarang cuci tangan dan kaki sama Mbak Sintia dulu. Mbak! Tolong Valen, ya?" Sintia yang ada di sana mengawasi meski dari jarak jauh akhirnya mendekat. "Baik, Bu. Ayo, Valen. Kita ke kamar mandi." Sintia langsung sigap menggendong Valen dan membawanya pergi dari sana. Alva sejak tadi hanya diam berdiri mematung menatap interaksi anaknya dan juga Aluna. Entah kemana kata-kata yang sudah dia persiapkan sejak lama ketika bertemu dengan Aluna nanti, rasanya lidahnya kelu dan jantungnya mau copot dari tempatnya. Aluna sendiri langsung menatap Alva dengan tatapan tajam setelah melihat Valen pergi. "Keluar dari sini! Jangan pernah dekati anakku lagi!" Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD