Gelap ...
Cici berada di sebuah ruangan yang sangat gelap. Wanita yang tengah memiliki bayi berusia delapan bulan itu berjalan kebingungan di tengah kegelapan yang tengah menghampirinya.
Di mana aku? Gumamnya seraya memutar tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat.
Cici tidak bisa melihat apa pun selain dirinya sendiri. Semuanya gelap dan hitam. Atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang Cici hanya ada cahaya hitam tanpa ada satu pun pendar cahaya lainnya.
Wanita yang cukup penakut itu, terus berusaha menekan langkah tanpa ujung dan tanpa pangkal yang jelas.
Beberapa saat kemudian, Cici pun mulai menangis.
Ya Allah, aku ada di mana? Mimpi buruk apakah ini? Wanita itu semakin bingung dan tidak mampu lagi menahan isakannya. Cici terus berusaha mengedarkan pandang dan memerhatikan sekitar. Hitam dan hitam, hanya itu yang bisa ia lihat. Ia bagai manusia buta tanpa arah dan tujuan.
Cici tidak tahan, ia pun memejamkan mata dan berharap setelah sepasang netra itu kembali dibuka, ia akan kembali ke kamarnya seraya menatap Diva yang terlelap dengan manja.
Perlahan, Cici membuka mata. Yang terlihat masih sama, hitam tanpa ada sependar cahaya pun terlihat olehnya.
Ya Allah ... apa-apan ini. Perasaan semalam aku baca doa kok, kenapa jadi seperti ini? Cici terus bergumam.
Wanita itu pun mulai mencoba melafazkan beberapa ayat Al-qur’an yang ia hafal, khususnya ayat kursi. Namun usahanya sia-sia. Tenggorokan Cici terasa tersekat dan sulit untuk mengucapkan apa pun.
Bism—bismil—bis ... Ya Allah, mengapa aku tidak bisa membacanya. Bismillah—bis—bismillahirrahmanirra...hiim ...
Akhirnya Cici berhasil mengucapkan basmalah walau dengan susah payah. Seketika, sependar cahaya terlihat oleh netra cokelat pekat itu.
Cici pun kembali berusaha melafazkan ayat kursi. Sulit, sangat sulit. Lidah Cici seakan terkunci dengan sangat kuat sehingga tidak biasa mengucapkan kalimat yang sudah biasa ia ucapkan di lima waktu salatnya.
Ayat kursi gagal, Cici pun kembali mencoba membaca surah yang lainnya. Al—fatihah, kali ini surah itu yang jadi pilihan. Sekuat apa pun Cici berusaha, namun tak satu kalimat pun yang berhasil ia ucapkan. Cici seakan berperang dengan sesosok makhluk tak kasat mata yang tengah memegangi urat lehernya.
Aarrgghhh ... Cici mendengus kesal. Hampir saja ibu dari Reza dan Diva itu bercarut marut karena tetap gagal mengucapkan kalimat yang setiap saat ia baca di dalam salatnya.
Beruntung Cici masih bisa mengendalikan dirinya dan tidak sampai mengumpat apalagi bercarut marut. Cici berusaha tenang dan mencoba membaca surah lainnya. Dari mulai surah terpendek yang terdapat di dalam Al-qur’an hingga surah terpanjang yang ia hafal. Semuanya gagal ia lantunkan dengan sempurna.
Ketika ia mulai kalut dan kacau, Cici teringat dengan mendiang ayahnya. Cici terduduk, ia kembali menangis.
Ya Allah ... Papa ... belum pernah Cici mendapatkan mimpi seburuk ini sebelumnya. Apa yang harus Cici lakukan? Wanita itu terisak. Ia kebingungan di tengah-tengah kegelapan.
Perlahan, Cici merasakan ada yang mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Entah siapa yang sudah melakukannya, akan tetapi Cici merasakan usapan itu sangat lembut dan dilakukan dengan penuh kasih sayang. Cici membuka mata, perlahan cahaya hitam itu mulai memudar walau belum jelas sepenuhnya.
Cici kembali bangkit, ia dengan sekuat tenaga kembali mencoba membaca ayat kursi. Sulit, sangat sulit ... akan tetapi, Cici tetap berusaha. Wanita itu bahkan sampai berkeringat karena memaksa dirinya membaca ayat itu.
Kata demi kata berhasil ia baca dan dari setiap kata yang berhasil ia baca, seberkas cahaya mulai terlihat olehnya. Hingga Cici pun selesai membaca satu penuh ayat kursi, suasana yang gelap dan hitam berubah terang.
Cici mulai bisa melihat langit-langit kamarnya walau belum terlalu jelas.
Aku harus bangun ... aku harus segera bangun dari mimpi buruk ini, gumam Cici terus meyakinkan dirinya.
Cici berusaha membuka mata, kembali ia bisa melihat langit-langit kamarnya. Namun mata itu seketika terpejam lagi, seakan ada sebuah bongkahan batu besar yang berada di kelopak mata Cici.
Dalam kondisi masih bingung, Cici kembali berusaha membaca ayat kursi. Masih sulit, namun tidak sesulit sebelumnya.
Cici pun terus dan terus membaca hingga jumlahnya tidak bisa lagi ia hitung. Semakin lama, bacaannya semakin lancar. Sembari membaca ayat kursi, Cici pun berusaha membuka mata yang masih tertutup dan terbuka dengan sendirinya. Sulit bagi wanita itu terjaga walau jiwanya sudah sepenuhnya sadar dan menyuruhnya terjaga.
Semakin banyak Cici membaca ayat kursi, semakin panas rasa tubuhnya dan semakin deras keringat yang mengalir di dahinya. Tidak hanya di dahi, Cici juga merasa keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya tidak terkecuali bagian penting dari tubuhnya yang terus merasa panas di bawah sana.
Tidak lama ...
Cici pun terbangun, ia seketika terduduk.
Cici menoleh ke arah kiri sebab di sebelah kiri ranjangnya terdapat sebuah cermin besar yang menempel pada meja rias. Cici dapat melihat jelas, keringat mengucur deras di wajahnya hingga air asin itu masuk ke dalam mulutnya.
Cici segera menyeka keringatnya. Tubuhnya pun terasa basah, padahal kipas angin di dalam kamar itu dalam kondisi menyala dan posisi kecepatan sedang.
Dalam keadaan deru napas yang belum stabil sepenuhnya, Cici pun menoleh ke arah samping kanan. Diva masih terlelap dengan nikmat. Sesekali bayi delapan bulan itu tersenyum, sesekali cemberut. Hal yang biasa terjadi ketika bayi tengah terlelap.
Kemudian Cici pun menoleh ke sebelah kiri, tempat di mana Sandi biasanya terlelap seraya memeluknya.
Kosong ...
Tidak ada siapa pun di sisi kiri Cici. Ruang itu kosong, bahkan selimut Sandi pun tidak ada di sana.
Ke mana bang Sandi? Apa ia tidur di kamar Reza lagi? ada apa dengan bang Sandi belakangan ini? Mengapa ia sering tidur di kamar Reza dan membiarkan aku dan Diva tidur berdua di kamar ini?
Cici mulai bergulat dengan pikirannya sendiri. Wanita itu kebingungan dan penasaran.
Cici mencium kening Diva sesaat sebelum memutuskan untuk turun dari ranjang. Ketika Cici masih terduduk di tepi ranjang, ia melabuhkan pandang ke arah jam dinding bulat yang tergantung manis di salah satu sisi kamarnya. Jarum jam itu menunjukkan pukul dua malam. Masih sangat malam, pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Cici pun berdiri dan berniat keluar dari kamar. Namun, baru saja tangan kanan Cici menyentuh gagang pintu, ia merasa ada udara dingin menyentuh tengkuknya.
Astaghfirullah ... gumam Cici dan segera melabuhkan pandang ke arah Diva. Bayi kecil itu masih saja terlelap dengan nikmat.
Cici menarik napas lega. Ya Allah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu penakut. Seharusnya aku tidak boleh penakut seperti ini. Untuk apa aku takut dengan hal yang belum tentu nyata? Cici berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Tanpa berpikir lagi, Cici pun mulai membuka pintu kamarnya. Rumah itu terasa sangat sepi, kembali bulu kuduknya bergidik. Namun Cici yang memang seorang penakut, berusaha sekuat tenaga melawan rasa takutnya. Ia dengan cepat bahkan nyaris berlari, masuk ke dalam kamar Reza.
Dugaan wanita itu benar, suaminya ada di sana. Tertidur dengan lelap seraya memeluk guling dengan mesra.
Cici berusaha membangunkan, “Bang ... Bang ....”
Sandi tidak menanggapi. Pria itu malah semakin erat memeluk gulingnya.
“Bang ... bangun, Bang.”
“Hhm ...,” gumam Sandi sesaat, lalu kembali memeluk gulingnya dengan erat.
Sepertinya bang Sandi sangat lelah hingga sulit untuk terjaga. Aku ke kamar mama saja, gumam Cici lagi seraya keluar dari kamar Reza dan berjalan dengan cepat menuju kamar ibunya.
Beruntung, Yeni tidak pernah mengunci kamarnya kecuali ketika mengganti pakaian.
Cici masuk dan mendekati ibunya yang tengah terlelap.
“Ma ... mama ....” Cici berusaha membangunkan Yeni.
Yeni yang memang tidak pernah tidur seperti orang mati, langsung terjaga ketika Cici mengguncang tubuhnya dengan lembut.
“Cici, ada apa ke sini tengah malam begini?”
“Ma, Cici boleh tidur di sini ya malam ini? Cici akan bawa Diva ke sini?”
“Lho, memangnya ada apa? Ada masalah lagi dengan Sandi?”
Cici menggeleng, “Tidak!”
“Lalu, kenapa? Memangnya sandi kemana?”
“Bang Sandi tidur di kamar Reza.”
“Kok bisa? Memangnya apa yang sudah terjadi dengan Cici dan Sandi?”
“Tidak ada apa-apa, Ma. Mungkin bang Sandi tidak nyaman sebab belakangan Diva memang sering rewel di malam hari.”
“Lalu, kenapa Cici minta tidur di sini?”
“Nggak tahu, Cici tiba-tiba saja jadi takut. Barusan Cici mimpi buruk. Lihat, tubuh Cici sampai basah karena keringat. Padahal kipas angin nyala lho.”
“Memangnya Cici mimpi apa?”
Cici menggeleng, “Pokoknya mimpi aneh. Nanti dech Cici ceritakan. Cici bawa Diva ke sini ya, Ma?”
“Iya, Nak. Bawa saja.”
“Cici jemput Diva dulu. Tolong mama jangan tidur dulu. Mama duduk saja di sini. Tidak perlu temani Cici, tapi pintunya jangan ditutup dan mama jangan tidur dulu,” jelas Cici. Wanita itu tampak sangat ketakutan.
“Iya, Nak.”
Cici tersenyum. Ia pun membuka lebar pintu kamar ibunya. Dengan cepat, ia mengangkat tubuh kecil Diva dan membawanya masuk ke dalam kamar Yeni.
“Tidurkan Diva di tengah-tengah,” perintah Yeni seraya menepuk lembut ranjangnya.
“Iya, Ma.” Cici menidurkan putrinya di tengah-tengah ranjang.
“Ma, sebaiknya mama tidur lagi aja. Besok saja Cici ceritakan mengenai mimpi buruk Cici malam ini.”
“Benar, kamu tidak mau cerita sekarang?”
Cici menggeleng, “Tidak, Ma. Terlalu menyeramkan.”
“Ya sudah, tidur saja dulu.” Yeni membelai lembut kepala Diva dan mencium kening bayi delapan bulan itu dengan sayang, sebelum memejamkan kembali matanya yang masih mengantuk.
Tidak lama, Yeni kembali terlelap. Sementara Cici masih belum bisa memejamkan mata sebab masih terngiang mimpi buruk serta hembusan dingin yang menerpa tengkuknya. Cici hanya bisa menatap langit-langit kamar seraya terus membaca ayat kursi tanpa henti hingga netranya terpejam dengan sendirinya.
Sementara di tempat berbeda, seseorang mendengus kesal seraya menatap foto yang ada di tangannya.