5. Kesepian

1151 Words
“Papah berangkat dulu ya sayang…” pamit Herman pada Zara yang masih menghabiskan sarapannya di meja makan. “Iya… ati-ati Pah…” jawab Zara singkat. “Kamu mau mulai berangkat kuliah kapan Nak?” tanya Herman yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana kain warna hitamnya. “Belum tau Pah… Zara masih pengen di rumah.” Jawab Zara. Berita mengenai kecelakaan pesawat yang nenimpa Ibunya sudah pasti telah menyebar di lingkungan kampus. Ia masih belum siap jika harus menerima berbagai pertanyaan dan ucapan belasungkawa yang mungkin akan mereka sampaikan karena Ia pun sebenarnya tidak mau mengingat hal itu. “Ya udah… kamu boleh berangkat kapan pun sampai kamu siap. Maaf ya Papah ngga bisa temenin kamu, Papah harus kerja. Kamu ngga papa kan di rumah sama Bi Inah?” Tanya Herman yang dijawab dengan anggukan kepala Zara. Herman mencium lembut kepala zara sambil mengusap punggungnya. Ia berjalan meraih tas kerjanya yang sudah Ia letakkan di atas meja ruang keluarga lalu menemui Bi Inah yang sedang menyetrika pakaian di ruang setrika. “Bi, aku berangkat ya Bi… titip Zara.” Kata Herman yang masih khawatir meninggalkan Zara di rumah sendiri. Hari ini adalah hari pertama Herman mulai bekerja. Sudah terlalu lama Ia meninggalkan pekerjaannya. Entah apa jadinya jika Ia meninggalkan pekerjaannya terlalu lama sedangkan Ia adalah pemegang kendali semua keputusan. “Iya Pak…” “Kalo ada apa-apa langsung telfon saya ya Bi…” pesan Herman sambil meninggalkan Bi Inah. “Iya Pak…” jawab Bi Inah cepat. Ia mencabut colokan setrikanya dan segera menemani Zara di meja makan. Dilihatnya makanan di piring Zara masih banyak, Ia baru memakannya beberapa suap dan sekarang Ia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil melamun. “Kok ngga dimakan Mba? Kasian itu nasinya…” kata Bi Inah sambil duduk di samping Zara. “Mau Bibi suapin Mba?” lanjut Bi Inah. “Ngga Bi… Zara udah kenyang. Bibi lagi ngapain?” “Tadi sih lagi nyetrika Mba.” Jawab Bi Inah. “Ya udah Zara mau ke kamar aja Bi.” Kata Zara sambil beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamarnya di lantai dua. Bi Inah hanya bisa mengelus dadanya sambil membereskan makanan di meja makan yang lebih sering bersisa. Hampir setiap hari Ia membuang makanan. “MasyaAllah… mau sampe kapan seperti Ini. Semoga Mba Zara dan Pak Herman selalu diberikan kekuatan, keikhlasan…” gumam Bi Inah sambil terus membereskan meja makan. Bi Inah berharap kedepannya semua bisa kembali normal seperti sebelumnya walau tanpa kehadiran Bu Diana. *** Zara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Setiap hari Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Entah harus berapa lama Ia bisa menerima kenyataan bahwa Ibunya sudah tiada. Bagaimana Ia bisa melanjutkan hidupnya jika nyawa di rumah ini sudah tidak ada. Sejak kepulangan Tante Rena, suasana rumah menjadi sepi, tidak ada teman bercerita, tidak ada teman berbagi. Sekarang hanya ada Bi Inah yang sibuk dengan pekerjaan rumah. Zara meraih remot televisi dan menyalakannya untuk menghalau rasa sepinya. Tapi setiap kali Ia menyalakan televisi selalu saja berita tentang kecelakaan pesawat dan pencarian korban, begitupun saat Ia mengganti saluran yang lain. Hingga akhirnya Ia mematikannya kembali dan melemparkan remotnya ke sudut tempat tidur. Hari ini adalah hari ke sepuluh sejak kejadian jatuhnya pesawat yang menewaskan Diana. Hari ini adalah hari terakhir pencarian korban setelah waktu perpanjangan selama tiga hari dan masih ada beberapa jasad korban yang belum ditemukan. Zara kembali teringat kebersamaan mereka malam itu. Mungkin Ayahnya telah mendapat firasat mengenai kepergian Ibunya hingga malam itu Ayahnya mengajak Ia dan Ibunya untuk makan malam, tak biasanya Ayahnya memesan begitu banyak menu makanan hingga tak sanggup mereka habiskan. Jika Zara tahu ini akan terjadi mungkin Ia adalah orang pertama yang akan melarang Ibunya untuk pergi. *** Herman memarkir mobilnya di depan ruko tiga lantai yang menjadi kantornya. Ia berjalan memasuki pintu masuk kantor yang disambut oleh security di depan pintu. “Selamat Pagi Pak…” sapa security dengan ramah sambil membukakakan pintu untuk bosnya itu. “Pagi Hasan…” jawab Herman sekedarnya. Tidak seperti biasa sosok Herman yang biasanya ramah dan selalu mengajaknya ngobrol atau sekedar menanyakan sesuatu kali ini terlihat dingin. Hasan pun memaklumi jika Bos nya itu masih dalam keadaan berduka. Herman langsung menaiki tangga menuju ruangannya di lantai dua. Ia tak banyak bicara hingga beberapa karyawannya pun merasa sungkan untuk menyapa terlebih dahulu. “Tiga puluh menit lagi ke ruangan saya ya.. “ kata Herman kepada Siska sekretarisnya sebelum Ia masuk ke dalam ruangannya. Herman meletakkan tas kerjanya di atas meja kecil di belakang kursi putarnya, pandangannya langsung mengarah pada sebuah bingkai foto berukuran kecil yang berdiri di atas meja kerjanya. Ia pandangi fotonya bersama Diana dan Zara yang diambil saat mereka pergi liburan ke Singapura setahun yang lalu. Kini tidak akan ada lagi momen kerbersamaan mereka bertiga. Hatinya mulai terasa hampa, ada rasa kosong di dalam hatinya. Entah harus bagaimana Ia merawat Zara seorang diri. Sebelum Diana pergi, Dia lah yang mengurus segala sesuatunya termasuk segala kebutuhan Ia dan Zara. Di dalam rumah Herman mungkin berusaha menjadi sosok yang tegar, demi Zara. Tapi siapa sangka bahwa hati Herman begitu rapuh sepeninggal Diana, bahkan mungkin lebih dari apa yang Zara rasakan. Air mata Herman kembali menetes di pipinya. Air mata yang sangat jarang sekali bisa Ia keluarkan dan saat ini begitu mudahnya keluar dari pelupuk matanya. Tok! Tok! “Masuk!” kata Herman dari balik meja kerjanya, cepat-cepat Ia menghapus air matanya. Krek! “Maaf Pak…” kata Siska sambil mendekat ke meja Herman. “Ada kabar apa selama saya ngga masuk kantor?” tanya Herman. “Ini Pak, beberapa Investor asing yang kemarin sudah menandatangani kesepakatan menanyakan kapan akan mulai direalisasikan. Kemudian proyek kita di daerah pondok Indah sementara dihentikan karena dana yang belum bisa dicairkan, dan ini ada beberapa berkas yang perlu Bapak tandatangani.” Kata Siska sambil meletakkan beberapa tumpukan berkas di atas meja kerja Herman. Selama Herman tidak masuk, Siska memang sama sekali tidak berani mengganggu Bos nya itu. Ia tahu Bos nya sedang dalam keadaan berduka, dan sudah pasti ditinggalkan dengan cara seperti itu membuat batinnya jauh lebih sakit dan bisa membuat trauma tersendiri. Herman mengecek berkas yang Siska letakkan di atas meja dan melihatnya satu per satu. “Tolong nanti kamu bilang sama Rama, sebelum jam makan siang kita cek ke lapangan untuk proyek perumahan Real Estate kita.” Kata Herman sambil menandatangani berkas tersebut. “Baik Pak.” Kata Siska cepat. Setelah semua ditandatangani Herman mengembalikan berkas itu pada Siska. “Saya permisi dulu Pak…” kata Siska sambil berlalu meninggalkan ruangan Herman. Herman menghembuskan napasnya agak kasar sambil bersandar di sandaran kursi. Semangatnya meredup. Titik-titik hujan mulai turun membasahi dinding kaca di sisi samping meja kerjanya yang semakin lama semakin membesar. Matanya mulai terpejam. Bayangan Diana kembali menghantui pikirannya. Terbayang bagaimana kekasih hatinya meregang nyawa dalam ketakutan. Membayangkan saja Herman tak sanggup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD