“Operasi?! Kalian akan mengoperasi Mars?” pekik Ailee tak terima saat mereka kembali ke lab bawah tanah. “Kalian tidak bisa melakukan ini! Kalian bahkan tidak mengatakan apa pun sebelumnya padaku!” serunya pada beberapa dokter yang baru saja menyampaikan agendanya hari ini pada Ailee, yaitu mengoperasi otak Mars. Tentu, dua dokter itu tidak terlihat ambil pusing dengan apa yang dikeluhkan Ailee karena pada dasarnya, mereka hanya melakukan apa yang diminta bos mereka, Shin.
“Semua yang bekerja di sini adalah seorang profesional, Ai,” ucap seseorang menginterupsi mereka. Ailee berbalik, bersumpah akan menyemprot siapa pun yang mengganggu pembicaraan pentingnya, tapi ia membuka mata lebar saat melihat sosok Abraham mendekat. Ailee mengamati pria itu dari atas ke bawah, kemudian kembali ke wajah tampannya. Pria itu memberi kode pada para dokter untuk menyerahkan Ailee padanya dan mereka bisa pergi. Sedangkan tatapan membunuh dari mata Ailee masih mengekori dokter-dokter yang beranjak dari sana. Wanita itu melipat tangan, terlihat akan menolak semua upaya Abraham yang mencoba menenangkannya. “Ini satu-satunya jalan, Ailee. Kau tahu, kelainan di otak Mars terlalu unik. Aku takkan memaafkan diriku sendiri jika aku tak berusaha menyelamatkannya selagi masih ada jalan,” ucap Abraham persuasif. “Risikonya memang tinggi, namun hanya ini satu-satunya jalan yang kupunya untuk menyelamatkan anak kita, Ai.”
Ailee menelan ludah, lalu melihat Mars kecil yang sudah duduk di meja operasi dengan seragam scrub kedodoran yang tengah dia pakai di dalam ruang operasi yang terlihat dari jendela kecil di balik pintu.
Ailee kembali menatap Abraham dengan penuh curiga, “Kau bisa mulai menjelaskan apa yang kau lakukan seminggu kemarin.”
Tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah sang istri, Abraham menghela napas panjang, “Membuat sebuah Artificial Neuron.”
“Apa itu?”
“Sebuah neuron buatan untuk menggantikan fungsi neuron yang rusak di otak Mars, hingga membantu neurotransmitter-nya bekerja layaknya normal. Mengendalikannya dengan baik, lebih tepatnya. Itu dibuat dengan polimer konduktif dengan memanfaatkan impuls listrik dan zat kimia dalam otak, neurotransmitter-nya yang tidak normal itu, sehingga—”
“Hentikan, Ab. Aku tak bisa mencernanya dengan baik!” seru Ailee membungkam bibir Abraham dengan sebelah tangannya, “Jawab saja ... apa itu berbahaya bagi Mars?” Perlahan, dengan pandangan memohon, Ailee melepaskan kedua tangannya dari bibir Abraham. "Apa itu berarti ... Mars akan sembuh dan tumbuh seperti anak normal lainnya?"
“Operasinya memang agak berbahaya, tapi alat yang kubuat itu, aku jamin aman,” ujar Abraham dengan senyum terkembang, “meski belum ada yang benar-benar menggunakannya di otak manusia, peneliti di Swedia sudah menemukan Artificial Neuron ini. Aku memepelajarinya dan memodifikasinya di sana-sini untuk kusesuaikan dengan keadaan Mars. Jika ini berhasil ... ya, Mars kita akan sembuh dan tumbuh normal seperti anak-anak lainnya di luar sana."
Untuk pertama kali setelah beberapa hari belakangan, senyum Ailee akhirnya terkembang. Ia mengangguk-angguk sembari mengamati sekitarnya, "Baguslah, kalau begitu." Kemudian seakan mengingat sesuatu yang penting, wanita itu sekali lagi mengangkat wajahnya untuk menatap Abraham dengan serius, “Tidak ada efek jangka panjang seperti yang terjadi padaku?”
“Kuharap tidak. Maksudku, tidak. Tidak ada.”
Ailee mengembuskan napas cepat, namun tak semua rasa cemasnya hilang. Masih sangat jauh dari kata lega. Ia mengamati ruang operasi yang kini tengah sibuk. Shin bersama teman-temannya berderap ke sana kemari, mengotak-atik tubuh anaknya di atas meja operasi. Sama sekali tidak melegakan.
“Mars sangat merindukanmu, Ab,” ucap Ailee sembari merabakan jemarinya di dinding kaca yang memisahkan dua ruangan di mana ia berada dan ruang operasi.
“Aku juga merindukannya. Setelah ini dia akan tinggal bersama kita.”
“Dia harus tinggal bersama kita,” balas Ailee bersikeras membalikkan tubuhnya dan menatap Abraham dengan wajah keras kepalanya itu.
“Ya,” gumam Abraham terdengar begitu lelah. “Aku akan beristrahat sementara kita menunggu operasinya selesai.”
Ailee mengamati suaminya yang kini duduk di kursi tunggu di sebelah pintu ruang operasi. Wajah Abraham terlihat sangat kelelahan. Jelas, ia sangat kurang istirahat. Abraham bilang ia beristirahat, nyatanya, pria itu membuka tablet-nya, mengurus dokumen-dokumen pekerjaan, kemudian mengangkat telepon masuk dan membicarakan pekerjaannya di kantor. Sementara matanya terus menatap pintu operasi di depan mereka. Kantung matanya sangat kentara, jambang tipis telah tumbuh di sepanjang rahangnya yang bergerak-gerak cemas. Otot wajahnya terlihat tegang. Suaminya itu tidak tidur semalaman, atau bahkan lebih. Entah dengan cara apa, Ailee memiliki intusisi bahwa Abraham telah berusaha keras untuk operasi ini.
Ailee menyebelahi Abraham untuk duduk di kursi tunggu bersamanya dan mengusap-usap punggung pria itu. “Pasti berat untukmu,” ucap Ailee sambil mengusap punggung Abraham yang kembali menoleh padanya setelah menutup telepon urusan bisnisnya itu.
“Apa? Berat?”
“Pekerjaanmu, tanggung jawabmu sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah.”
“Aku — ” Abraham megap-megap. Perhatian Ailee yang diterimanya secara tiba-tiba membuatnya hilang kata. Rasa panas yang tiba-tiba ia rasakan di pelupuk matanya membuatnya merasa semakin gugup. “Tidak, Ai. Aku … aku tidak bisa melakukan apa pun selain ini untukmu dan Mars. Aku hanya-”
Ailee menghentikan racauan suaminya itu dengan mencium bibirnya lembut. Abraham baru merasakan ia sedang sekarat, hingga Ailee akhirnya memberinya kehidupan. Setelah melepaskan bibir Abraham, Ailee memeluk laki-laki itu lembut dan mengusap-usap rambut hitam legamnya yang selalu acak-acakan dan kusut..
“Kenapa kita tak membawanya ke Swedia saja? Dengan begitu kau tidak perlu repot-repot membuatnya sendiri dan kau bisa mencukupi waktu istirahatmu, Sayang.”
Abraham menggeleng, “Kita harus memulai dari nol lagi, dan aku tak bisa percaya mereka. Mereka hanya memiliki sistem dasarnya saja. Sedangkan Mars membutuhkan sesuatu yang jauh lebih rumit. Aku bahkan tidak memercayai mereka akan sampai pada kesimpulan yang dikemukakan Shin.”
Ailee menutup mata dan melepaskan rangkulannya dari Abraham. Kedua tangannya menangkup wajah Abraham dan tersenyum pada sang suami. Abraham memang begitu. Ia tak bisa dengan mudah percaya pada siapa pun setelah mengamati dan merasakan baik-buruknya dunia dengan matanya sendiri. Ailee tidak bisa mengubah itu, tidak ingin mengubah suaminya yang manis itu. Asal kini ia sudah bisa merasakan kehangatannya, itu sudah cukup. Ailee sudah berterima kasih pada Tuhan karena sudah mengembalikan suaminya pada dekapannya lagi.
Tiba-tiba terdengar keributan dari dalam ruang operasi setelah beberapa lama mereka mendekam dalam pikirannya sendiri. Abraham dan Ailee serentak berdiri. Pintu terbuka dengan keras, dua orang dokter yang membantu Shin saling mengumpat dan bergegas dari sana, sambil tertawa, menghiraukan Ailee yang bermaksud menghampiri mereka dan meminta penjelasan tentang keadaan anaknya pasca-operasi.
“Dokter mana yang mengumpat seperti itu setelah keluar dari ruang oeprasi?” gerutu Ailee saat melihat dua orang itu pergi terburu-buru, “Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada seorang pun yang menghampiri kita untuk memberi tahu bagaimana hasil operasinya?”
“Biarkan mereka. Semua orang di sini sama gilanya dengan Shin,” ucap Abraham yang tetap memfokuskan pandangan pada pintu. Begitu Shin keluar, Abraham segera menghampirinya, “Bagaimana, Shin?”
“Aku butuh Genesis, maksudku, Mars yang butuh. Astaga, bagaimana kalian bisa membuat anak seperti itu?” Wajah Shin terlihat begitu lelah di balik masker mulutnya yang kini sudah merosot hingga ke dagunya.
“A-apa yang terjadi pada Mars? Apa itu Genesis?” tanya Ailee.
“Apa kau lihat anakmu?” Shin memiringkan badannya hingga Abraham dan Ailee dapat mengintip ke dalam.
Mars tengah duduk, lehernya masih penuh cairan merah pekat, penuh jahitan. Kedua tangan bocah itu dipegangi oleh salah seorang dokter wanita agar Mars tidak menyentuh lukanya sendiri.
“Dia seharusnya bangun satu jam lagi. Bahkan obat bius tidak terlalu berpengaruh padanya,” ucap Shin menatap Ailee yang menutup mulut yang menganga dengan kedua tangannya karena melihat sang anak yang berdarah-darah. “Jangan khawatir, Bu. Anak Anda sehat.”
“Sangat sehat,” gumam Abraham dengan mata berbinar, “AN-E1 berhasil,” ucapnya lagi seakan tak percaya dengan apa yang tengah ia saksikan.
Shin menyunggingkan senyum miring, “Selamat atas penemuanmu, Mr. Wenzel. Andai ini adalah rumah sakit sungguhan, kau pasti akan segera diminta untuk membuat paper dan mengeklaim temuanmu ini. Sungguh, sekali lagi, selamat. Tapi jika anakmu tidak istirahat dengan baik, dia akan mati kehabisan darah atau AN-E1 akan merusak otaknya.”
“Apa?! Kalian pasti beranda! Tidak akan ada yang selamat dari tempat ini jika sesuatu terjadi pada anakku. Kalian berdua tahu, aku bersungguh-sungguh,” ucap Ailee, terlihhat mulai panik.
“Ya, Mrs. Smith. Kami sedang melakukan sesuatu.” Shin berjalan dengan cepat, memaksa pasangan suami istri itu mengikutinya, “Itu, akan menjawab masalah kita.” Shin menunjuk sebuah tube berbentuk tabung panjang dan dipenuhi cairan kehijauan yang sedang disiapkan oleh dua orang dokter yang keluar ruang operasi pertama kali. “Kau bisa menyebutnya, rahim buatan, healing chamber, cloning tube atau sebagainya. Penemuan favoritku, Genesis.”
“Apa kau akan memasukkan anakku ke dalam sana?” tanya Ailee.
“Untuk penyatuan AN-E1 dengan otaknya dengan baik. Ya. Harus. Mars harus beradaptasi dengan alat bantu itu kecuali kauingin alat bantu itu malah merusak sistem otaknya.”
“Demi Tuhan, Shin!” pekik Ailee.
“Kau tahu, Ailee, namaku ditulis dengan huruf yang sama dengan Tuhan,” kata Shin tersenyum lebar. Sedangkan, Abraham terdiam memandangi sang anak yang mulai dipindahkan ke dalam tabung Genesis itu.
Kau akan baik-baik saja dan kita akan pulang, Nak. Ayah janji.
***
Blub ... blub ...
Suara air?
Bukankah tadi aku tertidur? Aku masih menutup mata, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi, membedakannya apa yang sudah benar-benar terjadi dengan apa yang hanya terjadi di dalam mimpiku.
Tunggu.
Apa semuanya hanya mimpi semata??
Setelah paman Shin dan pasukannya berjubah hijau itu bilang, aku akan menjadi salah satu peneliti di sini dengan syarat aku mengizinkan mereka untuk melihat-lihat kemampuanku menahan kantuk. Awalnya aku merasa tersinggung karena merasa diremehkan, bateraiku tak cepat habis seperti milik kakek! Mereka menyuntikkan sesuatu ke tanganku dan beberapa saat kemudian aku tertidur. Itu berarti sepertinya aku telah gagal. Sedihnya ....
Tapi begitu aku bangun, kepalaku terasa ngilu, seperti ada sesuatu yang aneh tertancap di dalam sana. Rasanya gatal seperti saat disengat oleh serangga bangsawan berwarna kuning dengan sengat di ekornya. Tapi mereka bilang ‘Kau berhasil, Mars!” dan “Luar biasa! Tubuhmu sangat adaptif!” lalu mereka membawaku ke sebuah akuarium raksasa. Kemudian aku tidak dapat mengingat sisanya.
Ehm, rasanya agak susah bernapas.
Aku membuka mataku perlahan.
Buram. Di mana ini? Semuanya berwarna hijau. Apa mungkin aku berada di perut monster? Ataukah aku sedang terdampar di sebuah planet dengan langit yang berwarna hijau?
Saat aku menyadarinya, ada sebuah alat bantu napas yang berbentuk seperti cangkang kura-kura transparan yang terpasang di menutupi area mulut dan hidungku. Aku sempat coba menggerakkan tubuh, kemudian aku terhenti. Ada selang-selang berisi cairan bening terhubung ke kedua lenganku, memasukkan cairan misterius itu dalam kulitku. Selang-selang itu menahan pergerakanku. Dan berapa kali pun aku mencari, aku tak bisa menemukan di mana pangkalnya.
Berkat usahaku mencari pangkal selang itu berasal, aku jadi menyadari bahwa tubuhku sedang melayang dengan posisi terbaring. Ah, kurasa aku tengah berada di dalam akuarium raksasa tadi. Mungkin? Aku berusaha tetap bangun dan melihat bagaimana keadaan di luar kaca akuarium. Tak jauh dari tempatku berbaring, samar-samar aku bisa melihat beberapa mesin dengan lampu kecil menyala, kursi dan meja dengan kertas-kertas berserakan di atasnya. Sebuah ruangan. Kering. Ya, itu berarti aku sungguh ada di dalam akuarium raksasa tadi.
Di mana para pasukan berjubah hijau? Di mana paman Shin? Di mana Ayah dan Ibu?
Krieet ... blam.
Suara pintu terbuka dan tertutup. Aku mendengarnya samar-samar, disusul dengan suara gemerisik lainnya. Ada seseorang yang memasuki ruangan di mana aku berada!
Siapa itu?
Terdengar suara sebuah langkah kecil, sangat hati-hati. Semakin lama suara itu semakin mendekat. Kemudian aku mendengar suara terkesiap. Cairan hijau ini sangat mengganggu pandanganku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa yang datang, sampai kedua pasang mata kami saling bertatapan.
Dia berdiri di sana, di samping akuariumku. Seorang gadis kecil yang sepertinya seumuran denganku, berdiri tepat di akuarium di mana aku sedang berbaring. Matanya bulat, aku tak tahu pasti apa warna matanya namun pendar warna hijau dari kolamku mendominasi warnanya. Hidungnya kecil, bibirnya juga. Rambutnya hitam, dipotong seperti gorden tepat menutupi kedua alisnya. Meski disinari oleh cahaya kehijauan, aku bisa melihat warna kulitnya yang putih kekuningan, seperti adonan donat kakek.
Apa yang sedang dilakukan gadis itu di sini?
Ia berjalan ragu-ragu di sekitar akuarium sambil terus melihatku, terlihat sangat resah. Mulutnya kecilnya membentuk huruf o. Dan dari dalam sana mengintip dua gigi depannya yang kecil seperti kelinci. Gadis Penghuni Negara Matahari yang sangat imut dan cantik.
Ugh, debaran apa ini di dadaku?!
Setelah kiranya puas mengamati diriku yang tidak bergerak di dalam akuarium ini, wajah gadis itu terlihat kagum, sekaligus takut. Ia terus menatapku heran, mungkin aku terlihat seperti alien baginya. Aku mencoba menyapanya dengan tersenyum, kuharap tempurung kura-kura ini tidak menghalangi senyumku. Kemudian, kudengar dia bicara sesuatu, aku dapat mendengar suaranya, namun aku tak tahu apa yang sedang dia bicarakan. Mungkin bahasa Negara Matahari? Ah, sial. Aku ingin tahu! Dia terlihat sangat khawatir, aku ingin tahu apa yang sedang ia khawatirkan?
“Yu-ri!” ucapnya dengan mendekatkan wajahnya yang lucu ke arahku. Ia terus mengeja penggalan kata itu berulang kali sambil menepuk-nepuk dadanya.
Yuri ...?
Apa itu adalah namanya?
Kurasa ya, itu pasti namanya. Oke, kalau begitu, kini giliranku untuk memperkenalkan diri. Seketika itu juga aku baru sadar bahwa aku terlalu lemas untuk bergerak. Aku mencoba menggerakkan bibirku untuk mengucapkan namaku. Dan tentu saja percuma, tempurung itu menghalangi pandangan dan pergerakan bibirku hingga aku yakin, Yuri tidak akan memahami apa yang kumaksud.
Ah ... Aku ada ide!
Aku menempelkan ujung jari telunjuk ke ujung jempolku. Membuat bentuk bulat. Yuri mengalihkan pandangannya dari wajahku, kini ke gerakan tanganku. Gadis itu memiringkan kepalanya ke samping dan mengamati bentu yang kubuat dengan jemariku. Bagus! Kurasa ini akan berhasil. Lalu aku menunjukkan jari ke atas. Bulat yang ada di atas langit, planet. Bukankah ide ini luar biasa?
Yuri, Gadis Negeri Matahari itu mengamatiku dengan sedikit mengerutkan alis. Ia dengan sabar menatap wajah dan jemariku bergantian. Sepertinya sedang berusaha memahami apa yang ingin kusampaikan padanya. Oh, kumohon mengertilah. Aku tak tahu apakah ia benar-benar paham atau tidak, tapi gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya cepat dan memberiku tatapan yang entah mengapa terlihat begitu khawatir. Mungkin ... dia benar-benar paham? Ok, kalau begitu tinggal kode terakhirnya.
Kemudian aku mengangkat empat jariku. Empat. Planet ke empat. Mars. Namaku Mars. Apa kau mengerti? Di luar dugaanku, mata gadis itu tiba-tiba membulat. Perlahan tapi pasti aku bisa melihat air mata merembes dan tertahan di bagian bawah matanya. Ia menangis sesenggukan sambil meraba-raba kaca pembatas di antara kami dan matanya mencari-cari seperti sedang mencari cara untuk membuka akuariumku.
Apa?! Apa yang terjadi? Kenapa ia menangis? Apa aku baru saja melakukan kesalahan?
“お-お*ちゃんが。。。*すの?” Sial. Dia berbicara bahasa Matahari. “ごめん、ね。お*ちゃんを*して。。。!” katanya lagi. Napasnya pendek-pendek karena masih menangis. Dengan kedua tangan ia berusaha menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.
Aku menggelengkan kepala pelan sebisaku.
Aku tak mengerti maksudmu, Yuri.
Aku bahkan ragu apa benar namanya Yuri.
“Yuri-chan!!” teriak seorang lelaki, baru memasuki lab.
Yuri terjingkat kemudian terlihat panik. Wajahnya yang kebingungan membuat tingkahnya semakin menggemaskan saja. Yuri ragu-ragu melambaikan tangannya padaku, dengan wajah sedih. Kemudian ia beringsut dari tempatnya, menjauhi akuarium di mana aku tak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya pergi dan terus menemaniku di ruangan ini. Mataku tak bisa menjangkaunya lagi saat gadis Matahari Terbit itu menghilang begitu saja dari pandanganku.
Beberapa peneliti pria, yang seingatku ada di saat uji cobaku sebelum ini, memasuki ruanganku. Aku tahu salah satu dari para pasukan hijau teman paman Shin, itu bernama Takagi, yang satunya Yamato, mereka datang dengan wajah kesal dan tersengal. Apakah mereka datang untuk mencari Yuri? Salah satu dari mereka mengecek sesuatu di komputer yang berjejer beberapa meter dari tempatku berada, sedangkan yang satunya berjalan ke sana kemari dengan gusar. Aku mengamati seorang yang sedang sibuk di depan beberapa layar komputer. Ini benar-benar terlihat seperti tayangan film sci-fi di ruang observasi di markasku dan kakek.
Kakek ... aku merindukannya. Aku akan menceritakan tentang Yuri nanti kepada kakek setelah aku pulang. Sang Jendral mungkin bisa memberitahuku apa yang kira-kira dipikirkan oleh Yuri tadi; kenapa ia terlihat khawatir, atau kenapa ia tiba-tiba menangis.
Uh ... kepalaku begitu pusing.
Karena kelihatannya kakak-kakak peneliti itu tidak bermaksud untuk mengajakku bicara, aku memutuskan untuk kembali menutup mata dan lagi-lagi semudah itu jatuh terlelap. Sepertinya aku memang tidak akan lolos ujian masuk sebagai salah satu dari pasukan hijau yang dipimpin paman Shin. Ah, tak apa, kuharap, ketika aku bangun lagi, Yuri akan menemaniku lagi. Aku akan mencoba berbicara dengannya dipertemuan kedua kami nanti.[]