***
TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA
***
GUBRAK!!
WUUSHHH!!
PRANK!!
Sicilia yang tengah tertidur dengan lelap di kamarnya, dikejutkan dan terjaga oleh bunyi-bunyian aneh yang berasal dari jendela kamarnya.
Astaghfirullah ... apa itu?
Sicilia masih bergumam dalam hatinya tanpa membangunkan Boysandi—suaminya—yang tengah berbaring disampingnya.
Sicilia yang masih terkesiap, melihat jam dinding yang terdapat di dalam kamarnya. Jam itu masih menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari.
Masih setengah tiga, lirih Sicilia dalam hatinya. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya dan berupaya untuk memejamkan mata. Namun, baru saja mata itu terpejam,
GUBRAK!!
Sicilia kembali mendengar suara riuh dari luar kamarnya.
“SIAPA DI SITU?” Teriak Sicilia ketika melihat jendela kamarnya bergoyang-goyang.
“Bang ... bangun, Bang. Ada seseorang di luar kamar.” Sicilia mengguncang tubuh suaminya.
Sandi pun bangun dengan malas, “Ada apa? Siapa yang ada di uar?”
“Aku nggak tahu, Bang. Ada seseorang di luar. Orang itu sudah menggedor jendela kamar kita.”
Walau matanya masih berat, namun Sandi tetap bangkit dan mengambil sesuatu dari dalam laci lemari pakaian. Ia mengambil sebuah pisau lipat kecil yang memang sudah ia persiapkan untuk berjaga-jaga atau hanya sekedar melindungi diri dari mara bahaya.
“Bang, hati-hati,” lirih Secilia seraya mengikuti suaminya ke luar kamar.
“Kamu di sini saja, jangan ikut keluar, tolong jaga anak-anak.”
“Tapi kamu?” Sicilia mengkhawatirkan suaminya.
“Aku tidak akan kenapa-napa, percayalah.”
Sicilia mengangguk dan mulai masuk ke dalam kamar anaknya.
“Cici, kunci pintunya dari dalam,” lirih Sandi sesaat sebelum keluar rumah untuk melihat situasi.
“Ta—tapi?”
“Sudah, dengarkan saja perkataan abang, jangan banyak tapi-tapian.”
“I—iya ....”
Sicilia pun pasrah. Ia mengikuti semua perintah suaminya. Ia kembali masuk ke dalam kamar anaknya dan mengunci pintu itu dari dalam. Sicilia yang biasa dipanggil Cici, terus berdoa di dalam kamar itu. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.
Tidak lama, Sandi kembali dan mengetuk pintu kamar anak-anaknya.
“Cici ... buka pintunya.”
Sicilia langsung bangkit dan melihat suaminya dalam keadaan baik-baik saja. Ia bersyukur.
“Abang tidak apa-apa? Abang melihat seseorang?”
“Tidak ada siapa pun di luar. Apa Cici yakin melihat seseorang?”
“Cici nggak lihat orangya, Bang. Tapi yang pasti, jendela kita berguncang dan bergerak. Cici takut.”
Sandi memeluk istrinya, “Ya sudah, tidak ada apa-apa di luar. Sebaiknya kita kembali tidur.”
“Abang sudah pasang grendel pintu?”
“Sudah, Sayang ... ayolah kita kembali tidur, tidak ada apa-apa di luar sana. Besok pagi, akan abang selidiki lagi.”
Sicilia mengangguk, “I—iya, Bang.”
Itulah teror pertama yang dialami oleh Sicilia dan Sandi. Seperti apa teror-teror selanjutnya? Jangan lupa, tetap ikuti kisah ini.
-
-
-
-
-
Pekanbaru, tahun 2010.
“Aaahhh ... ya Allah, sakit ....” Sicilia putri yang biasa dipangil Cici, tengah berjuang melawan rasa sakit yang terus mendesak di bagian bawah perutnya. Wanita dua puluh dua tahun itu akan melahirkan anak pertamanya.
“Cici ... sudah sakit lagi ya?” Santi terus mengusap punggung adiknya dan terus menyemangati adik perempuan satu-satunya itu.
“Iya, Kak. Sakit sekali.”
“Sakitnya sudah berapa menit sekali?”
“Satu sampai dua jam-an,” jawab Cici seraya memegang perutnya yang sudah membuncit sempurna.
