CHAPTER TWO

1895 Words
Di dalam ruangan bernuansa hijau muda, Falisa tengah duduk di kursi dekat jendela sambil mengusap-usap kepala kucing angora berwarna abu-abu yang meringkuk manis di atas pangkuannya. Fredy tengah tertidur nyenyak karena nyaman sang majikan mengusap puncak kepalanya tiada henti.  Falisa yang sempat melamun itu, terkesiap saat mendengar seseorang membuka pintu kamarnya. Elissa, wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu merupakan ibu Falisa. Sang ibu masuk ke dalam kamar putrinya, tersenyum saat melihat Falisa namun berubah sendu saat tatapannya tertuju pada koper besar yang sudah dikemas rapi di dekat ranjang.  “Apa kau benar-benar harus pergi?”  Falisa mengangguk antusias, “Kita sudah membicarakan ini kan, Ma. Aku akan bekerja di perusahaan tempat Yuuya bekerja.”  “Tapi, kau akan pergi ke London. Jauh sekali.”  Melihat kedua mata ibunya berkaca-kaca, Falisa segera menurunkan Fredy dari pangkuannya. Dia berdiri, melangkah menghampiri sang ibu dan memeluknya erat. “Aku janji akan sering menelepon.”  “Ibu khawatir kau tinggal sendiri di sana?” Falisa terkekeh, walau sebenarnya sedih karena dirinya tak terbiasa berjauhan dengan orang tuanya. Terlahir sebagai anak semata wayang membuatnya selalu dimanja oleh ayah dan ibunya. Falisa bahkan tak pernah bekerja sebelumnya karena dirasa kehidupan mereka mencukupi selama ini. Siapa sangka musibah ini datang dengan tiba-tiba, membuat Falisa menyadari inilah saatnya dia membantu orang tuanya.  “Aku tidak sendiri. Di sana ada Yuuya.”  Elissa tiba-tiba melepaskan pelukan mereka. “Kau akan tinggal serumah dengan Yuuya?” Kedua mata Falisa yang kali ini membulat sempurna, “Tentu saja tidak. Mana mungkin aku serumah dengannya. Kami belum menikah, kan?”  Elissa seketika mengembuskan napas lega, “Syukurlah. Mama kira hubungan kalian sudah sejauh itu.” “Jangan khawatir, aku akan mengingat nasihat kalian agar selalu menjaga diri dimana pun berada. Aku sudah dewasa, Ma. Jadi percaya saja ya, aku bisa menjaga diri.” Falisa tersenyum lebar, berusaha menularkan senyuman itu pada sang ibu. Namun gagal karena ibunya masih tetap memasang raut sendu.  Dengan gerakan pelan dan lembut, Elissa mengusap-usap puncak kepala putrinya. “Kau harus sering menghubungi kami di sini.” “Tentu,” jawab Falisa, cepat. “Kau juga jangan mudah percaya pada orang lain, terutama orang asing. Tidak semua orang memiliki hati yang baik. Kau ingat, banyak orang jahat di luar sana.”  Kali ini Falisa mengangkat jempol sembari mengangguk antusias.  “Jaga pola makanmu ya, jangan telat. Kau harus menjaga kesehatanmu di sana.” “Pasti, Ma.” “Apa pun masalahmu, jangan disimpan sendiri. Pastikan kau menceritakannya pada papa dan mama.”  Falisa tak menjawab, dia hanya merentangkan kedua tangannya ke samping lalu kembali memeluk ibunya. Di sinilah, dirinya yang pura-pura tegar, kini tak sanggup lagi bersandiwara sehingga dia biarkan airmata itu meluncur bebas dan membasahi bahu ibunya. “Aku akan merindukan kalian,” katanya lirih.  Dan pada akhirnya sepasang ibu dan anak itu menangis dalam diam, berusaha merelakan perpisahan mereka yang akan terjadi sebentar lagi.  Orang pertama yang melepaskan pelukan itu adalah Falisa, dia mengusap jejak airmata sang ibu di wajahnya yang mulai keriput dengan jari-jari lentiknya lalu tersenyum agar ibunya berhenti meneteskan airmata. “Aku titip Fredy ya, Ma. Akan kuusahakan sering pulang ke rumah.”  “Jangan mengkhawatirkan Fredy, tentu kami akan menjaganya dengan baik. Khawatirkan dirimu sendiri di sana. Kau akan tinggal di kota besar.” “Ya, ya. Baiklah, aku mengerti,” potong Falisa atau sang ibu akan terus menceramahinya. “Apa ibu datang untuk memberitahu Yuuya sudah datang?”  Melihat ibunya menghela napas panjang, Falisa tahu tebakannya tepat. Karena itu dia langsung menghampiri kopernya diletakan. Mendorongnya, bersiap untuk pergi. Sebelum melangkah menuju pintu, untuk terakhir kalinya dia melirik pada si kucing pemalas yang sedang meringkuk nyaman di atas kursi seolah tak peduli meski ini detik-detik perpisahan dengan sang majikan.  “Selamat tinggal, Fredy,” gumam Falisa dalam hati. Lalu tatapannya kini menelisik seisi ruangan, kamar tercinta yang selama dua puluh lima tahun dia tempati.  Falisa mengumpulkan tekad yang nyaris menciut, mau bagaimana lagi memang ini satu-satunya cara agar dirinya bisa membantu orang tuanya membayar hutang atau perkebunan mereka akan disita oleh pihak Bank. Falisa yang seumur hidupnya tak pernah bekerja itu akan mencoba peruntungan di kota London. Di perusahaan Luther Holdings Group seperti sang kekasih. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Ya, Falisa hanya bisa berharap karena baik dia maupun semua orang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti.    ***   Respon pertama yang diberikan Falisa saat dirinya berdiri di depan gedung pencakar langit berlantai 70 itu adalah melongo sekaligus takjub. Gedung yang sebentar lagi akan menjadi kantornya itu begitu megah dan berdiri kokoh di pusat kota London. Bahkan menara Big Ben bisa terlihat jelas dari sini, meski jaraknya cukup jauh.  “Ayo, masuk!”  Falisa terkesiap saat tangannya tiba-tiba digenggam seseorang, begitu menoleh dan mendapati senyuman ramah dari pria tampan keturunan Jepang di sampingnya, kegugupan Falisa menguap entah kemana. Falisa mengangguk, balas menggenggam tangan itu. Ya, dia tak sendiri. Ada Yuuya di sampingnya, jadi kenapa harus takut? Falisa yakin dirinya akan baik-baik saja dan semua akan berjalan dengan lancar.  Falisa semakin takjub saat masuk ke dalam gedung. Melihat orang-orang berjas dan berdasi yang hilir mudik. Tampilan mereka tampak rapi layaknya pekerja kantoran. Falisa menundukan kepala saat menyadari dirinya dan Yuuya menjadi pusat perhatian sekarang, mungkin alasannya karena mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Falisa bermaksud melepaskan genggaman tangan itu namun urung karena Yuuya semakin mempereratnya.  “Jangan pedulikan mereka,” bisik Yuuya seolah mampu membaca isi kepala Falisa. Semburat merah pun bermunculan di kedua pipi gadis itu, jika kekasihnya sudah mengatakan itu, mau bagaimana lagi, dia hanya bisa menurut dan pasrah.  Mereka berdua menaiki lift, Falisa tak bertanya ke lantai mana mereka akan pergi karena dirinya terlalu sibuk menormalkan degup jantungnya yang terasa menggila hanya karena kini satu lift bersama beberapa karyawan perusahaan ini.  “Pak Yuuya, selamat pagi.”  Kepala Falisa yang sejak tadi menunduk pun kini mendongak, memutar untuk melihat sang pemilik suara yang baru saja menyapa kekasihnya.  “Selamat pagi juga, Elin.”  Oh, wanita muda dan cantik dengan rok mini sepuluh centi di atas lutut itu bernama Elin. Wanita seksi yang secara terang-terangan melayangkan tatapan menggoda pada Yuuya tepat di depan Falisa. Falisa geram bukan main, dengan sengaja merapatkan tubuh pada Yuuya hanya agar wanita itu berhenti menatap lapar kekasihnya.  “Beib, kita mau ke lantai berapa?” Tanya Falisa, sengaja tentu saja. “Lantai 60. Ruang HRD ada di sana.” Seperti biasa, Yuuya menyahut dengan ramah. “Apa kau yakin aku akan diterima?” Kali ini Falisa berbisik teramat pelan, tak ingin obrolan mereka didengar orang lain. “Jangan khawatir, aku sudah merekomendasikanmu pada pihak HRD. Kau hanya perlu menjawab semua pertanyaannya. Ingat, jangan gugup. Katakan semua yang sudah kuajarkan semalam.”  Falisa menahan napas, sebelum memberikan anggukan dan kembali menunduk untuk menghilangkan kegugupannya.  Begitu lift mengantar mereka ke lantai tujuan, sepasang sejoli itu keluar dari lift. Yuuya menyuruh Falisa untuk duduk di depan sebuah ruangan bertuliskan ‘HRD ROOM’. Falisa gugup bukan main, menyadari sebentar lagi di ruangan itulah dirinya akan diinterview. Meski Yuuya sudah mengajarinya semalam, tetap saja dia tak bisa bersikap normal. Ingat, ini pengalaman pertama Falisa melamar pekerjaan.  “Beib, aku masuk ke dalam sebentar. Ada sedikit urusan.” Yuuya berpamitan sambil menunjuk ke arah salah satu ruangan yang berada tepat di samping ruang HRD. Ketika pria itu berniat melangkah pergi, langkahnya terhenti karena Falisa yang tiba-tiba menarik lengan jasnya. “Apa aku bisa mengambil minuman? Membuat teh hangat mungkin? Aku benar-benar gugup sekarang.”  