Tia berjalan dengan gusar memasuki pintu berwarna putih, wajah yang memerah menahan emosi menahan amarah. Semua yang berada disana terlihat bingung, anak gadis yang sudah sering berlatih disini dan termasuk kesayangan pimpinan mereka saat ini, ya mereka tau Tia adalah anak yang dulu memimpin mafia terbesar di negara ini, pemimpin yang ditakuti, jadi tak heran jika gadis tersebut juga di hormati dan di segani.
Bugh.
Bugh.
Bugh.
Tia memukul samsak dengan sangat keras berulang kali, yang melihat bergedik ngeri, apa yang membuat gadis manis ini emosi segitunya. Dimas menuruni tangga, karena mendengar suara samsak yang begitu keras yang ia tahu pasti biang keroknya kalau bukan anaknya sendiri ya pasti anak dari sahabatnya.
"Kamu kenapa?" tanya Dimas ketika sudah di tangga terakhir, namun yang di tanyai semakin meninju samsaknya dengan saat keras.
Dimas menghela nafasnya, lalu berkata, "Stop tia!" Sedikit membentak, sebenarnya ia tak tega, namun apa daya sudah berapa kali samsak yang gadis itu hancurkan untuk emosinya.
Gadis tersebut menghentikan tinjuannya. "Tia kesel om!" seru Tia dengan raut wajah cemberut.
"Ya kenapa? Kesal kan ada alasannya?" tanya Dimas. Ia lalu berjalan ke arah sofanya untuk duduk santai
"Sini," lanjut Dimas, sambil menepuk sofa untuk mempersilahkan Tia duduk, gadis tersebut lalu menghampiri Dimas yang sudah ia anggap Om-nya sendiri.
Tia duduk di samping laki-laki yang sudah tidak terlihat muda tersebut. "Om cariin yang ngfitnah Tia, tapi cari aja ya," ucap Tia, Dimas yang mendengar hanya melihat lalu tersenyum miring, dan mengusap pelan rambut gadis tersebut.
"Sekarang?" tanya Dimas dengan tenang.
Gadis tersebut lalu mendongak ke arah Dimas. "10 menit dari sekarang," ujar Tia sambil menaikkan kedua alisnya.
"Baik. Yuda lacak orang dibalik fitnah keponakan saya," ucap Dimas.
Pria berbadan tegap yang berdiri di belakangnya lalu berkata, "Baik Tuan."
"Mau makan apa kamu?" tanya Dimas.
"Enggak mau ah, Tia mau balik. Jangan lupa telepon atau kirim email ya," cetus Tia, lalu ia melangkah pergi keluar tanpa memperdulikan Dimas yang sedang terpaku menatap bingung ponakannya.
"Sama aja kaya emaknya," gumam Dimas sambil menggelengkan kepalanya.
Sedangkan Tia kini melajukan mobilnya dengan kecepatan standar. 30 menit kemudian ia sampai di gerbang besar bertulis marga ayahnya, ia langsung memarkirkan mobilnya di garasi.
"Assallamuallaikum gais, Tiaaa bakil nih," ucap Tia ketika melangkah masuk ke dalam rumahnya.
"Eh non Tia sudah balik." Tiara jelas menoleh ke arah sumber suara yang ternyata Bibinya.
"Iya Bi, yang lain kemana?" tanya Tia.
"Tuan, Nyonya pergi ke spanyol Non, katanya Tuan besar sakit," ucap Bibu
"Tuan besar? Kakek dong," ujar Tia.
"Iya kakek Non sakit, katanya Nyonya sudah ngabarin Non lewat w******p," ucap Bibi, Tia lalu mengecek handphone nya, ternyata memang benar sudah banyak puluhan pesadan telepon yang masuk dari sang Ibu.
"Oalah iya Bi, ini aku baru ngecek soalnya tadi aku enggak sempat buka handphone."
Sang bibi hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Non mau di masakin apa?" tanya Bibi
"Nasi goreng aja Bi, Tia keatas dulu," balas Tia, lalu ia melangkah menaiki anak tangga. Ia lalu menaruh tas, dan handphonenya diatas meja ketika sudah berada di kamarnya. Langkahnya kini memasuki kamar mandi, untuk membersihkan badannya dari debu jalanan.
Drrt.
Drrt
Drrt.
Drrt.
Handphonenya terus berdering, ketika suara percikan air lagi membasahi tubuh gadis tersebut. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandinya setelah bersemedi dengan airnya, maklumlah namanya juga wanita ya pasti lumayan lama jika sudah mandi.
Drrt
Drrt
Ketika ia mau melangkah ke arah lemari bajunya, teleponnya kembali berdering, ia lalu mengangkat ketika tahu nama Om Dimas yang meneleponnya, tidak lupa ia menlaudspeaker.
"Astagaaa kenapa baru di angkat si."
"Abis mandi Om, kenapa?" Gadis tersebut sambil memilih baju di lemarinya.
"Ada apa ada apa, cek yang sudah Om kirim."
"Udeh ketemu emang?"
"Udah." Tia lalu melanglah kembali ke arah handphonenya ketika sudah memakai bajunya.
"Okeh Tia cek, jangan suruh yang lain ikut campur apalagi si Rega.
"Hm." Telepon mati secara sepihak, tanpa pikir panjang ia langsung mengecek pesan yang di kirim oleh Dimas, ia tersenyum miring ketika melihatnya
"Ternyata lu lagi yang main-main sama gue."
Suara ketukan pintu membuat ia menoleh ke arah pintu kamarnya. "Kenapa?" tanya Tia sedikit berteriak.
"Non nasi gorengnya sudah siap," balas Bibi di balik pintu.
"Iya Bi, Tia kebawah nih.". Sebelum ia kebawah, ia menelepon seseorang. Setelah itu ia melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga, harum nasi goreng buatan Bibi itu terenak setelah buatan sang ibu. Ia langsung menarik kursi, dan duduk untuk melahap nasi gorengnya, suara langkah dari arah pintu begitu terdengar apalagi dengan iringan ketawa yang menggelegar.
"Hahaha anjir emang kocak banget."
"Mukanya bener-bener malu."
"Gila ya Vn gue enggak nyangka loh."
"Berisik," cetus Tia, tentu saja itu menghentikan langkah kedua pria tersebut, dan langsung menengok kearah sumber suara.
"Yaellah De, enggak bisa apa lu liat abang lu ini bahagia," ujar Revan lalu melangkah mendekati sang adik yang sedang melahap nasi goreng.
Tia memutar bola matanya dan berkata, "Udeh tuh makan nasi goreng, Bibi buatin lebih."
"Wah makan nih."
"Dasar karung, di rumah Alex kan tadi makan lu," ujar Revan.
"Yaellah anjir, makan bakso doang," balas Rega. Kedua laki-laki tersebut lalu menarik kursinya dan duduk, tidak lupa ia menyendok nasi goreng di piring mereka.
"Lu berdua dari rumah Alex?" tanya Tia.
"Iya dong, dari rumah calon adik ipar gue," balas Revan, Tia yang mendengar langsung menyemburkan air yang ada berada di mulutnya ke arah Rega.
"Eh k*****t jorok banget lu. Si Revan yang ngomong gue yang di semprot," ucap Rega mendumel, sedangkan tawa Revan meledak melihat muka sahabatnya yang kena semprot.
"Yaellah maaf, gue reflek," ungkap Tia sambil tersenyum manis.
"Abisnya Bang Revan bikin kaget," lanjut Tia, lalu menyuapi kembali nasi goreng kedalam mulutnya.
Revan mengerutkan kening lalu bertanya, "Lah emang ada yang salah?"
"Gue juga ikhlas kalau lu sama dia," cetus Rega, Tia yang melihat melotot tak percaya. Pasalnya Rega tak gampang percaya sama orang, apalagi mengenai mendekati Tia.
"Eh bang Rey mana ini, kangen gue," ucap Rega.
"Lagi ke London." Rega yang mendengar hanya ber Oh ria saja mendengarnya, ia kembali melanjutkan melahap makannya
" De Bubu, Ayah mana?" tanya Revan ketika melihat tidak orang tuanya sejak masuk kerumah.
"Kakek sakit, makanya pergi," ujar Tia.
Dering telepon membuat kedua laki-laki tersebut menoleh ke arah Tia. Gadis tersebut lalu melihat untuk mengetahui siapa yang menelepon, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon yang ternyata dari abang pertamanya 'Abang Rey'
"Halo Bang."
"Kamu lagi apa?"
"Lagi makan aku sama Bang Rev dan Rega juga."
"Laudspeaker, abang mau ngomong." Lalu Tia menjauhkan teleponnya dari telinganya lalu menekan tombol laudspeaker yang membuat kedua laki-laki tersebut hanya menatap satu sama lain.
"Revan, Rega."
"Ehh iya Bang."
"Jaga Tiaa selama enggak ada gue, dan Bubu Ayah.
"Rega lu nginep, ntar gue bilang Om Dimas."
"Tap–"
"Uang jajan gue tranafer sekarang 2x lipat." Rega menatap ke arah Revan dan Tia.
"OKEH SETUJU." Rega tersenyum senang karena mendengar akan dapat uang jajan dari Reyfan.
"Gue juga kan Bang?" Jelas Revan tidak terima jika hanya Rega saja.
"Iya, semua termasuk Tia juga." Mereka bertiga saling menatap lalu mereka ber tos bersama.
"Oh iya enggak ada masalahkan di sekolah soal Tia?" Kini mereka bertiga diam mendengar pertanyaan dari Reyfan, mereka saling menatap, bahkan Tia koni menatap horor sambil jari telunjuk di bibirnya seolah bertanda untuk mereka menutup mulut.
"Halo."
"Rega, Revan jawab!" Tia menonaktifkan dulu tombol suara mereka.
"Gimana nih," ucap Rega.
"Lu jujur, habis sama gue," ucap Tia.
"Lu juga Bang," lanjut Tia sambil menatap nyalang ke arah Revan. Tia lalu kembali mengaktifkan tombol suara.
"Halo."
"Eh iya Bang, enggak ada ko Bang." Revan jelas harus berbohong kepada abang pertamanya, demi kebaikan juga
"Aman terkendali bang selama ada Rega."
"Okeh, gue percaya. Gue lanjut meeting dulu."
"Tia.
"Iya Bang, kalo ada apa-apa kabarin Abang. Dan jangan jauh dari pengawasan Revan dan Rega."
"Iya iya Bang." Hanya iya saja balasan yang harus ia ucapkan, abang pertamanya emang sangat over soal dirinya. Reyfan lalu mematikan telepon secara sepihak.
"Pokoknya besok lu kalau makan di kantin harus gabung sama kita," ucap Rega
Tia menyela, "Ih apaan si. Ogah."
"Eh gue enggak mau di gorok ya sama abang Rey," cetus Rega.
Tia menyelanya, "Bang Rey juga enggak bakal tahu."
"Lu pikir abang lu beloon! Dia pasti ada mata-mata," ujar Rega.
"Wah iya gue enggak mikir ke situ anjrot," sambung Revan.
"Lu kan beloon, beda sama Bang rey," cetus Rega. Sedangkan Tia hanya diam membisu, benar juga apa yang di bilang Rega.