Mobil berwarna biru tersebut memasuki gerbang sekolahana, semua sontak tahu mobil siapa itu. Revan sangatlah terkenal bahkan ada perubagan diwajahnya para fans fanantiknya jelas mengetahuinya hal tersebut, kendaran apapun yang dikenakan oleh Revan dkk pasti sangatlah mereka hafal.
"Kok Revan tumben bawa mobil ya."
"Eh itukan mobil Revan, udah lama dia enggak bawa."
"Kapan ya bisa dapetin Revan si cowok tampan terkenal kaya raya pula."
"Mimpi, Revan lihat kita aja enggak."
Bisikan-bisikan mulai bermunculan padahal mobil belum terparkir rapih. Revan menghentikan laju mobilnya lalu melepas seatbelt-nya namun ia melihat sang adik belum juga bergegas dan malah bengong. "Queen, are u okay?" tanya Revan, namun tidak ada sanggahan apapun dari adiknya.
"Tia."
"Queen." Berulang kali namun tetap gadis tersebut terdiam dengan mengalihkan pandangan kosongnya, hingga Revan menarik nafasnya dalam-dalam lalu memanggil, "QUEENNESA MUTIARA ARDIANSWIJAYA." Dengan sedikit lantang membuat Tia tersadar lalu menoleh ke arah sang abang.
"Kenapa Bang?" tanya Tia seolah tidak terjadi apa-apa.
"Lu kenapa? Gue panggilin dari tadi enggak di sahutin, ngelamunin apa si?" tanya Revan dengan penasaran, gadis tersebut terdiam lalu menyahut, "Enggak ngelamunin apa-apa kok Bang, ngantuk kayanya gue."
Laki-laki tersebut hanya memicingkan matanya menatap curiga ke arah adiknya yang tersenyum tipis. "Eh sudah sampai ya Bang? Kok enggak bilang si," kata Tia.
"Dipanggilin saja lu kaga nyahut," kata Revan, gadis tersebut lalu melepas seatbelt-nya lalu membuka pintu mobil untuk keluar. Semua yang melihat jelas berbisik sekaligus bertanya-tanya akan kemunculan Tia dari mobil Revan.
Revan menatap sendu ke arah sang adik yang mulai melangkahkan kakinya menjauh dari mobilnya. "Sebenarnya apa yang terjadi sama Queen si, enggak biasanya dia kaya gitu," gumam Revan yang kini keluar dari mobil dan menekan tombol kunci mobil.
Laki-laki tersebut melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya, dering telepon berbunyi membuat ia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponselnya. "Bang Rey? Tumben banget, kenapa nih?" tanya Revan ketika melihat layar ponselnya yang tertera nama abangnya.
Tanpa pikir panjang ia mengangkatnya.
"Hal–"
"Lu dimana?"
Revam sontak mengerutkan keningnya belum sempat menyelesaikan sapaannya abangnya sudah bertanya. "Di sekolah lah Bang, lu kira dimana lagi," kata Revan.
"Queen mana? Sekolah?"
"Ada, sekolah. Dia bareng gue kok. Lu pada kenapa si? Enggak Queen, enggak lu sama-sama aneh hari ini," jelas Revan sambil melanjutkan perlahan langkahnya menuju kelasnya.
"Woi!" seru seseorang sambil merangkul, Revan sontak melijat ternyata itu Rega dan Riko. "Telepon siapa si lu pagi-pagi, sok sibuk banget," ujar Rega sambil menaikkan kedua alisnya, Revan hanya menunjukkan layar ponselnya yang membuat mereka berdua hanya manggut-manggut sambil ber Oh ria saja.
"Emang Queen kenapa?"
Revan menyahut, "Queen sejak berangkat sekolah jadi pendiam banget, ngelamun mulu kaya mikirin sesuatu." Revan dapat mendengar hembusan nafas kasar abangnya yang semakib membuatnya bingung.
"Queen lagi gue diamin."
"Emang Queen ada salah Bang sampai lu diamin? Kasihan bang, gue nglihat kaya bukan Queen," kata Revan yang membuat kedua laki-laki tersebut menoleh satu sama lain penasaran.
"Semalam dia pulang larut malam."
Sorot mata Revan sontak tidak percaya akan apa yang diucapkan abangnya. "Hah? Serius lu Bang? Gue kira dia bakal pulang sebelum lu balik," kata Revan, Rega terdiam serata mengerti kalau gadis tersebut telah membuat kesalahan gara-gara prahara kemarin malam.
"Tapi Queen sudah minta maaf belum? Kalau sudah mending maafin, lu tahukan Queen kaya gimana, diamnya dia bikin semua orang sakit hati dan khawatir bang," jelas Revan.
"Iya, nanti gue jemput dia kalau sempat."
Revan menyahut, "Kabarin gue ya, biar dia enggak nunggu.". Rey hanya membalas dengan deheman saja setelahnya ia mematikan teleponnya secara sepihak, Revam menatap datar layar ponselnya sebelum akhirnya memasuklan kembali ke saku celana sekolahnya.
"Adik lu kenapa Van?" tanya Riko penasaran.
Revan menoleh sekilas lalu menjawab, "Tia balik malem, terus keduluan abang Rey. Jadi dia kena diam abang gue." Riko hanya ber Oh ria saja lalu manggut-manggut.
"Tapi emang ngaruh ke Tia?" tanya Riko.
"Lu lihat saja ntar gimana dia," balas Revan yang membuat Riko mengerutkan keningnya, sorot mata jelas semakin penasaran, sedangkan Rega hanya terdiam saja membuat Revan menatap curiga lalu mencetus, "Tia enggak sama lu kan Ga semalem?"
Rega langsung reflek menoleh dan menjawab, "Enggak, kan gue ada urusan Van. Tia juga enggak ngabarin gue." Revan hanya manggut-manggut saja tidak ada kecurigaan, karena Rega menjawabnya dengan sangat santai.
"Bary sama Alex mana?" tanya Revan.
Riko menyela, "Lagi otw katanya."
"Tumben banget, sengaja mau telat apa tuh mereka berdua?" tanya Revan ketika mereka sudah memasuki area kelasnya dan melangkah menuju kelasnya.
Rega menyela, " Lah selama ini mereka emang enggak pernah telat, kayanya kita aja bertiga kerajinan datang pagi."
"Deh iya baru sadar gue," kata Riko.
Revan menimbrung, "Lah gue mah bareng Tia makanya enggak boleh telat, bisa digorokk gue sama nyokap bokap kalau ngajak Tia telat."
"Jaga image depan keluarga ya Bund," cetus Rega yang membuat Revan kini menyengir sambil menaikkan kedua alisnya. "Biar uang jajan terus lancar," timpal Revan yang membuat kedua sahabatnya terkekeh mendengarnya.
"Waaahh gibahin kita ya lu bertiga." Suara tersebut jelas membuat mereka menoleh ke arah sumber suara yang ternyata Bary dan Alex.
Riko menyela, "Dih kita gibahin lu doang, Alex mah enggak ada yang perlu digibahin."
"Wah siyalan ku Ko!" seru Bary yang membuat mereka bertiga hanya terkekeh sJa mendengarnya.
Sedangkan di sisi lain Tia merebahkan kepalanya diatas kedua tangannya yang menjadi bantal. "Kenapa dia?" tanya Rayna yang baru datang dn melihat sahabatnya sudah dengan posisi tersebut.
"Kalau lu nanya gue, gue nanya siapa? Orang dari datang dia posisinya kaya gitu ye gak Rim," kata Siska yang membuat Rima hanya manggut-manggut saja, Rayna sontak mengerutkan keningnya menatap Tia sebelum akhirnya melangkah perlahan lewat belakang gadis tersebut untuk duduk di bangkunya.
Rayna meletakkan tasnnya tepat di atas mejanya, ia duduk menghadap ke gadis tersebut yang sepertinya tidak tertidur. "Ti, lu enggak papa? Atau lu sakit? Mending ke UKS saja deh," kata Rayna.
Rima menyela, "Kita sudah nawarin tapi doi enggak mau." Hingga dimana bell masuk berbunyi membuat gadis tersebut memposisikan dirinya duduk tegap membuat ketiga sahabatnya mengerutkan keningnya lalu menatap satu sama lain. "Lu kenapa si Ti?" tanya Siska berbisik.
"It's okay," jawab Tia dengan senyum tipis yang tidak dimengerti ketiga sahabatnya. Guru yang mengajar kini telah berada di dalam kelas dan memulai pelajaran, semua hening serata fokus mengikuti pelajaran. "Selamat pagi semuanya, silahkan buka halaman 25," ucap Bu Sri selaku guru yang mengajar pada kelas tersebut.
Semua kini mulai mengambil buku yang masih tersimpan di tas mereka, begitu juga dengan Tia namun beberapa detik kemudian ia menatap gelisah ke arah sahabatnya. "Kenapa Ti?" tanya Rayna sambil mengerutkan keningnya.
"Gue kayanya enggak bawa bukunya deh," ujar Tia dengan lirig membuat Rayna sontak melotot tidak percaya lalu mencetus, "Coba cari lagi, duh Ti." Tia mencari kembali bukunya di dalam tas, namun gelengan kepala dengan raut wajah sendu jelas tercetak membuat Rayna hanya menatap sendu.
Bu Sri yang berada di depan kelas sontak memperhatikan kedua muridnya mengobrol tanpa membuka buku yang ia suruh. "Rayna, Tia ada apa kalian ngobrol? Sudah buka halaman 25?" tanya Bu Sri dengan sedikit lantang membuat kedua gadis tersebut lantas menatap lurus ke arah sang guru.
Tia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangan membuat wanita paruh baya tersebut mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Ada apa Tia?"
"Maaf Bu, saya tidak membawa buku." Dengan nada sendu, ia menunduk bersalah. Guru tersebut terdiam sejenak membuat para siswa-siswi yang berada di kelas tersebut memperhatikan saja. "Baik, kamu boleh keluar berdiri 30 menit di depan kelaa setelah itu masuk kembali ke kelas," ujar Bu Sri yang sudah tidak heran lagi akan guru paruh baya tersebut.
Gadis tersebut tanpa penolakan sontak beranjak berdiri lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelasnya, ketiga sahabatnya hanya menatap sendu saja namun itu sudah aturan bago Bu Sri jika tidak ada yang membawa buku atau tidak mengerjakan tugas rumah. "Kita lanjutkan," kata Bu Sri seolah membuyarkan pandangan murid-murid ke arah Tia.
Tia berdiri tegap depan kelas, hingga waktu berlalu beberap menit membuatnya pegal dan menyenderkan tubuhnya di dinding tembol kelasnya namun sangat disayangkan Bu Sri melihatnya dan langsung menegur, "Berdiri yang benar, kamu sudah tidak bawa buku disuruh berdiri malah bersender." Gadis tersebut lantas kembali menegakkan berdirinya.
Tia terdiam menatap lurus dengan menahan pegel yang berada di kakinya. "Ketauan mending gue nyuruh tendang orang banyak dibanding suruh berdiri gini," gumam Tia sambil sesekali menggoyahlan kakinya agar tidak terasa pegal.
Hingga dimana waktu berlalu dengan sangat cepat, bell istirahat kini berbunyi. "Ti lu enggak papa?" tanya Siska.
"Enggak papa apanya, kaki gue masih berasa pegel anjirt," jawab Tia sambil memijat kakinya yang berasa pegel. "Lagi lu kebiasaan banget si lupa, jangan-jangan lu enggak bawa semua buku hari ini lagi," ujar Rima yang membuat gadis tersebut menghentikan sejenak memijat kakinya lalu mendongak ke arah ketiga sahabatnya.
Gadis tersebut langsung mengecek tas yang ia bawa, setelahnya ia bernafas lega lalu berkata, "Syukur gue bawa semuanya selain buku Bu Sri." Ketiga sahabatnya lantas menghela nafas leganya juga.
"Syukur deh lu bawa, jantungan gue kalau tiba-tiba lu bilang enggak bawa," kata Siska.
Rayna beranjak berdiri lalu berkata, "Yasudah diri, kita ke kantin. Laper gue."
"Ah iya, gue juga laper," sahut Rima yang lalu beranjak berdiri begitu juga Siska, sedangkan Tia masih terdiam duduk membuat ketiga sahabatnya memperhatikan dengan seksama yang membuat gadis tersebit akhirnya beranjak berdiri.
Mereka berempat lantas melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelasnya, namun raut wajah Tia tidak seceria biasanya semuan dapat merasakan dan melihatnya walau sesekali gadis tersebut tertawa dan tersenyum tapi mereka sangat tahu kepalsuan. "Mood lu lagi enggak baik kayanya Ti?" tanya Rima.
Siska menyela, "Apa lagi halangan? Tapi kayanya ini bukan tanggal lu deh." Ketika mengingat kembali sahabatnya tidak mungkin tanggal segitu halangan.