“Berarti masih belum bisa kita bawa ke rumah bidan.”
“Tapi ini sudah sakit sekali, Kak ....”
“Bayi Cici sedang mencari jalan untuk keluar. Sabar ya ....” Santi tetap berusaha menyemangati adik bungsunya dengan sabar.
Tidak lama, Herman—suami Santi—datang memberikan segelas air untuk adik iparnya, “Cici, silahkan diminum dulu.”
“Te—terima kasih, Bang.” Sicilia mengambil air itu dan menenggaknya hingga habis.
“Nak, apa Cici sudah menghubungi Boysandi?”
“Sudah, Ma. Bang Sandi akan berangkat besok pagi ke sini.”
“Ya Allah ... semoga sja Sandi datang tepat waktu.”
Herman memerhatikan ibu mertuanya dan Cici dengan tatapan tidak senang. Setiap nama Boysandi disebut, Herman merasa selalu ada yang bergemuruh di dalam dadanya.
“Bagaimana si Sandi itu, istrinya sudah kepayahan, ia masih saja betah di luar sana.” Herman mengomel, ia sengaja sedikit mengeraskan suaranya.
“Kak, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Sandi pergi jugakan untuk bekerja.” Santi menyela perkataan suaminya.
“Bela saja terus si Sandi itu. Nanti terjadi apa-apa dengan istrinya, baru ia akan menyesal.” Herman menekan langkah kasar meninggalkan Santi, Cici dan Yeni—ibunda Cici dan Santi—di ruang keluarga rumah Cici.
Ya, semenjak Cici mulai kepayahan, ia meminta kakaknya untuk tinggal bersamanya. Santi dan Herman bersedia. Sudah dua minggu Santi dan Herman tinggal di rumah Cici untuk menjaga wanita itu. Sementara Boysandi—suami Cici—masih belum kembali dari luar kota karena bekerja.
“Sekarang bagaimana? Sudah hilang sakitnya?” tanya Santi, lagi.
“Iya, sudah hilang, Kak.”
“Coba kamu bawa tiduran saja. Mudah-mudahan sakitnya bisa hilang. Besok pagi, mama akan bawa ke rumah bidan May.” Yeni mencoba menghibur putrinya.
Cici mengangguk, “Iya, Ma.”
Wanita dua puluh dua tahun itu pun berjalan dengan langkah berat menuju kamarnya. Cici sengaja tidak menutup pintu kamarnya. Alasannya, agar santi atau siapa pun bisa dengan cepat memberinya pertolongan ketika ia butuhkan.
Dalam posisi berbaring, Cici meraih ponselnya yang ia letakkan di atas ranjang di dekat kepalanya. Ia sengaja meletakkan ponsel di sana agar mudah untuk diambil ketika dibutuhkan.
Dengan cepat, Cici mencari nama seseorang. “Bang Sandi”, nama itu terpampang di layar ponselnya. Cici pun mulai menghubungi suaminya.
Satu kali panggilan itu diabaikan. Ke dua kalinya juga masih diabaikan. Yang ke tiga, barulah panggilan itu terangkat, “Cici, ada apa?”
“Bang, abang harus segera pulang sekarang. Sepertinya Cici sudah mau lahiran, Bang ....” Cici memelas. Suaranya begitu lirih sebab menahan sakit yang kini kembali datang. sang jabang bayi yang ada di dalam perutnya sudah merayu-rayu meminta keluar.
“Benarkah? Mengapa Cici tidak mengabari abang sedari sore?” Suara Sandi terdengar panik. Bagaimana tidak, jam dinding tengah menunjukkan pukul satu malam. Tidak ada bus yang jalan di jam segitu.
“Bang, Cici sudah tidak tahan, rasanya sakit sekali.” Cici kembali berkata lirih.
“I—iya ... besok abang akan pulang dengan bus paling awal. Abang akan tanyakan jam berapa bus paling awal berangkat ke Pekanbaru.”
“Iya, Bang ... tolong pulang secepatnya. Ahhh ... Cici sudah kesakitan.” Rasa sakit itu kembali datang. Cici memegangi perutnya seraya berusaha menahan sakit dengan sekuat tenaga.
