26. Malam Kejadian Insiden Pabio dan Yunita

809 Words
Hal tersebut membuat Pabio langsung mengembuskan napas panjang. Lelaki paruh baya itu tampak kecewa dengan perkataan Arkanio yang lagi-lagi tidak menyetujui keputusannya. Padahal Pabio hanya tidak ingin terbelenggu dalam rasa bersalah telah mengorbankan banyak anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban keserakahan orang dewasa. “Pah, sepertinya kita memang perlu menuruti perkataan Arkan,” ucap Yunita menatap penuh kecemasan. “Entah kenapa, Mamah ngerasa ada sesuatu yang mengganjal.” “Kita akan ngomongin masalah ini besok pagi. Lebih baik Mamah tidur dulu. Papah mau buat kuis untuk para mahasiswa besok,” titah Pabio tersenyum tipis. Yunita mengangguk singkat, lalu membalas, “Ya udah. Mamah tidur duluan. Papah jangan sampai begadang, nanti sakit.” Sepeninggalnya sang istri yang menuju tempat tidur, Pabio pun bangkit melenggang keluar dari kamar. Lelaki paruh baya itu hendak menuju ruangan kerja yang berada di lantai bawah. Lelaki paruh baya itu membiarkan lampu rumah tetap mati, karena pekerjaannya berada di dalam ruangan. Sehingga tidak perlu memboros listrik. Sejenak Pabio mendudukkan diri dan mulai membuka komputer untuk membuat kuis tentang bisnis. Jam malam terasa lebih cepat, Pabio yang baru saja mendudukkan diri tampak tidak menyangka sudah pukul 01.00 am membuat lelaki itu memutuskan bangkit dari tempat duduknya. Lelaki paruh baya itu tampak mematikan komputer sekaligus membawa mug keramik berwarna hitam keluar dari ruangan. Ketika Pabio asyik mencuci gelas di dapur, tiba-tiba terdengar suara teriakan sang istri. Lelaki paruh baya itu pun spontan berlari dan melihat seseorang serba hitam tengah menjambak rambut Yunita yang menangis tersedu-sedu. “Siapa kalian!?” bentak Pabio berang melihat wanita kesayangannya mendapatkan perlakuan seperti itu. “Pabio Andriano, terkadang Anda benar-benar tidak tahu diri, ya. Ketika sudah mendapatkan apa yang dimau, kini malah dengan mudahnya ingin melaporkan kejadian dua puluh tahun lalu,” ucap lelaki berpakaian serba hitam itu tampak membuka topengnya. “Saya sudah memberikan kesempatan untuk Anda berpikir lebih cermat dalam memutuskan sesuatu hal. Tapi, sayang kesempatan itu disia-siakan begitu saja. Jadi, jangan salahkan saya kalau terlewat batas,” timpal seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai melipat kedua tangannya di depan d**a. Pabio melebarkan matanya terkejut, sampai sebuah pukulan terasa begitu keras tepat di belakang kepala. Lelaki paruh baya itu pun tersungkur dengan darah segar yang mengalir deras. Sedangkan Yunita yang melihat suaminya berdarah-darah tampak membekap mulutnya tidak percaya. Air mata mengalir dengan deras seiring teriakan teredam akibat tiga orang menakutkan di hadapannya benar-benar nekat. “Kalian semua akan mendapatkan karma yang lebih daripada ini,” kecam Yunita sebelum wanita paruh baya itu pun menyusul sang suami. Arkanio menyudahi ceritanya dengan mengembuskan napas berat. Lelaki itu tanpa sadar kembali menitikkan air mata, menyayangkan kedua orang tuanya yang dibunuh akibat kekejaman seseorang. “Dari mana kamu tahu kalau pelakunya mereka?” tanya Jenny tidak percaya, sebab respon tenang dari Arkanio ketika pertama kali mendengar kedua orang tuanya dibunuh juga terlihat mencurigakan. “Kalau memang saya ingin mencari pembunuhnya. Apa yang akan saya lakukan? Membuat mereka menerima hukuman?” Arkanio tertawa sinis. “Ini tidak semudah yang kamu bayangkan. Bahkan para polisi yang bertugas memecahkan kasus dua puluh tahun lalu, tidak ada kabar, bukan? Jangan bermimpi terlalu tinggi. Kalian hanya membuang-buang waktu.” Alister menegakkan tubuh serius, lalu bertanya, “Di mana rekaman yang kamu lihat?” Pertanyaan singkat itu pun sukses membuat Jenny terdiam dengan melebarkan matanya terkejut menatap Arkanio yang ternyata jauh lebih pintar dibanding dugaannya saja. “Saya akan memberikan rekaman itu,” jawab Arkanio terdiam sesaat. “Tapi, kalian berdua harus berjanji untuk tidak memberi tahu apa pun yang berkaitan dengan saya. Karena saya benar-benar muak hidup dengan penuh rasa ketakutan.” “Tenang saja. Semua identitas saksi akan dirahasiakan,” ucap Jenny mengangguk singkat. Arkanio menggeleng pelan, lalu membalas, “Tidak. Selama penyelidikan terjadi, saya harap kalian berdua menjaga jarak. Saya akan berpura-pura tidak mengenal kalian, begitupun sebaliknya.” “Baiklah,” pungkas Alister mengangguk singkat. Sedangkan Jenny yang mendengar jawaban mengejutkan dari ketua timnya hanya mengembuskan napas panjang. Akan tetapi, gadis itu tidak memiliki pilihan lain, selain membiarkan Arkanio memberikan bukti yang ternyata tidak dimiliki oleh seorang polisi. Bahkan Arkanio yang seharusnya sudah bisa dibebaskan itu memilih untuk berada di kantor polisi sampai tenggat waktu habis. Lelaki itu tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang mengincar kedua orang tuanya. Kini Alister dan Jenny mendudukkan diri di ruangan yang hanya dihuni oleh Yuni. Ekspresi keduanya membuat penasaran, sehingga Yuni ingin sekal bertanya. Namun, tidak berani akibat sempat mengetahui ekspresi dari mereka selama interogasi tadi. Jenny menegakkan tubuhnya lebih dulu, lalu berkata, “Arkanio mengaku kalau dia bukan pembunuh kedua orang tuanya. Bahkan dia bekerja sama menangkap pelaku pembunuhan sekaligus kebakaran dua puluh tahun lalu.” “Hah? Jadi, orang yang sama ngelakuinnya?” tanya Yuni mengernyit tidak percaya. “Nanti ikut kita berdua mengambil kamera rekaman di brangkas bank!” ajak Alister menatap ke arah Yuni serius. Gadis itu pun mengangguk patuh, lalu menjawab, “Baik, Ketua Tim!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD