chapter 1
"Arsyiana beesera?"
Aku menoleh menatap rekan kerjaku. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kujelaskan.
" Kau pergi ke club ke?" Tanyanya bimbang. Kupelototkan mataku tajam. Clup? Jangan gila! Walaupun aku tidak begitu taat beragama tapi aku tidak akan menginjakan kakiku ke tempat-tempat seperti itu.
" Abang Dhean lihat dimana? Aku semalam dengan Raudah dirumah main gitar sampai pukul 11 malam. Mana mungkin lagi aku ke clup!" Bantahku mentah-mentah. Karena memang kenyataanya aku tidak pergi ketempat itu.
" Coba tengok_" Bang Dhean menyerahkan ponselnya, disana terdapat vidio gadis yang sangat mirip denganku dengan pakaian minim, mabuk dan menari-nari bebas. Aku memelototkan mataku lebar. Wajah gadis itu benar-benar mirip denganku. Apa aku punya kembaran?
" Tapi aku semalam beneran di dorm bang, lagian mana boleh dorm ngeizinin keluar malam-malam. Kan bates waktu mainnya pukul 9 malam!" Kuekuh ku. Bang Dhean
terlihat berfikir, dia lalu menganguk tanda dia paham dan dia mencoba percaya. Wajahnya tidak menujukan bahwa dia benar-benar percaya.
" Pantas semalam Abang tegur kau diam saja. Bahkan kau nampak tak tahu abang siapa. Sudahlah, mungkin abang salah orang" katanya sambil lalu. Dia kembali melanjutkan perkerjaannya. Tunggu, berarti dia semalam pergi ke clup?
Aku berkerja ditempat ini hampir 3 tahun lebih, tuntutan ekonomi membuatku mau tak mau harus pergi jauh dari keluarga. Tapi tak apa, toh disini aku bertemu teman-teman yang menjadi keluargaku.
Pulang kerja seperti biasa, berhenti di bus stop, berjalan beberapa meter untuk membeli sayuran, lalu berjalan lagi menuju dorm yang terletak tidak jauh. Membuka kamar, menyalakan kipas, menanak nasi dan kemudian mandi. Yah, hanya seperti itu hari-hari yang biasa kujalani. Terkadang aku pergi bermain keluar ketika hari libur.
Rasanya pasti enak jika sore-sore seperti ini membuat mie instan. Lagi-lagi mie instan? Dan nasiku? Biarlah, mungkin besok bisa dibuat nasi goreng.
Kuambil ponselku, tidak ada pesan. Baiklah, mungkin akan menyenangkan jika jalan-jalan. Toh besok hari libur.
Aku bersiap diri, mengambil paspor, Atm dan beberapa cash. Bergegas turun menuju loby dorm untuk meminta izin. Malam ini aku akan menginap dihotel saja. Toh besok hari minggu dan peraturan dorm sedikit longar dihari minggu.
" Bang Fal, mau izin. Mau jalan-jalan. Gak pulang" kataku pada security dorm. Bang Fal, dia lelaki paruh baya yang boleh diakui tampan, sayangnya sikapnya tidak setampan wajahnya. Dia terlalu dingin. Bahkan ketika aku menyerahkan kembali formulir izinku dia masih tidak memasang wajah senyum. Memang sudah tabiatnya juga jadi tidak perlu kaget.
Jarak lrt dengan dorm hanya 5 menit dengan berjalan. Lagi pula cuaca tidak terlalu panas, jadi kuputuskan untuk berjalan saja. Seraya bermain mendengarkan lagu yang kuputar dari handphone ku aku berjalan santai. Entah hanya perasaanku atau memang instingku bisa dibilang tepat tapi, aku merasa tidak aman. Tidak ada yang perlu dikawatirkan jalanan cukup ramai dan tidak mungkin seseorang akan melakukan kejahatan di sore seperti ini. Matahari masih tinggi.
Kehidupan dinegara ini lebih maju dari pada dirumah. Disini ketika kita hendak berpergian kita hanya perlu mengunakan sejenis kartu yang mana dapat digunakan untuk segala jenis kendaraan umum.
Tapi, aku tidak pernah berfikir bahwa tempat ini adalah tempat yang tepat untuk menetap.
***
" Kau kat mana?" Suara bang Dhean terdengar di voice mail pesanku. Aku engan membalas. Mungkin dia ingin mengajakku keluar ke starbuck atau kfc, atau mungkin macdonal. Beberapa hari ini dia sedang patah hati, pacarnya berkhianat dan aku menjadi tempat dimana dia menumpahkan segala keluh kesahnya.
Dia bercerita banyak hal, entah kenangan atau harapan. Tapi dia juga tidak tahu bahwa hidupku juga sangat menyedihkan. Aku bahkan berharap aku punya pacar.
Aku lebih suka menatap diriku dalam keramaian. Entah bagaimana menjelaskannya, ketika keheningan lebih nyaman daripada keramaian.
Aku sampai ditempat tujuanku, sekedar duduk di timesquare menikmati pemandangan yang sama sekali tidak menyejukan. Tapi tetap saja toh kupandang.
Lampu taman menghiasi dengan sangat epic, memberikan keindahan pada setiap mata yang memandang. Terasa menentramkan.
" miss, we have done in this town, we must go now before Ronald come here. We don't have much time right now__"
" you talk with me?" Tanyaku pada pria kekar nan menakutkan itu. Aku mengamati bangku tempatku duduk, tidak ada siapapun disini atau bahkan dibangku sebelahku. Hanya aku dan kurasa pria kekar tinggi ini memang berbicara denganku.
" Miss__ " sebelum dia kembali melanjutkan kata-katanya ponselnya berdering. Aku bergidik ngeri. Kulihat dia berjalan sedikit menjauh menjawab pangilan telefon. Bukan bahasa yang kupahami juga. Otakku segera berfikir, jangan-jangan ini penculikan? Aku sering mendengar berita tentang gadis hilang yang berujung diperdagangan manusia. Lagi pula aku tidak tahu siapa dia jadi lebih baik pergi saja.
Dengan bergegas aku kembali ke dalam mall. Segera masuk lift dan menekan lantai 20. Aku sudah memesan hotel disini. Sekelibat kulihat lelaki kekar itu tampak bingung mencariku. Tapi aku tidak mengenalnya, jadi lebih baik cari aman pergi saja bukan?
Kurebahkan tubuhku dan kulempar tasku sembarangan. Aku memainkan ponsel sebentar sebelum kemudian menghubungi Bang Dhean untuk memberi tahu dimana posisiku sekarang. Betapa beruntungnya ketika kuketahui bahwa dia juga sedang berada di Kuala Lumpur. Tidak jauh dari tempatku sekarang. Hanya 2 stasion kereta atau mungkin 10 menit berjalan.
Ding dong...
Suara bel pintu terdengar, aku melihat jam tanganku, pukul 9 malam. Aku belum makan malam dan tadi aku sempat memesan makanan pada resepsionis hotel. Mungkin dia petugas hotel yang mengantar makanan. Dengan malas aku berjalan dan membuka pintu.
Lalu setelahnya aku dibuat terkejut dengan pistol yang tertodong diatas kepalaku. Tubuhku membeku takut, tanpa sadar keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Siapa dia dan kenapa dia menodongkan pistol ke kepalaku?
" Finaly. Apa kabar b***h?" Katanya. Aku hanya diam. Pertama aku tidak mengenal dia dan kedua aku bukan p*****r.
Aku takut bergerak, karena kurasa pistol itu sunguhan. Bagaimana jika aku mati tertembak disini? Ditempat ini?
" Now, I asking you where is luis?" Tanyanya. Dia mengertak keras. Terlihat dari wajahnya dia benar-benar marah.
" I asking you back, who is Luis sir? I--"
" You won't tell me where she is? Fine, just let me play a litle game!"
Plak! Dia menampar wajahku keras. Aku terjatuh. Entah aku yang terlalu ketakutan sehingga aku tidak mampu merasakan sakit dari tamparan itu?
" What are you doing sir?" Aku hendak marah. Tapi dia kembali memukul perut dan menendang kakiku. Aku meringis kesakitan. Air mataku turun. Hal yang kuingat sekarang adalah bagaiman jika terjadi sesuatu dan adiku putus sekolah. Siapa yang akan membiayai orangtuaku. Ayah sedang sakit. Aku harus melarikan diri. Tidak jauh dari tempatku terjatuh ada meja. Dan diatas meja itu terdapat vas bungga dengan bungga mawar yang indah.
Kupukul pria itu dengan vas bungga yang berhasil kuraih. Lantas dengan segenap tenaga berlari menuju kamar mandi. Tepat sebelum pintu tertutup aku mendengar tembakan yang mengatakan bahwa itu tidak main-main. Pistol itu tentu saja asli.
Ponsel? s**t! Aku meningalkannya diranjang. Bagaimana aku bisa meminta bantuan tanpa ponselku?
" Ayo sweatheart. Kau tentu tidak akan main-main bukan. Ini bukan waktu yang tepat untuk bermain petak umpet. Kau beri tahu aku dimana Luis dan dapatkan hukumanmu. Jangan sampai tanganku kotor karena membunuh p*****r seperti mu!"
Aku menatap sekeliling kamar mandi, mencoba mencari celah. Ada kipas angin besar yang mengarah keluar dan itu bukan termasuk ide baik karena aku berada di tingkat 20. Kuputar otakku dan kulihat sebuah celah sempit, dengan tubuh kecilku aku mampu melewati celah itu tapi bagaimana aku tahu jika itu aman? Bagaimana jika itu hanya celah tak berbuntu? Aku kehabisan akal ketika kemudian pintu kamar mandi mulai didobrak. Segera tanpa berfikir lagi, kubuka penutup celah itu dengan tanganku. Beruntung mereka tidak memasang paku atau pun baut. Lantas mencoba memasuki celah itu. Muat! Aku merusak kipas angin besar yang mengarah keluar, membuat sebuah lelucon seolah-olah aku kabur dari celah itu. Lalu masuk ke celah yang dalamnya mungkin 1 meter. Setelah itu kututup kembali celah itu. Ini sepertinya bekas tempat pemanas air.
Hanya saja celah ini tidak mengarah kemanapun. Ketika kemudian pria itu berhasil mendobrak pintu, aku menahan nafasku, dia langsung terfokus pada kipas angin yang kurusak.
" s**t! " dia mengeluarkan ponselnya lalu menelfon seseorang. Sebelum akhirnya dia pergi.
Aku menahan tangisku. Setelah sepuluh menit dalam keheningan aku berlahan keluar. Entah kenapa instingku berkata bahwa tempat ini adalah satu-satunya tempat yang aman. Tapi aku butuh ponsel dan pasporku.
Dengan mengendap-endap aku hendak keluar dari kamar mandi. Hingga sebuah kesadaran mengingatkanku. Bagaimana jika ada cctv? Tapi ini hotel kelas atas? Bagaimana mungkin ada cctv di kamar hotel? Setelah mengumpulkan keberanian aku mengambil ponsel dan pasporku serta barang penting. Aku mendengar suara ribut-ribut diluar. Setengah berlari aku kembali menuju kamar mandi. Membiarkan pintu tetap tertutup tanpa terkunci seperti tadi dan segera menuju celah pemanas air. Membuat ponselku dalam nada diam dan kembali menahan nafas karena beberapa orang kembali masuk memeriksa kamar ini.
" fikirkan kembali ronald? Bagaiman mungkin dia memanjat dari lantai 20? Kau sudah hilang akal? " katanya dalam bahasa ingris. Aku hanya diam, mencoba menahan nafasku sebaik mungkin atau berusaha agar aku bernafas dengan sangat pelan.
" Kau tidak tahu siapa musuhmu nel? Dia mantan pasukan elit. Kau belum sadar siapa dia bukan? Bukan karena dia memiliki wajah yang hampir sama dengan gambaran wajah anak kecil itu sehinga kau harus melongarkan perhatianmu. Dan sekarang nyawa adikmu melayang!"
Mereka masih berdebat, dalam bahasa yang sunguh sama sekali tidak kupahami. Bahkan salah satu dari mereka memukul sebuah benda hingga jatuh, mungkin vas atau kaca karena terdengar seperti pecah. Aku membungkam mukutku, aku sama sekali tidak tahu seperti apa mereka. Tapi tentulah mereka bukan orang baik.
" Shut up guys, I found samething. Mayby you wanna see. Sekitar 15 menit lalu distasiun kerinci ada cctv yang menangkap gambar luis. Bergegaslah!" Itu suara perempuan. Terdengar angun tapi menakutkan. Oke, ini sedikit membuatku bingung tapi pastilah mereka salah orang. Apa aku harus melaporkan mereka kepolisi?
Terdengar langkah kaki mereka segera keluar. Saat aku hendak mengambil ponselku aku mematung mendengar suara perempuan itu masih disana.
" b***h! Dia merusak segala rencanaku!" Lalu suara dari sepatu hak tingginya berlahan pergi.
Aku menghela nafasku pelan. Setelah memastikan bahwa tidak terdengar suara apapun aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke Bang Dhean. Kukatakan padanya agar menjemputku dikamar hotel ini.
Dia melihat pesanku lalu berkata bahwa dia sedang dalam perjalanan. Aku masih setia menunggu dicelah sempit tempat ini. Rasa takut seandainya saja mereka kembali lagi membuatku mati-matian menahan pegal dikakiku.
Tapi siapa mereka? Aku bahkan tidak tahu apa yang tadi mereka katakan dalam bahasa asing. Bahasa itali mungkin, atau jerman? Dan ya Tuhan, ini gila! Pistol sunguhan?
Aku gemetar, hingga suatu suara menyentakkanku dari ketakutanku.
" Arsy.. kau kat mana? Woi.. Arsy?" Itu suara bang Dhean. Segera aku keluar dari celah sempit itu dan berlari menghampirinya.
" Kau kenapa? Disini terlihat berantakan?"
" Ayo pulang. Kita kembali ke slangor malam inu bang. Nanti kuceritakan dijalan menuju pulang. Dan pinjam jaketnya!"
Aku berjalan menuju keluar dengan bersembunyi di belakang Bang Dhean. Dia menatapku bingung dan aneh tapi untungnya dia membiarkan saja. Aku tidak chekout dari hotel. Lergi begitu saja toh semua tagihan sudah kubayar diawal. Hanya saja mungkin pihak hotel akan mencariku beberapa hari kedepan karena kamar yang berantakan dan Vas bungga yang pecah. Hanya itu yang rusak jadi sebagai tanda permintaan maaf aku menulis surat dan meletakan beberapa cash uang yang jumlanya tidak sedikit di kasur hotel.
" Kau kenapa?" Tanya Bang Dhean begitu kami sudah sampai di mobil. Dengan terengah-engah dan takut aku menceritakan semuanya dari awal keberangkatanku hingga tadi dia menjemputku.
" Kurasa, dia orang silap orang kot?"
" Memanglah meraka salah orang bang! Aku gak tahu siapa mereka. Mungkin gak sih aku punya kembaran? Aneh gak. Itu pistol beneran bang. Pistol! Lihat nih lengan ku, kepalaku bahkan perutku lebam dipukul sama orang itu tadi. Udah gitu mukulnya kayak gak ada perasaan sama sekali! Sakit tauuuu!" Gerutuku panjang lebar.
" Tak yang jadi masalahnya kalau kau memang tak tau dia orang kenapa dia orang boleh tahu kau. Lain macam nampak kau tu buronan lah! Tunggu...." dia terlihat berfikir tapi kemudian dia mengeleng pelan.
" Apa?"
" Kau ada kembaran tak?"
" Gak! Aku gak kembar!"
" Sudahlah, mungkin dia orang silap. Kita pulang lalu kompres tuh pukulan didahi kau tu. Tapi serius lah kau memang tak ada saudara kembar kan?" Tanyanya lagi memastikan. Aku kembali mengeleng.
" Gak ada. Seriusan gak ada kembar-kembaran aku tuh. Ih udah pukul 11 malam lagi. Belum makan mana dapat kejadian kayak gini segala!" Gerutuku lagi.
" Kau tak takut Ar?" Mendengar pertanyaan dari Bang Dhean yang seperti khawatir aku mulai menahan air mataku. Takut? Jelas saja takut. Bagaimana jika mereka berhasil menangkapku, atau membunuhku. Bagaimana nasip mayatku? Adikku? Orangtuaku?
Aku mulai menangis. Sungguh ketakutan yang kucoba sembunyikan sekarang keluar begitu saja dengan wujud air mata. Bang Dhean mengusap kepalaku pelan.
" Sudah tak apa. Kita dah aman. Lebih baik esok kau tak pergi kemanapun. Demi keamananmu juga kan" katanya menenangkanku. Aku menganguk lalu dengan kasar mengusap air mataku. Ini pertama kalinya aku menangis didepan Bang Dhean setelah hampir 3 tahun mengenalnya.
Lampu malam mengiringi kami menuju perjalanan pulang. Tepat pukul 1 dini hari kami sampai rumah. Bang Dhean memintaku untuk sementara tingal di apartmenya. Karena Bang Fal tentu tidak mungkin membukakan pintu gerbang drom di jam seperti ini. Tidak ada alasan untuk menolak juga mengingat di tempat bang Dhean cukup aman. Ada Bibi juga adik perempuannya. Dia bilang aku begitu mirip dengan adik perempuannya jadi sanggat mudah bagi kami untuk saling akrap sejak pertemuan kami.
***