Sandi merasa ngilu mendengarkan lirihan istrinya, “I—iya, Sayang ... atau abang akan coba pinjam motor teman abang.”
“Cici mengangguk, “Iya ... sudah ya bang, Cici sudah tidak sanggup lagi berbicara banyak.”
“Iya, hati-hati ya ... abang akan segera pulang. Cici istirahat saja dulu.”
“I—iya, Bang ... Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ....”
Panggilan suara itu pun akhirnya terputus. Cici kembali mengerang pelan, mencoba sabar menahan desakan yang terus menerus mendera bagian bawah tubuhnya. Kalimat-kalimat zikir terus saja keluar dari bibir Cici tatkala rasa sakit itu kembali muncul menganggu ketenangannya.
Tidak lama, rasa sakit Cici kembali hilang. Santi sudah tertidur kembali begitu juga dengan Yeni. Santi sengaja membentang karpet di depan kamar Cici agar mudah membantu adiknya jika Cici tiba-tiba dalam masalah.
Beberapa saat, Cici dapat tertidur lelap. Rumah itu seketika hening karena semuanya tertidur dalam nikmat. Tapi tidak dengan satu orang pria bernama Herman. Pria yang merupakan suami sah Santi dan sudah bersama wanita itu selama empat belas tahun.
Herman berjalan mendekati kamar Cici. Perlahan, ia masuk ke dalam kamar itu dan menatap wajah cantik Cici yang tengah tertidur dalam damai. Wajah lelah dan imut.
Ya, diusianya yang sudah menginjak dua puluh dua tahun, Cici memang masih tampak imut. Bahkan tidak sedikit orang yang mengira wanita itu masih berstatus pelajar SMP karena postur tubuhnya yang mungil dan wajahnya yang manis. Bahkan, ketika Cici menikah, orang-orang yang tidak mengenalnya, mengira Cici adalah pengantin anak-anak yang menikah di bawah umur.
Herman terus menatap Cici. Herman selalu memberikan perhatian lebih kepada Cici, alasannya karena sedari kecil wanita itu memang sudah bersama mereka—Herman dan Santi. Cici yang lemah lembut juga sudah mencuri hati Herman hingga ia begitu mengagumi adik iparnya itu.
Baru saja Herman hendak membelai wajah cantik Cici yang tengah terlelap, wanita itu kembali merintih. Herman dengan cepat berjongkok dan bersembunyi di bawah kolong kasur Cici. Ia tidak ingin Santi melihatnya berada di dalam kamar adik iparnya itu.
“Ya Allah ... sakit sekali, Ssshhh ....” Cici kembali mengerang pelan. Ia terduduk dan berjongkok di lantai. Bokongnya ia hadapkan ke bagian belakang kolong ranjang.
Perlahan, Cici menggoyang-goyangkan bokongnya untuk memberikan stimulasi agar janin yang ada di dalam rahimnya semakin mendesak keluar. Bidannya yang menyuruh Cici melakukan hal tersebut, untuk memudahkan proses persalinan.
Herman yang bersembunyi di bawah kolong kasur, melihat b****g Cici bergoyang-goyang. Seketika pria itu memanas dan berdesis pelan menahan dirinya dari bujukan setan.
Sayangnya, Cici tidak mengetahui hal itu. wanita polos nan lugu itu tidak tahu jika ada seseorang yang tengah bersembunyi di bawah kolong ranjangnya dan tengah menikmati bokongnya. Yang ia tahu, ia memiliki kakak perempuan dan kakak ipar yang sangat baik dan perhatian kepada dirinya. Tanpa ia tahu, akan ada bahaya besar yang siap mengancam dirinya, kelak.
Setelah rasa sakit itu mereda, Cici kembali bangkit dan duduk di atas ranjangnya. Kaki cantiknya masih ia jatuhkan di lantai kamar.
Herman terus saja memandangi sepasang kaki itu. Kaki yang biasa mengenakan nomor sepatu tiga puluh enam, terlalu kecil memang untuk wanita usia dua puluh dua tahun.
Setelah merasa sakitnya sedikti mereda, Cici kembali naik ke atas ranjang dan kembali membaringkan tubuhnya di sana. Wanita itu mencoba memejamkan mata sejenak saja, hanya sekedar untuk penghilang rasa kantuk dan sakit kepala yang mendera dirinya.
***
***
***