BAB – 4
Sandi bersujud syukur ketika mendapati dirinya sudah resmi menjadi seorang ayah. Seorang bayi laki-laki dengan berat tiga koma empat kilogram sudah hadir ke dunia sebagai pelengkap cinta Sandi dan Sicilia.
Ia tidak menyangka jika ia akan menjadi seorang ayah diusianya yang masih sangat muda—dua puluh tiga tahun. Rasa cintanya yang dalam kepada Cici membuat Sandi berani memutuskan menikah muda dengan wanita itu setelah menamatkan kuliahnya.
Gayung pun bersambut, Cici menerima lamaran Sandi dan mereka pun menikah di usia yang tergolong masih sangat muda. Apa lagi banyak yang tidak menyetujui pernikahan itu disebabkan ke duanya sama-sama belum memiliki penghasilan yang matang.
Yang paling menentang kala itu adalah Herman. Ia bersuara paling lantang ketika Sandi datang melamar Cici seorang diri sebelum membawa ke dua orang tuanya ke rumah Cici.
Namun, cinta Cici dan Sandi sangat kuat. Pernikahan itu pun terjadi dan kini mereka sudah memiliki seorang putra yang menambah hangat rumah tangga pasangan muda itu.
Yeni dan Santi juga turut berbahagia tatkala Sandi mengazankan putra pertamanya. Alunan azan yang merdu itu membuat sang bayi tampak tenang dan nyaman. Sandi mengecup kening bayinya sesaat setelah ia mengazankan bayi kecilnya.
“Sudah, Pak?” tanya suster, ramah.
“Sudah, Suster.”
“Kalau begitu, berikan lagi bayinya pada kami. Kami akan membawanya ke ruangan khusus bayi. Silahkan anda temui istri anda.”
“Jadi istri saya sudah bisa ditemui, Suster?”
“Sudah, Pak. Istri anda sedang dalam masa pemulihan akibat reaksi obat bius yang masuk ke tubuhnya. Nanti setelah reaksinya hilang, istri dan bayi anda akan dipindahkan ke kamar rawat inap.”
“Ba—baik, Suster. Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
Sandi pun bergegas menuju ruangan yang dimaksud oleh suster rumah sakit. Ia mendapati istrinya dalam keadaan menggigil hebat.
“Sayang ... kamu tidak apa-apa?” Sandi terlihat khawatir.
“Dingin, Bang ... dingin sekali. Cici tidak tahan.” Wanita itu semakin menggigil.
Sandi bergegas keluar ruangan untuk meminta pertolongan. Seorang perawat datang dan menjelaskan jika hal itu biasa terjadi. Itu adalah sebuah reaksi akibat obat bius yang sudah masuk ke dalam tubuh Cici. Reaksi itu akan berbeda-beda di setiap pesien, tergantung kondisi tubuh dan kesehatan masing-masing pasien.
“Terus bagaimana, Suster?”
“Nanti setelah biusnya hilang, meriang itu akan hilang dengan sendirinya, Pak.”
“Tapi istri saya sepertinya tidak tahan.”
“Sebentar.”
Sang suster mulai mendekati Cici dan menambah satu helai kain lagi untuk menambah hangat tubuh ibu yang baru saja melahirkan itu. Tidak hanya itu, dua buah lampu besar sengaja dihidupkan dan disorot ke tubuh Cici agar rasa hangat semakin menjalar di sekujur tubuh Cici. Perawat itu juga mematikan AC ruangan tempat Cici memulihkan kondisi tubuhnya.
“Kalau nanti gemetarnya sudah hilang dan rasa dinginnya sudah hilang, bapak tolong matikan saja lampu ini. Kalau sudah mulai terasa panas, silahkan hidupkan lagi AC-nya. Dua jam lagi, dokter akan ke sini untuk memeriksa kondisi pasien.”
“Baik, Suster. Terima kasih.”
Sang suster tersenyum ramah dan meninggalkan Sandi serta Cici di sana. Sandi menangis melihat kondisi istrinya. Cici bergetar hebat. Bibir dan wajahnya ikut menggigil.
“Masih dingin?”
“I—iya, Bang. Dingin sekali!”
“Sabar ya, kata suster itu biasa. Nanti lama-lama dinginnya juga akan hilang.”
Cici mengangguk, “Bagaimana keadaan anak kita, Bang?”
“Dia sehat, laki-laki. Terima kasih sudah mau menjadi ibu dari anak-anak abang.” Sandi menciumi tangan istrinya.
Cici tersenyum seraya mengangguk.
Di luar ruangan, Santi bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Herman—suaminya.
“Halo, Kak.”
“Ada apa, Santi?”
“Cici sudah melahirkan, bayinya laki-laki.”
“Oiya? Syukurlah ... sekarang di mana? Apakah masih di rumah bidan May?”
“Tidak, Cici dioperasi, Kak. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit sejahtera.”
“Iya, baiklah ... kakak akan ke sana.”
“Iya ... tolong kabari yang lainnya juga kak.”
“Iya.”
Panggilan suara itu terputus.
Herman yang baru saja menikmati tidur siangnya, kembali bersemangat mendengar kabar dari istrinya. Ia bergegas bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Herman mencuci muka, menggosok gigi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang baik.
Baru saja pria itu rapi, ia kembali teringat dengan Sandi. Seketika langkahnya menjadi kendur. Perlahan ia mundur dan terduduk di atas kasur.
Herman melempar sisir yang ada di tangannya dengan kasar. Ia menyugar rambutnya dan kembali merebahkan badan di atas ranjang yang sudah menemani dirinya dan santi selama belasan tahun.
Herman membuka dompetnya, terselip sebuah foto di sana. Foto yang ia sembunyikan dibagian lipatan yang paling dalam. Ia tidak ingin Santi mengetahui jika ada foto itu di sana.
Herman menatap pas foto ukuran dua kali tiga yang ia temukan di rumah Cici. Foto gadis cantik berbalut jilbab pink dan memakai blazer. Senyum gadis di dalam foto itu sangat manis.
Mengapa aku begitu tergila-gila dengan wanita ini? Bahkan jauh sebelum Cici dewasa, aku sudah menyukainya. Argghh ... Herman menyugar rambutnya dengan kasar.
Pria itu pun akhirnya urung ke rumah sakit. Ia memilih berbaring seraya menatap foto itu dengan fantasi gilɑ yang berbahɑya.
Satu jam kemudian, ponsel Herman kembali berdering. Ada panggilan lagi dari istrinya.
Dengan malas, Herman tetap mengangkat, “Ada apa, Santi?’
“Kakak tidak jadi ke sini?”
“Tidak, kakak ada kerjaan.”
“Owh, ya sudah ... aku sebentar lagi pulang.”
“Ya, cepatlah pulang.”
“Aku matikan ya ....”
“Hhmm ....”
Panggilan itu pun kembali terputus.
Herman melempar ponselnya ke atas ranjang. Pikirannya semakin hari semakin kacau dan tidak keruan.
Pria itu pun bangkit dan membuka kembali pakaiannya. Ia menggantinya dengan pakaian biasa dan mulai mencari-mencari kesibukan di sekitar rumah agar Santi tidak curiga.
-
-
-
-
-
Tiga hari sudah usia Reza—putra pertama Cici dan Sandi. Wanita itu pun pulang kembali ke rumahnya bersama bayi dan Sandi—suaminya. Senyum merekah tidak pernah putus dari bibir Sandi dan Cici tatkala kaki mereka mulai memasuki rumah untuk pertama kali semenjak bayi itu lahir.
“Bang, kok tidak datang ke rumah sakit?” Sapa Sandi seraya menyalami Herman yang sudah duduk di teras rumahnya.
“Maaf, Sandi. Pekerjaan abang tidak bisa ditinggalkan. Lagi pula, rumah abang’kan dekat. Jadi bisa sering-seringlah ke sini.” Herman membalas dengan ramah.
“Iya lho ... kami sudah tunggu-tunggu tapi bang Herman nggak pernah datang ke rumah sakit.” Cici juga menyapa pria itu dengan ramah. Wanita itu tidak pernah mencurigai apa pun selama ini. Baginya, Herman adalah kakak yang baik. Herman tidak hanya sebatas kakak ipar, akan tetapi juga sudah ia anggap bagai kakak kandung sendiri.
“Maaf, Ci. Bukankah abang sudah di sini? Lagi pula kalau nanti Sandi pergi lagi, abang’kan ada di sini buat bantu jagain Cici bersama kak Santi.”
“Iya ... terima kasih karena sudah begitu perhatian kepada keluarga kecil kami, Bang.” Cici kembali tersenyum ramah.
Herman begitu bahagia menatap senyuman itu. senyum manis dengan lesung pipi yang imut.
“Sandi kapan kembali lagi?” tanya Herman seketika.
“Mungkin lusa, Bang. Sandi tidak bisa libur kerja terlalu lama. Tapi rencananya, setelah ini Sandi ingin mencari pekerjaan di sini saja. Sulit juga kalau bekerja terlalu jauh dari keluarga.”
“Hhmm ...,” gumam Herman pura-pura menyetujui.
“Oiya, Cici mau istirahat dulu, Bang. Nanti kita sambung lagi ngobrol-ngobrolnya.”
“Iya, habis operasi memang harus banyak istirahat.”
Cici mengangguk dan berjalan dengan pelan menuju kamarnya. Sandi memapah istrinya dengan sayang.
“Siapa namanya?” tanya Herman pada Santi yang masih menggendong Reza.
“Reza ... Cici memberinya nama Reza Perdana.”