Yuuya terkekeh, merasa lucu melihat kekasihnya yang biasa ceria, kini sepanik ini. Bahkan tangannya terasa begitu dingin dan berkeringat.  Yuuya menunjuk ke sebelah kanan dimana di sana terdapat lorong kecil dan ada pintu bertuliskan ‘Pantry’ di bagian ujung. “Di sana, kau bisa membuat teh hangat atau kopi.”  “Tidak apa-apa kan aku membuat teh di sana?” “Tidak apa-apa, santai saja. Nanti aku akan menyusulmu jika sudah tiba saatnya untuk interview.”  Falisa mengembuskan napas lega dan tanpa menunggu respon dari Yuuya, dia melesat pergi ke ruang pantry. Yuuya menggeleng, merasa lucu melihat tingkah pacarnya yang terkadang kekanakan.  Falisa sendiri kini sudah masuk ke dalam ruang pantry yang tampak terawat, begitu rapi dan bersih. Semua peralatan makan seperti piring dan gelas kecil tersedia di sana. Dan seperti yang dikatakan Yuuya, ada banyak jenis minuman karena ada beberapa lemari es tersedia di sana.  Falisa mengambil cangkir kecil beserta sebungkus teh celup. Terlalu fokus menuangkan air panas pada cangkir, gadis itu tak menyadari ada seseorang yang masuk ke dalam ruangan.  Orang itu berjalan menghampiri Falisa seolah ingin bergabung dengan gadis itu untuk membuat sesuatu. Falisa yang lega karena minumannya sudah jadi, berbalik badan dengan gerakan cepat hingga dirinya berbenturan dengan orang itu. Teh panas di cangkir meluncur dari tangannya dan mengenai jas mahal orang itu.  “Aduuh, dasar bodoh!” Umpat orang itu yang jika didengar dari suara baritone-nya yang berat, merupakan seorang pria.  Falisa yang syok itu pun mendongak untuk melihat wajah orang yang bertabrakan dengannya. Seketika gadis itu bagai membeku di tempat. Pria yang wajahnya memerah karena menahan emosi itu begitu tampan. Memiliki rahang tegas dan hidung mancung. Sorot matanya begitu tajam hingga Falisa merasa terintimidasi hanya dengan menatapnya.  “Kau ceroboh sekali. Lihat ini, jas saya jadi kotor.”  Falisa terkesiap, baru menyadari dirinya sempat mengkhayalkan hal erotis hanya karena menatap wajah pria itu. “M-Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja.”  “Kau pikir cukup dengan meminta maaf? Kau punya mata, kan? Pakai mata itu untuk melihat dengan benar!”  Falisa meringis, pria itu tampaknya marah besar padanya. Tatapan Falisa kini tertuju pada jas mahal pria itu yang memang kotor dan basah.  “Ck, mana mau ada meeting penting sebentar lagi.”  Sang pria masih mengumpat, merasa tak enak hati, Falisa mencoba mencari jalan keluar. Dia ingat membawa tissue basah di dalam tasnya karena itu tanpa ragu dia keluarkan. Falisa berniat membersihkan noda teh namun tangannya ditepis kasar sang pria.  “Mau apa kau?!” Bentak pria itu. “S-Saya akan membantu membersihkannya, Pak.” Pria itu mencibir keras, “Dengan benda itu? Yang benar saja. Jas saya bisa-bisa semakin kotor.”  Falisa panik sendiri sekarang, tak tahu harus bagaimana karena pria itu tak mau menerima bantuan apalagi permintaan maafnya.  “Kau dari divisi mana?”  Falisa tersentak, mulutnya terbuka untuk menjawab namun dikatupkan lagi karena suara pria itu kembali menginterupsi. “Saya belum pernah melihatmu. Apa kau karyawan baru?”  “I-Itu ... S-Saya ...” “Selamat pagi, Pak.”  Dan atensi dua orang itu teralihkan oleh suara seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Falisa mengembuskan napas lega karena sosok Yuuya-lah si pemilik suara itu.  “Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Yuuya yang menyadari atmosfir tegang di ruangan ini. Sang pria berdecak, “Oh, Yuuya. Tidak apa-apa, tidak ada masalah,” jawabnya, sebelum melenggang pergi begitu saja sambil melepas jas mahalnya yang kini tak bisa dia pakai lagi.  “Y-Yuuya,” panggil Falisa begitu si pria menghilang di balik pintu. Yuuya mengernyitkan dahi, tampak tak paham dengan kondisi yang terjadi di dalam ruangan.  “Pria tadi siapa?” Tanya Falisa. “Oh, dia ... Juan Mario Luther. CEO perusahaan ini.”  Falisa hanya mampu menegang di tempat, menyadari dirinya baru saja mencari masalah dengan orang paling berkuasa di perusahaan ini. Jadi, bagaimana sekarang? Falisa tak yakin dirinya akan diterima bekerja di perusahaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD