Gadis musim semi itu tersenyum kecut. Pemandangan di depannya sungguh sangat tidak enak dilihat. Seharusnya dia memang sudah terbiasa, toh setiap hari juga selalu seperti itu. Gadis-gadis, baik yang sekelas maupun tidak, seangkatan atau tidak, pasti akan bergerombol di kelasnya. Tepatnya di depan pemuda itu.
Aiden Arsenio Hutama memang terlalu menawan. Tubuh tinggi tegap dengan wajah tampan yang tak pernah tersenyum. Pintar, anak tunggal salah satu pengusaha ternama. Jangan lupakan kulitnya yang putih bak porselen. Benar-benar seorang pangeran sekolah.
Airi Kirania, sang gadis musim semi, menghela napas. Keluar kelas sepertinya ide yang baik. Toh bel untuk masuk kelas lagi belum berbunyi. Lebih baik dia menghabiskan waktu di perpustakaan. Lebih bermanfaat daripada harus memelototi seorang Aiden dikerubuti puluhan gadis.
"Ke kantin ya, Ai?"
Airi menghentikan langkah. Dengan malas gadis itu menoleh. Siska seperti tidak mengenalnya saja. Dia memang gadis yang berisik, tapi tidak suka setiap kali kelas mereka ramai.
"Nggak." Airi tersenyum madu. "Aku mau ke toilet. Ikut?" tawarnya.
Siska bergidik. Senyum madu Airi sama saja dengan senyum beracun para koruptor di luar sana. Sama-sama menipu dan beracun, dapat mengakibatkan kematian.
"Ke toilet ngapain ngajak gue?" Siska menggerutu. Tatapannya kembali fokus pada segerombolan gadis yang meskipun tak pernah digubris sang idola tetapi tetap mendatangi. Siska menggeleng pelan. Dia juga sebenarnya merupakan salah satu dari gadis-gadis itu. Dia juga menyukai sang pangeran sekolah sama seperti mereka. Tapi dia tak ingin mempermalukan dirinya. Dia sadar, Aiden tak akan menoleh padanya. Sama dengan gadis-gadis itu yang tak pernah mendapatkan perhatian dari pemuda tampan itu.
Siska menoleh pada Airi dan menghembuskan napas menyadari sahabatnya tidak lagi berada di tempat. Airi yang cerewet sudah pergi entah kemana. Mungkin ke toilet seperti yang dikatakannya tadi. Siska berdiri, melangkah keluar kelas. Sepertinya dia akan mengikuti jejak sahabatnya. Kelas mereka terlalu bising.
***
Airi mengerutkan kening. Apa penglihatannya tidak salah? Aiden diperpustakaan? Kalau benar Aiden yang duduk di sana lalu siapa yang dikerubungi gadis-gadis di kelas mereka tadi? Airi memicingkan mata menatap pemuda yang sedang asyik membaca di sudut sana. Dan iya, penglihatannya tidak salah. Pemuda itu memang Aiden.
Penasaran, Airi berdiri. Melangkah menuju meja Aiden. Dengan percaya dirinya Airi duduk disalah satu kursi yang kebetulan tak terisi, kecuali kursi yang diduduki Aiden. Airi memanjangkan leher, mencoba mengintip buku yang sedang dibaca pemuda di depannya.
Aiden yang merasa terganggu menutup bukunya. Tatapannya datar tertuju pada gadis biang ribut di kelasnya.
"Apa?"
"Eh?" Airi berjengit. Tak menyangka kalau pemuda yang dijuluki pangeran es ini bicara padanya. "Kamu ngomong sama aku?" Airi menunjuk hidungnya.
"Emang ada orang lain di sini?"
"Ada!" Airi mengangguk polos. "Tuh!" Telunjuknya menunjuk beberapa siswa yang sedang mencari buku di rak. "Tuh juga!" Mulut Airi meruncing menunjuk meja yang tak jauh dari meja mereka. Beberapa siswa tampak sedang membaca di sana.
Aiden menghembuskan napas. Mata coklatnya memutar jengah. Dia tak pernah bicara dengan gadis manapun selama hampir dua tahun bersekolah di sekolah ini. Aiden selalu menghindari mereka. Dan Airi adalah gadis pertama yang disapanya. Itu pun karena Airi yang mendekatinya.
Bukannya Aiden tak mengenal gadis mungil di depannya ini. Dia sangat tahu siapa Airi. Gadis periang dan cerewet yang selalu membuat kelasnya berisik. Ada-ada saja kelakuan gadis itu. Yang pasti selalu mengundang keributan. Aiden berdecak.
"Tapi mereka nggak ngeliatin aku."
Airi memonyongkan mulutnya ke kiri. Kerutan muncul di dahi putihnya. Kentara sekali Airi sedang berpikir.
"Emang aku ngeliatin kamu?"
Aiden kembali berdecak. Mata bulat Airi sejak tadi memperhatikannya. Apa itu bukan melihat namanya?
Aiden berdiri. Telunjuknya terulur menyentil dahi Airi yang masih berkerut.
"Terserah kamu!"
Dan Aiden meninggalkan meja mereka setelahnya. Menyisakan Airi yang mengusap dahinya yang memerah samar akibat sentilan Aiden.
Senyum terbit di bibir pink alami Airi. Gadis itu meraba dadanya. Sebuah orkestra indah mengalun dari sana. Ya, Airi memang menyukai Aiden. Tapi tak ada yang tahu. Airi terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Aktingnya juga sangat hebat. Airi tidak pernah tersipu atau terlihat mencuri-curi pandang seperti yang sering dilakukan seorang gadis pada pemuda yang dicintainya. Dia juga bersikap biasa saja, tak pernah menunjukkan kalau dia sedang jatuh cinta. Sehingga tak ada seorangpun yang menaruh curiga padanya. Soal ketidaksukaannya pada gadis-gadis yang selalu mengerubungi Aiden sudah menjadi rahasia umum. Airi terkenal sebagai biang ribut yang tidak suka keributan.
Aneh?
Tentu tidak menurutnya. Karena Airi tak pernah ribut atau mengganggu kenyamanan kelas lain. Gadis itu selalu membuat onar di kelasnya sendiri. Membuat onar dalam artian positif tentu saja.
"Ai!"
Sebuah tepukan di bahunya mengejutkan Airi. Cepat gadis itu menoleh. Siska dengan beberapa buku di tangan berdiri di belakang kursinya. Mata Airi menyipit, bibirnya mengerucut.
Siska terkekeh tanpa suara melihatnya. Cepat gadis itu mengambil tepat di sebelah sahabatnya.
"Lo kesambet ya, kok senyum-senyum sendiri?" tanya Siska sambil membuka sebuah buku.
Airi menatap Siska horor, sepasang alisnya menukik. Sejak kapan sahabatnya ini di sini? Apakah Siska melihat interaksinya dengan Aiden tadi? Oh tidak! Airi menggeleng samar.
"Nggak!" Gelengan kepala Airi sekarang terlihat. "Aku nggak senyum kok." Airi mati-matian berusaha tampak jujur.
Alis Siska mengerut. "Masa sih?"
Airi mengangguk cepat.
"Tapi beneran deh tadi lo senyum..."
"Nggak!" potong Airi cepat. "Orang dari tadi aku ngeliatin orang-orang di sini kok." Gadis itu memasang wajah polos. Padahal meskipun tidak begitu, Airi tetap terlihat polos. Wajah baby face-nya selalu membuat orang yang melihatnya gemas.
"Ngapain lo ngeliatin orang-orang?" Siska tampak bingung. Alis gadis itu kembali mengerut. Siska mendekatkan wajahnya pada wajah Airi. Meneliti adakah kebohongan di wajah itu.
Airi menyipitkan mata, mendorong wajah Siska menjauh.
"Kamu yang nggak punya kerjaan!"
Siska tertawa kecil. "Lo gemesin sih, Ai. Boleh nyubit nggak?"
Mata bulat Airi melotot. Pipinya menggembung. Gadis itu membuang muka kesal, sebelum berdiri dan meninggalkan perpustakaan.
***
Aiden menatap gadis yang baru memasuki kelas itu. Hanya sekilas, setalahnya pemuda itu memalingkan muka. Papan tulis yang masih kosong lebih menarik perhatiannya.
Aiden menghela napas pelan. Bel masuk kelas baru saja berbunyi, tepatnya beberapa saat sebelum Airi memasuki kelas mereka. Disusul dengan teman gadis itu yang namanya tidak diketahuinya. Yang pasti Airi dan gadis itu bersahabat. Mereka tampak sangat akrab. Kemana-mana selalu terlihat berdua.
"Huwaaaa!"
Semua mata di kelas menatap ke arah Airi, kecuali Aiden. Pemuda itu terlihat menggeleng pelan. Pasti Airi akan membuat kehebohan lagi.
"Kenapa, Ai?"
Bima yang bertanya. Pemuda berbadan subur itu merupakan salah satu sahabat Airi. Itu yang diketahui Aiden.
"Nggak pa-pa. Cuman capek doang."
Terdengar cekikikan Airi. Juga hembusan nafas lega dari sahabat-sahabat gadis itu. Aiden memutar mata. Bisakah sehari saja Airi diam dan tak membuat keributan? Jawabannya sepertinya tidak. Gadis bertubuh mungil itu terlalu aktif.
"Jangan bikin cemas dong, Ai."
Kali ini Fendi yang bersuara. Pemuda itu juga terdengar berdecak. Pasti kesal karena sesi rayuannya pada Sari terganggu. Siapapun di sekolah tahu, kalau Fendi menyukai Sari. Tapi Sari menyukai Aiden.
"Bisa nggak berisik nggak sih, Ai? Caper banget sih lo!"
Kalau yang ini pasti Bella. Sejak awal bersekolah di sini, Bella sudah tidak menyukai Airi. Entah karena apa, Aiden tak tahu. Mungkin Bella merasa tersaingi, dia tak perduli.
Hanya ada satu hal yang sangat mengganggunya. Panggilan 'Ai' pada Airi. Kenapa mereka harus memanggil Airi dengan nama Ai, kenapa tidak yang lain saja? Ri misalnya. Lebih mudah kan? Dia juga tidak akan merasa terpanggil dengan panggilan itu. Berbeda dengan Ai, kadang Aiden mengira teman-temannya memanggilnya. Aiden berdecak kesal. Kenapa nama depan mereka hampir sama? Aiden dan Airi. Sama-sama diawali dengan Ai.
"Yang sirik diam aja."
"Nggak usah sirik deh, Bel. Bukan salah Airi kalo dia lebih famous dari lo!"
"Dih Bella, kebiasaan deh. Biarin aja napa? Sewot mulu sih lo!"
Aiden memencet pangkal hidungnya. Pusing dengan celotehan teman-teman sekelasnya yang rata-rata membela Airi. Sementara gadis itu tampak tak perduli, Airi malah asyik berbicara dengan gadis yang tadi masuk kelas setelahnya. Untung guru fisika mereka segera masuk. Kalau tidak, dapat dipastikan kelas mereka akan kembali seramai pasar.