“Nama yang bagus.”
“Iya, Kak ... Aku sangat senang ketika Cici melahirkan bayinya. Bukankah kita sudah tidak bisa punya anak lagi setelah memutuskan steril waktu itu? Jadi melihat Cici melahirkan bayinya, aku yang paling senang.”
Herman mengangguk. Pria itu juga begitu menyukai anak-anak. Ia meminta Santi memberikan Reza kepadanya dan Santi pun memberikan bayi kecil itu kepada suaminya.
Herman merasa senang, ia juga sayang.
-
-
-
Malam pun menjelang. Santi, Herman dan anak-anaknya masih berada di rumah Cici. Wanita tiga puluh empat tahun itu membantu Cici menjaga bayinya sementara Yeni—ibunda Cici—sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah.
“Gimana, Ci. masih belum bisa juga Reza menyusui langsung dari kamu?”
“Belum, Kak. Ini mesti pakai putíng buatan lagi.” Cici kembali megeluarkan sebuah benda mirip payudɑra seorang wanita yang terbuat dari silikon bening.
“Sini, Reza biar kakak yang pegangin. Kamu pasang dulu saja benda itu dengan baik.”
Cici memberikan bayinya kepada Santi. Wanita dua puluh dua tahun itu pun membuka sebuah payudɑranya dan memakaikan benda bening itu pada ujung payudɑranya untuk membantu sang bayi menyusuí langsung dari dadɑnya. Hal itu terpaksa dilakukan oleh Cici karena putíng wanita itu tenggelam hingga sulit di hisap oleh bayinya.
Tanpa sadar, Herman terus memerhatikan semua itu dengan wajah memerah. Benda padat itu membuat sesuatu bereaksi di tubuh Herman.
Ya, Cici dan mungkin banyak wanita diluaran sana tidak mengerti jika apa yang mereka anggap biasa itu akan berdampak luar biasa pada orang lain. Menyusuí anak di depan lelaki lain tanpa sebuah kain penutup, bisa saja berdampak buruk. Wanita tanpa sadar telah memberikan tontonan gratis kepada para lelaki yang mungkin saja memiliki fantasi buruk.
Itulah yang terjadi pada Herman. Pria itu tengah menikmati tontonan gratis tersebut. Otaknya seketika memanas tatkala melihat Cici memasang benda itu di salah satu payudɑranya. Setelah benda itu terpasang dengan baik, Cici pun meremas payudɑra itu hingga air susunya keluar dan memenuhi rongga putíng buatan tersebut.
“Berikan Reza, Kak,” lirih Cici setelah memastikan air susunya keluar dengan baik.
Santi memberikan bayi kecil itu kepada Cici dan Cici pun mulai menyusuí bayinya.
Herman langsung bangkit menuju kamar mandi rumah Cici. Ia melewati Santi dan Cici yang tengah duduk bersama di atas kasur santai di ruang tengah rumah itu.
“Mau kemana, Kak?” tanya Santi pada suaminya.
“Mau buang ɑir dulu,” bohong Herman.
“Owh ...,” guman Santi dan kembali membantu merapikan pakaian-pakaian kecil milik Reza.
Sebelum kembali melangkah, Herman kembali melabuhkan pandang pada salah satu benda kenyal yang padat sempurna. Pria itu menghela napas lalu bergegas menuju kamar mandi.
Sesampainya di ruangan yang pengap itu, Herman mengeluarkan dompetnya dan mengambil sebuah pas foto yang sudah ia simpan dengan baik. Pria itu pun mulai berfantasi seraya membayangkan wajah cantik Cici dan benda kenyal serta ujung hitam kemerahan yang baru saja ia pandangi tadi. Sungguh memalukan!
Lalu apakah Herman salah? Ya, pria itu tentu salah dan Cici juga salah. Tidak seharusnya ia menyusuí bayinya di depan lelaki lain apa lagi yang bukan mahramnya. Kegiatan yang dianggap lumrah oleh sebagian besar wanita dimasyarakat akan tetapi berdampak buruk di belakangnya.
Herman pun terus melakukan aksinya dengan nikmat. Pria itu dengaja menghidupkan kran air dengan kondisi full agar desahannya yang tertahan tidak terdengar oleh siapa pun. Fantasi Herman sungguh gilɑ, benar-benar gilɑ. Pria itu begitu menikmati semuanya hingga ia pun mencapai tujuannya sendiri dengan khayalan semu yang sudah ia ciptakan sendiri.
Setelah puas dengan hasratnya, Herman menciumi pas foto kecil itu dan kembali menyimpannya dengan baik.
Cici, suatu saat nanti, tidak hanya foto ini yang akan menemaniku di sini. Kamu juga, Ci. Abang akan lakukan apa pun agar bisa menikmatimu. Gumam Herman dalam hatinya.