bc

Welcome Thirty

book_age18+
228
FOLLOW
1.3K
READ
age gap
friends to lovers
independent
confident
drama
comedy
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Bagi orang lain, umur tiga puluh tahun adalah umur keramat. Umur yang akan banyak membawa cerita. Beberapa orang menargetkan diumur ini sudah menikah, atau sudah memiliki anak, sukses di karir dan pendidikannya. Semua orang merasa goalsnya harus tercapai di umur tiga puluh tahun.

Tapi bagi Lula, umur tiga puluh sama seperti umur- umur yang lain. Lula belum menikah apalagi memiliki anak, ia tak punya pacar, tak bekerja di perusahaan besar dan tak punya banyak teman.

Lula sudah lama menutup telinga dari omongan- omongan tak enak yang datang padanya. Selama tahun- tahun terakhir, Lula fokus pada kebahagiaannya sendiri. Lula tak ingin melakukan sesuatu karena terdesak omongan orang lain, bahkan orangtuanya sendiri. Lula hanya beruntung memiliki Aileen di sisinya. Sahabat yang sudah menemaninya di saat- saat terburuknya dan akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun.

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
            Seorang Wanita dengan piyama merah muda meringkuk di ranjangnya. Ia menutup tubuhnya dengan selimut hingga ke dadanya. Kedua matanya ditutupi dengan penutup mata motif panda. Suasana kamar temaram. Sebuah laptop terbuka ada di atas meja, kertas- kertas berserak di dekatnnya, juga sampah- sampah botol minuman dan juga cemilan. Matahari sudah naik dan mentereng namun wanita di atas ranjang masih nampak pulas. Ia tak mendengar pintu utama diketuk berkali- kali hingga sang tamu kehilangan kesabarannya.             Diluar, seseorang akhirnya mencari kunci cadangan di ranselnya lalu memasukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya hingga pintu terbuka saat ia menekan handle pintu. Laki- laki itu menggeret kopernya masuk dan terkejut melihat keadaan rumah. Ruang tamu itu tampak berantakan. Selimut dan bantal tergeletak di atas sofa. Tisu berserakan di atas meja. Sepatu- sepatu berada tak pada tempatnya.             Laki- laki itu berdecak sambil menggeleng- gelengkan kepalanya. Tak menyangka bahwa si pemilik rumah sama sekali tak berubah. Laki- laki itu menaruh kopernya di samping sofa lalu mulai membersihkan ruang tamu. Ia membuang sampah yang berserakan lalu menaruh sepatu dan benda- benda lain pada tempat yang seharusnya. Ia juga mengelap meja lalu melanjutkannya dengan menyapu dan mengepel lantai.             Setelah selesai dengan ruang tamu, ia beralih ke dapur lalu mencuci piring dan gelas bekas pakai yang ada di bak sink. Ia merapikan meja makan dan mengelap semua sudut yang kotor dan berdebu hingga akhirnya dapur dan ruang tamu itu tampak kinclong dan layak untuk ditinggali.             Wanita di dalam kamar menguap lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Ia melepaskan penutup matanya dan langsung menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia berdiri dengan malas lalu mendekati jendela dan membuka tirainya. Cahaya matahari langsung menghujam wajahnya. Wanita itu menguap lagi lalu mendekati nakas dan mengambil gelas berisi air lalu menyesap isi hingga tandas.             Ia melangkah gontai keluar dari kamarnya lalu berhenti di depan pintu kamarnya. Ia terdiam sebentar lalu mengucek- ucek matanya saat menyadari ada yang tak beres dengan ruang tamunya. Ia menatap sekeliling lalu menatap meja dan kuris yang rapi, sepatu dan benda- benda lainnya sudah tersusun rapi di tempatnya. Ia mendekat ke meja dan mengusap bagian atas meja dengan ujung jarinya dan tak ada debu menempel di jarinya.             “Apa udah gue beresin, ya, semalam? Tapi perasaan belum deh.” Wanita itu, Lula, berbicara dengan dirinya sendiri. “ah mungkin udah kali. Masa rumah bisa bersih sendiri, kan nggak mungkin.” Katanya.             “Kalau tahu rumah nggak bisa beres sendiri, ya harusnya diberesin, jangan dibiarin udah kayak tempat sampah.” Suara itu membuat Lula kaget. Ia membalik badan dan melihat Vano, adiknya keluar dari dapur dan menghampirinya.             “Lo kapan datang?” tanyanya saat laki- laki itu mendekat.             “Makasih dulu.” Kata Vano sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.             “Iya, makasih, ya, Adikku yang paling ganteng seantero keluarga besar.” Kata Lula. Ia duduk di sebelah adiknya lalu melirik koper yang ada di samping sofa. “lo diusir mama?” tanyanya.             “Sembarangan. Gue kan udah bilang kalau awal bulan ini gue di mutasi ke Jakarta.” Kata Vano.             Lula menggaruk kepalanya karena baru ingat. “Yaudah, masak dong. Kakak lapar, nih.” Kata Lula yang langsung membuat Vano melotot tajam.             “Dih. Ogah. Gue udah capek- capek bersihin rumah. Gantian kakak lah yang masak.” Laki- laki itu tak mau kalah.             “Kamu kan lebih jago masak, Van.” Kata Lula.             “Jago masak? Bilang aja lo malas.” Vano berdiri lalu menggeret kopernya menuju kamar kosong yang ada di rumah itu.             Lula mendelik. Ia baru saja hendak beranjak saat mendengar pintunya di ketuk dan suara menggelegar terdengar.             “Lula… bangun.,. udah siang… jangan tidur mulu lo, ya. Mau cosplay jadi mayat?” suara itu terdengar begitu keras dari luar. Lula buru- buru bangkit dari kursi dan menghampiri pintu sebelum mulut sahabatnya semakin menjadi- menjadi.             “Berisik, tahu, nggak.” Kata Lula sambil membuka pintu. Wanita di depannya tampak terkejut karena Lula membukakan pintu dengan sangat cepat pagi ini.             “Kok lo tumben udah bangun?” tanya Aileen.             Lula tak menjawab pertanyaan Aileen, ia membalik badan dan kembali menghampiri sofa lalu menghempaskan tubuhnya ke sana. Lula menatap Aileen yang menghampirinya dan menaruh satu plastik di atas meja.             “Itu apaan?” tanya Lula saat Aileen duduk di sebelahnya.             “Sarapan. Lo udah sarapan belum?” tanyanya. Aileen melihat wajah sahabatnya tiba- tiba bersinar.             “Lo tuh memang sahabat gue yang paling perhatian.” Lula mendekat ke meja dan membuka plastik yang berisi kotak- kotak Tupperware. “Revano… sarapan.” Teriaknya.             “Lho, Vano di sini?” tanya Aileen. Ia melihat Lula yang sedang membuka kotak makan mengangguk dan tak lama salah satu pintu yang ada di sana terbuka, memperlihatkan sosok Vano yang sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai.             “Vano… my little brother…” teriak Aileen. Senang karena bisa melihat Vano di rumah itu.             “Halo, Kakak Aileen.” Sapa Vano dengan ramah. Ia mendekat dan duduk di depan Aileen sementara Lula pergi ke dapur untuk mengambil piring dan sendok.             “Masih suka bungkusin makanan di rumah buat di bawa ke sini, Kak?” tanya Vano saat melihat ada berbagai macam masakan di atas meja ruang tamunya.             “Iya, kasihan Lula nggak ada yang merhatiin selain gue.” kata Aileen sambil tertawa tepat saat Lula kembali berada di antara mereka.             “Gue masih bisa merhatiin diri gue sendiri, kali.” Katanya. Ia memberikan satu piringnya pada Vano. Lula dan Vano mengambil nasi dan lauk pauk juga sayur yang dibawa Aileen dan memakannya pelan.             “Lo nggak kerja?” tanya Lula pada sahabatnya              “Kerja, nanti datang siangan.” Jawab Aileen. Ia menatap Lula dan Vano yang makan dengan sangat nikmat.             “Kak Ai, udah makan?” tanya Vano.             “Belum.” Jawabnya.             “Lho, kok nggak ikut makan?” tanya Vano lagi.             “Ya nggak diambilin piring sama Lula.”             “Yailah, ambil sendiri, udah kayak tamu aja.” Kata Lula saat mulutnya kosong. Aileen mencibir lalu bilang bahwa ia sudah minum kopi tadi pagi sehingga tak merasa lapar.             “Nambah, Van, nambah.” Aileen mengambilkan satu potong paha ayam dan menaruhnya di piring Vano yang langsung mengucapakan terima kasih.             “Kok pahanya dua- duanya buat Vano, sih. Gue satu dong. Sengaja gue ambil d**a biar nanti bisa makan pahanya.” Lula protes pada Aileen yang memberikan potongan paha ayam pada adiknya.             “Yailah, kayak nggak pernah makan paha ayam aja lo.” Kata Aileen. “ngalah sama adik sekali- kali.” Katanya lagi. Vano mengangguk menyetujui ucapan Aileen.             “Lo ada acara apa ke sini, Van?’ tanya Aileen. Ia melihat laki- laki itu mengunyah dengan cepat sebelum menjawab pertanyaannya.             “Di mutasi ke sini.” Jawabnya.             “Wah, enak dong, lo, nggak perlu LDR sama pacar lo lagi.” Kata Aileen. Ia melihat laki- laki di depannya mengangguk sambil tersenyum.             “Awas aja lo kalau pacaran di rumah.” Kata Lula dengan tatapan memperingatkan pada adiknya.             “Duh, lo itu nggak bisa banget lihat kebahagiaan orang, sih.” Kata Aileen, “makanya jatuh cinta biar nggak iri lihat kebahagiaan orang lain.” Lanjutnya. Revano mengangguk menyetujui omongan Aileen.             “Dih, siapa juga yang iri.” Sangkal Lula. Ia menggeleng, tak menyetujui perkataan sahabatanya.             Lula memang masih melajang di umurnya yang hampir menginjak tiga puluh tahun. Setelah patah hati berulang kali, Lula akhirnya memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya menjadi seorang grapich designer lepas. Wanita itu tak pernah lagi gencar mencari pasangan meski ibunya sudah sering mengingatkan wanita itu untuk lebih sering bersosialiasi dan tak hanya menghabiskan banyak waktunya di rumah.             Pekerjaan lepas Lula memang memudahkan wanita itu bekerja di manapun. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah atau di coworking space untuk membuat desain- desain permintaan kliennya. Jangkauan wanita itu sudah cukup luas. Ia menerima beberapa klien yang berada di luar negeri sehingga tak menjadi karyawan perusahaan membuatnya bisa tetap hidup. Selain itu, ia menerima bayaran sangat layak dari pekerjaannya, yang akhirnya membuatnya bertahan pada posisinya.             Selain itu, ia memang lebih suka bekerja sendiri karena lebih bebas. Ia telah berkali- kali masuk ke perusahaan- perusahaan besar hingga akhirnya keluar karena tak cocok dengan berbagai hal. Ia bisa bekerja di mana saja, dengan pakaian apa saja, di waktu apa saja, dan dibayar lebih besar dibanding saat ia menjadi karyawan sebuah perusahaan. Lula telah nyaman dengan keadaannya dan tak pernah ingin merubah apapun.             “Lo punya rencana apa hari ini?” tanya Aileen pada Lula yang sudah menghabiskan isi piringnya.             “Kalau gue ikut lo ke kantor gimana?” tanya Lula.             “Oke.” Kata Aileen.             “Van, tolong beresin, ya. Gue mau mandi dulu.” Kata Lula sambil berdiri lalu berjalan ke kamarnya. Vano mendesis lalu mengangkat tangannya yang masih memegang sendok. Kalau ia berani, ia pasti sudah melempar sendok dalam tangannya hingga tepat mengenai kepala wanita itu. Sayangnya ia tak berani, karena wanita itu pasti akan membalas berpuluh- puluh kali lipat dari apa yang ia lakukan padanya.          ***               Aileen keluar dari mobil mahalnya, Lula keluar dari pintu lainnya. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu kaca kantor event organizer berlantai empat itu. Seorang security membukakan pintu untuknya yang hari itu hanya berbalut kaos yang dilapisi blazer dan celana jeans.             “Morning…” Sapa Aileen pada resepsionis yang ada di belakang meja kotak besar. Juga pada karyawan yang berada di lantai itu. Semua karyawan menunduk dan membalas sapaan Aileen dengan ramah.             Aileen dan Lula berhenti di depan lift, menunggu pintu besi di depannya terbuka. Jika dilihat dari penampilannya, tak akan ada yang percaya bahwa Aileen adalah salah satu anak konglomerat di Indonesia. Wanita itu terlihat seperti wanita biasa. Gaya pakaiannya santai, namun terkadang juga nyentrik. Di media sosialnya tak pernah ada postingan liburan ke luar negeri ataupun pamer barang mewah khas anak- anak orang kaya. Wanita itu juga tampak begitu ramah pada semua karyawannya meski ia adalah owner perusahaan EO itu. Wanita itu tak segan berbaur dengan semua karyawannya.   ***               Revano keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi. Laki- laki itu melangkah menuju pintu dan keluar dari rumah setelah mengunci pintu rumahnya. Ia mendekati motor yang berada di garasi dan menggunakannya untuk membelah jalanan ibukota menuju sebuah resto untuk bertemu kekasihnya.             Lewat dari setengah jam ia sampai di sebuah resto yang terletak tepat di samping kantor Risa, gadis yang sudah ia pacari selama tiga tahun. Ia turun dari motor dan langsung masuk ke dalam café yang di desain modern itu. Seorang gadis berambut panjang melambaikan tangan padanya dengan senyum mengembang. Laki- laki itu menghampiri meja gadis itu dan memeluknya sebentar saat gadis itu berdiri.             “Aku senang banget kamu di mutasi ke sini.” Kata gadis itu dengan senyum yang belum juga surut.             Revano mengungkapkan kesenangan yang serupa. Pelayan mendatangi mereka dan menanyakan pesanan keduanya. setelah memesan makanan dan minuman keduanya kembali berbicang- bincang. Mereka membicarakan banyak hal. Hal- hal yang dulu hanya bisa mereka bicarakan melalui telepon kini bisa mereka bicarakan langsung.             Risa senang bisa melihat wajah Vano secara langsung, biasanya laki- laki itu hanya mengunjunginya sebulan sekali atau terkadang dua bulan sekali. Sekarang ia bisa melihat wajah itu setiap hari atau sesering mungkin.   ***               Jam menunjukkan pukul setengah empat sore saat Lula menaruh tasnya di atas meja. Ia dan Aileen baru saja sampai di sebuah coworking space karena Aileen harus meeting dengan kliennya di tempat itu. Sementara Aileen masuk ke meeting room, Lula duduk di salah satu meja di sana. Beberapa orang lain terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing- masing di meja pilihan mereka.             Lula mengeluarkan laptop dan peralatannya dari dalam tas. Ia menyalakan laptopnya dan memposisikan drawing pad di tempat yang nyaman dan mengeluarkan pen dari dalam tempatnya.             Lula menarik napas sebelum memulai pekerjaannya. Kini ia tengah sibuk membuat cover- cover buku untuk para kliennya yang merupakan seorang penulis. Meski jam terbang Lula sudah sangat luas, wanita itu tak pernah memilih- milih pekerjaan. Ia akan mengerjakan desain apapun asal ia bayar dengan pantas.             Ia tengah fokus menggerakkan pennya di atas drawing pad saat seorang pria duduk di sebelahnya. Lula tak melirik karena terlalu fokus pada pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan dengan cepat dan rapi agar ia bisa melanjutkan ke pekerjannya yang lain.             Sebelah tangan Lula dengan lincah menggerakkan pen di atas drawing pad. Matanya menatap fokus hasilnya di layar laptop di depannya. Gerakan tangannya berhenti dan konsentrasinya buyar saat mendengar kayu partisinya di ketuk pelan.             Lula menoleh dan melihat pria di sebelahnya berkata, “punya pensil, nggak?” tanya pria itu pelan. Lula tak menjawab, sebelah tangannya langsung mengambil kotak pensil yang ada di samping laptopnya. Ia mengambil satu buah pensil dari sana dan memberikannya pada laki- laki di sebelahnya.             Pensil itu berpindah tangan, Lula melanjutkan pekerjaannya mendesain sampul untuk buku. Ia memainkan garis dan warna sehingga tampak sempurna.             “Kalau penghapus punya?” suara itu lagi. Tanpa menoleh Lula mengambil penghapus dan memberikannya pada laki- laki di sebelahnya.             “Makasih.” Kata laki- laki itu pelan. Lula mengangguk pelan lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.             Waktu terus bergulir. Setelah Lula menyelesaikan satu desain, ia langsung mengirimkan pada kliennya lalu melanjutkan ke desain- desain lain yang masih menanti untuk ia kerjakan.             Lula berdiri lalu merenggangkan otot- ototnya yang terasa kaku. Ia menatap pintu ruang meeting yang tak jauh dari tempatnya duduk, tempat Aileen berada yang masih tertutup rapat dan sepertinya tak ada tanda- tanda akan terbuka.             Wanita itu menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Setelah itu mengangkat tangannya tinggi- tinggi lalu menariknya ke kiri dan ke kanan untuk merenggangkan otot- otot tubuhnya yang terasa kaku. Ia menatap sekeliling, ke kursi- kursi dan meja yang mulai kosong. Ia lalu menoleh ke samping dan terpaku saat melihat laki- laki di sebelahnya tengah menatapnya.             Lula buru- buru kembali duduk dan menyembunyikan wajahnya ke dalam partisi mejanya sehingga laki- laki di sebelahnya tak bisa melihat wajahnya. Ia berdecak pelan lalu menutup wajahnya. Lula akhirnya menarik napas panjang lalu duduk tegak di kursinya. Ia melirik ke samping dan melihat kursi di sebelahnya kosong. Ia melongok sedikit ke meja laki- laki itu dan melihat laptop serta barang- barang laki- laki itu masih ada di mejanya.             Lula akhirnya mengecek email dan membalas pesan- pesan yang masuk ke inboxnya. Setelahnya ia membuka buku catatannya untuk memeriksa pekerjaan apa yang selanjutnya harus ia kerjakan.             “Desain logo restoran.” Ia membaca tulisannya di dalam buku itu. Fokusnya kembali pecah saat ia melihat sebuah cup berisi kopi diletakannya di mejanya. Ia menoleh dan melihat laki- laki di sebelahnya telah kembali dan kini tersenyum padanya.             “Ucapan terima kasih karena udah boleh pinjam pensil dan penghapus.” Kata laki- laki itu. Ia mengambil pensil dan penghapus yang tadi ia gunakan dan menaruhnya kembali di meja Lula yang kebingungan.             “Nggak perlu.” Lula mengembalikan cup itu ke meja sebelahnya.             “Nggak apa- apa.” Laki- laki itu kembali menaruh cup itu di meja Lula.             Lula baru saja hendak kembali menolak saat Aileen menghampirinya. “ayo balik, La.” Kata wanita itu. Sebelah tangannya mengambil cup berisi kopi yang ada di meja Lula dan langsung ia sesap tanya bertanya pada si pemilik.             “Ai, kok lo minum, sih?” protes Lula. Ia melirik laki- laki di sebelahnya yang tersenyum kecil.             “Lho, memang kenapa?” tanya Aileen. Ujung bibirnya masih menyentuh ujung sedotan kertas itu.             “Ish…” Lula mengeluh. Bingung bagaimana menjelaskannya pada Aileen. Ia melirik ke samping dan melihat laki- laki itu tengah membereskan barang- baranganya lalu mengulas senyum pada Lula sebelum pergi dari tempatnya.             “Lo kenal sama dia?” tanya Aileen saat Lula menatap punggung laki- laki yang semula duduk di sebelahnya. Lula menggeleng pelan.             “Lo udah selesai meetingnya?” tanya Lula, ia melihat Aileen mengangguk dan kembali bertanya, “terus sekarang mau ke mana? Gue masih banyak kerjaan nih.” Kata wanita itu.             “Ke bawah dulu, yuk, makan. Nanti lanjut lagi.” Ajak Aileen sambil mengusap perutnya. Lula akhirnya mengangguk dan pergi ke lantai bawah, masih di tempat yang sama. Bangunan dua lantai itu punya lantai dasar yang difungsikan sebagai café dan resto sedangkan lantai duanya untuk coworking space, sedang lantai tiganya khusus untuk karyawan.             Keduanya berdiri di depan kasir dan membaca menu yang disodorkan oleh pelayan. Keduaya membaca tiap baris menu yang ada di buku menu.             “I fu mie satu sama es teh manis.” Kata Aileen pada kasir berseragam yang berdiri di depannya.             “Nasi capcay sama jus jeruk.” Lula memesan. Pelayan mengetikkan jarinya di atas mesin kasir untuk mencatat pesanan Lula dan Aileen. Setelah mencatat pesanan, kasir perempuan itu mengulang pesanan keduanya lalu menyebutkan nominal yang harus di bayar.             Aileen mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada si kasir. Si kasir melanjutkan transaksi lalu memberikan kembalian beserta papan nomor meja.             Aileen dan Lula menatap sekeliling untuk mencari meja yang kosong karena semakin malam, tempat itu semakin ramai. Keduanya mendekati meja kosong yang ada di pojok ruangan.             “Meetingnya lancar?” tanya Lula pada sahabatanya yang langsung mengangguk. Lula seharusnya tak perlu bertanya karena Aileen selalu melakukan pekerjaannya dengan baik. Dengan kepribadiaannya, bukan tugas yang sulit bagi Aileen untuk meyakinkan kliennya kalau EO mereka adalah yang terbaik untuk dijadikan pilihan setiap acara.             “Eh, itu bukannya cowok yang tadi duduk di sebelah lo?” tanya Aileen. Lula mengikuti arah pandang Aileen dan melihat laki- laki itu duduk di salah satu meja tak jauh dari tempatnya. Laki- laki itu tengah menekuri laptopnya dengan serius.             “Ganteng juga…” kata Aileen saat Lula tak menjawabnya. Lula mengalihkan pandangannya ke ponselnya yang tiba- tiba berdering. Ia menswipe layar dan mengangkat panggilan yang masuk.             “Gue di Daily.” Kata Lula saat Vano yang berada di ujung sambungan bertanya di mana ia.             Tak lama Lula mematikan panggilan dan menaruh kembali ponselnya di atas meja.             “Vano?” tanya Aileen. Ia melihat Lula mengangguk.             “Lagi di mana dia?” tanya Aileen lagi.             “Pacaran, lah. Ngapaian lagi. Ceweknya pas LDR aja bucinnya minta ampun, apalagi sekarang deket, biar ngintilin Vano setiap hari kali.” Kata Lula yang langsung membuat Aileen terkekeh ringan.             “Kan… kan… iri, kan.” Kata Aileen.             Lula bedecak lalu melotot pada sahabatnya. Ia sudah bilang berkali- kali bahwa jika ia mengomentari romantisme pasangan lain, bukan berarti dia iri. Aileen harusnya tahu bagaimana Lula menikmati hidupnya dan merasa hidupnya sempurna bahkan saat ia tak memiliki kekasih di umurnya yang akan menginjak umur tiga puluh tahun beberapa bulan lagi.             Bagi orang lain, umur tiga tahun adalah umur keramat. Umur yang akan banyak membawa cerita. Beberapa orang menargetkan diumur ini sudah menikah, atau sudah memiliki anak, sukses di karir dan pendidikannya. Semua orang merasa goalnya harus tercapai di umur tiga puluh tahun. Tapi bagi Lula, umur tiga puluh sama sepeti umur- umur yang lain. Lula belum menikah apalagi memiliki anak, ia tak punya pacar, tak bekerja di perusahaan besar dan tak punya banyak teman. Lula sudah lama menutup telinga dari omongan- omongan tak enak yang datang padanya. Selama tahun- tahun terakhir, Lula fokus pada kebahagiaannya sendiri. Lula tak ingin melakukan sesuatu karena terdesak omongan orang lain, bahkan orangtuanya sendiri. Lula hanya beruntung memiliki Aileen di sisinya. Sahabat yang sudah menemainya di saat- saat terburuknya dan akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun.  TBC LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.6K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.3K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.4K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.8K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.8K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
46.2K
bc

Pengganti

read
301.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook