Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat.
"Apa? Menjual diri pada pria kaya?!"
Tenggorokan Clara tercekat. Ia terperanjat dengan saran yang baru saja rekan kerjanya sampaikan.
"Iya. Lagi pula kau masih perawan, bukan? Aku rasa, kau bisa mendapatkan harga yang sepadan atas keperawanan yang nantinya kau berikan. Kalau pun service mu memuaskan, kau bahkan bisa menjadi simpanan mereka."
Clara nampak gamang. Hatinya berontak, tapi keadaan memaksanya untuk segera berpikir cepat. Harus kah ia mengikuti saran gila yang sudah Rachel tawarkan padanya barusan.
Gila?
Tentu saja!
Menjual diri adalah perbuatan yang amat sangat gila. Tapi, sepertinya memang tidak ada jalan lain yang bisa ia pilih untuk mendapatkan banyak uang dalam waktu singkat.
Awalnya, tidak ada yang salah dengan kehidupan seorang Clara Winterborne. Ia hidup dengan amat sangat bahagia, penuh prestasi, berkecukupan dan juga kelilingi banyak teman.
Namun, malapetaka tiba-tiba muncul. Kedua orang tua Clara yang hendak berpergian harus mengalami kecelakaan yang amat sangat tragis hingga merenggut nyawa salah satunya.
Clara yang masih berumur dua puluh dua tahun harus memikul beban begitu berat. Ia mau tidak mau merelakan sang ayah; Joaquin Maximilian yang ia cintai pergi selamanya. Sedang sang ibu mengalami pendarahan otak begitu serius.
Lantas, apakah masalah hanya berhenti di situ? Tentu saja tidak. Justru ini semua jadi awal masalah yang membuat hidup Clara kian hari kian terpuruk.
Karena mengalami cidera yang amat fatal, ibunda Clara, Josephine Winterborne harus dilarikan ke rumah sakit Santa Monica dan menjalani banyak operasi. Bahkan, tidak sedikit uang yang harus Clara keluarkan demi menyokong pengobatan serta perawatan sang ibu yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit dan sampai detik ini belum juga sadarkan diri.
"Untuk pelaksanaan operasi ketiga, Anda harus menyiapkan dana sekitar sepuluh ribu dollar. Ini bahkan belum termasuk biaya rawat inap, therapy, dan juga obat-obatan penunjang sampai Nyonya Winterborne dinyatakan sadar dan sehat."
"A-apa, dok? Sepuluh ribu dollar?"
Kala itu, di ruangan salah satu dokter bedah syaraf, Clara langsung terduduk lunglai. Padahal, minggu lalu dirinya sudah membayar sekitar dua puluh dua ribu dollar dari hasil tabungan, menjual mobil dan beberapa perhiasan yang dimiliki kedua orang tuanya untuk membayar tagihan rumah sakit.
Sekarang, bahkan hanya tersisa rumah yang merupakan satu-satunya aset yang ia miliki. Dan tentu saja rasanya sangat berat kalau harus dilepas juga. Clara pikir, selain menjual rumah butuh proses yang amat panjang, ia mau ketika ibunya sehat nanti, paling tidak mereka masih memiliki tempat untuk bernaung atau ditinggali. Tidak masalah tabungannya terkuras habis. Yang penting ia dan ibunya tidak perlu luntang lantung di jalan atau kebingungan mencari tempat tinggal.
"Apa biaya ini bisa saya cicil, dok?" tanya Clara penuh harap. Kalau pun bisa, ia akan berusaha mencari pinjamam terlebih dahulu.
"Kalau dicicil, saya rasa tidak bisa. Tapi, kalau meminta keringanan berupa tambahan waktu untuk membayar, Anda bisa memberikan uang muka terlebih dahulu, sedang sisanya bisa dibayarkan setelah operasi selesai dilakukan."
Clara dengan susah payah berusaha mencari pinjaman. Ia bahkan sampai menebalkan muka, memberanikan diri untuk meminta bantuan kepada beberapa saudara dan juga teman dekat.
Walaupun dibantu, tetap saja jumlahnya jauh dari kata cukup. Karena mengalami kesulitan dan semuanya berpacu dengan waktu, Clara yang kepusingan menceritakan masalah ini kepada dua rekan kerjanya.
Maksud hati, ia ingin meringankan beban pikiran yang kini memenuhi otaknya. Tapi, siapa sangka, Rachel yang sudah dua tahun belakangan menjadi rekan kerjanya di Jewell Coffeshop, malah memberikan saran yang tidak biasa.
"Apa kau tidak waras sampai menyuruh Clara menjual diri? Apa tidak ada saran lain yang lebih masuk akal dan bisa kau tawarkan?"
Bella, rekan kerja Clara yang lainnya nampak murka. Ia jelas tidak setuju dan menganggap saran yang Rachel beri nantinya malah menjerumuskan Clara ke dalam lubang permasalahan baru.
"Oh, ayolah, Bella Swan. Kalau aku boleh tahu, apa kau punya saran lain? Apa ada cara mendapatkan uang dengan cepat dan singkat selain menjual diri atau menjadi simpanan pria kaya?"
Bella seketika terdiam. Walau amat sangat tidak setuju, ia sendiri tidak punya saran optional untuk membantu meringankan beban Clara. Zaman sekarang, semua serba susah. Dirinya bahkan harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kian lama kian mencekik.
"Aku rasa kau pun tidak punya saran yang bisa dibagikan kepada Clara, bukan?" ucap Rachel sambil tersenyum mengejek. Berpaling dari Bella, perempuan itu kemudian kembali mengedarkan padangan ke arah Clara. Menatapnya lekat. Mengunci kedua manik cokelat milik gadis itu, sembari berusaha untuk terus meyakinkan. "Lagi pula, menjual keperawanan dan menjadi simpanan orang kaya lebih masuk akal dan untung, ketimbang memberikannya secara cuma-cuma kepada pacar atau teman kencan, Clara."
Ucapan Rachel terdengar masuk akal. Sementara Bella yang berdiri di sebelah meja hanya menggeleng, memberi tanda agar Clara tidak termakan ucapan rekan mereka.
"Kau boleh menimbang atau memikirkannya beribu kali," lanjut Rachel memberi penekanan. Perempuan itu tersenyum santai seolah tidak ada beban. Padahal, barusan ia memberikan saran yang terbilang luar biasa. "Aku hanya memberimu masukan yang realistis. Dan perlu kau ingat juga, jangankan biaya pengobatan ibumu, seluruh masalah keuangan yang kau hadapi saat ini, aku pastikan akan terselesaikan dengan mudah."
Rachel kemudian menuang Coffe Americano yang sudah ia racik ke dalam cangkir putih yang sudah tersedia di atas nampan. Membawanya, lalu menyerahkan kepada Clara.
"Coba kau perhatikan tamu-tamu yang ada di coffeshop ini. Rata-rata semuanya berasal dari Las Vegas dan mereka semua adalah kalangan kelas atas." Rachel kemudian membawa telunjuknya, mengarahkan kepada deretan tamu yang kini memenuhi coffeshop tempat mereka bekerja. "Yang di sana, pria bertubuh besar yang ku perkirakan umurnya adalah empat puluh tahunan adalah seorang pemilik perusahaan jasa. Kalau yang di ujung sana, yang pakai jas maroon, beliau adalah salah satu petinggi di sebuah instansi pemerintahan. Sedang yang di sebelah kanan, yang sedang berbincang dengan seorang perempuan, dia terkenal genit dan suka gonta ganti pasangan, namanya Tuan Andrew. Dia direktur utama perusahaan properti. Kau tinggal pilih tertarik dan mau menggoda yang mana."
Clara lantas membawa matanya mengikuti ke mana telunjuk Rachel terarah. Memerhatikan satu per satu orang yang Rachel tunjuk sembari mendengarkan apa yang gadis itu terangkan kepadanya.
"Tapi, dari semua tamu, aku lebih menyarankan pria yang tengah duduk di sebelah sana," tunjuk Rachel ke pria lain yang kala itu mengenakan stelan jas dan tengah sibuk berbincang dengan rekannya.
"Maksudmu Tuan Nathanael Frost?" sahut Clara memastikan. Dirinya tahu benar dengan pelanggannya yang satu ini.
"Iya," angguk Rachel. "Dari semua tamu, dia yang paling rajin berkunjung dan singgah ke coffeshop kita. Dilihat dari tampang dan penampilan, bisa dipastikan kalau beliau tipikal pria perfectionist dan sulit sekali untuk didekati."
"Bukannya beliau sudah punya istri?"
Rachel mengangguk. Perempuan itu tidak menampik kenyataan yang satu ini.
"Ku dengar-dengar ia memang sudah menikah. Tapi, beberapa tahun belakangan memang hidup terpisah dengan istrinya yang ada di Belanda."
"Oh, ya?"
"Lagi pula, bukan hal baru kalau para pria kaya raya di luar sana menghabiskan uang mereka di Las Vegas untuk berjudi. Mereka bahkan banyak mengeluarkan uang untuk meniduri banyak wanita cantik."
Clara mengangguk. Masuk akal untuk penjelasan yang satu ini.
"Tapi, kalau beliau memang pria yang sulit, lantas kenapa kau malah memintaku untuk mendekatinya?"
"Dengarkan dulu penjelasanku." Rachel menatap serius. Mendekati Clara, ia berbicara lebih lembut. "Jadi, Daniel, asisten Tuan Nathanael sempat bercerita. Beberapa waktu lalu bahkan hingga saat ini, ia masih kepusingan merealisasikan permintaan Tuan Nathanael yang menginginkan seorang wanita untuk diajak tidur."
Clara menarik wajahnya. Seketika keningnya mengernyit karena heran.
"Apa yang susah? Bukannya di luar sana ada banyak sekali wanita berbagai macam tipe, yang bisa dibayar untuk diajak berkencan dan tidur bersama?"
Rachel mengangguk.
"Sayangnya, beliau mengajukan syarat yang tidak biasa. Beliau ingin wanita berpostur tinggi semampai. Memiliki rambut panjang yang tebal. Dan yang terpenting, masih perawan tapi profesional di atas tempat tidur."
Clara tertawa. Padahal, Rachel serius dengan ucapannya. Entah kenapa, soal syarat Nathanael yang temannya itu jabarkan terasa menggelitik telinganya.
"Bagaimana bisa seorang wanita yang masih perawan, tapi profesional melayani pria di atas tempat tidur? Benar-benar tidak masuk akal!"
"Sudah ku katakan, Tuan Nathanael ini memang agak berbeda dari kebanyakan orang. Hanya saja, justru ini peluang bagus untukmu, Clara. Kau bisa mencobanya. Tuan Nathanael bahkan bersedia membayar mahal kalau perempuan yang Daniel bawa ke hadapannya sesuai dengan kriteria yang ia pinta."
Lagi, Clara tertawa. Ia merasa, kalau Rachel hanya membuang waktu dengan mengajaknya bercanda. Bagaimana caranya ia bisa lolos perhitungan Nathanael, sedang salah satu kriteria saja tidak ia miliki. Clara yakin, walaupun berminat, dirinya pasti akan gugur sebelum maju berperang.
"Katakanlah tiga persyaratan utama bisa aku penuhi. Tapi, kau tahu sendiri aku masih perawan dan tidak tahu cara memuaskan pria di atas ranjang seperti apa. Konyol sekali saat nanti diajak berhubungan, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Jadi, bagaimana caranya aku bisa menarik perhatian Tuan Nathanael?"
Rachel mengulum senyum. Raut wajahnya menyiratkan kalau ia punya jalan keluar.
"Kau tenang saja. Aku akan membantumu."