Ada poin ketiga yang ingin ditambahkan oleh Tari, penyesalan yang baru saja diingatnya ini adalah mengapa ia harus lahir dari suku Jawa, kenapa nggak Sunda aja yang nggak kenal per- weton- an gitu. Ribet pemirsa!
Tolong, kalian yang orang Jawa, sebenernya ini adalah kepercayaan sejak jaman kakek buyut yang jelas setengah merugikan, bukannya Tari melawan kakek buyut pencetus weton ini.
Tapi, bukankah pernikahan itu selalu ada saja masalah. Nggak mungkin abis nikah langsung bahagia selamanya, hambar sekali hidupnya. Pengen bilang kayak gitu, Tari pengennya banget, apalagi pada dua orang yang sekarang sibuk sekali menatap kalender di depannya.
"Tari itu Sabtu Pahing, kalo Abi Jumat Kliwon, pas to, Bu. Coba liat, itu dapatnya Pesthi. Pasti jodoh maksudnya," jelas Ayah kegirangan.
Ibu ikut merunut angka-angka yang ditunjuk oleh ayahnya, agaknya wanita itu awam dari hal seperti ini meskipun Raden Ayu Humaira ini sama keturunan ningrat, ibunya itu juga tak masalah bila menikah tanpa lihat weton.
"Tar, liat tuh, Abi kayaknya cocok buat kamu, setelah dilihat dari bibit bebet dan bobotnya, kayaknya baru kali ini yang nyantol di hati ayah sama ibu, Nduk." Tangan Ibu sudah menarik lengan Tari untuk ikut duduk di samping ayahnya.
Pria itu mengangkat kacamatanya sebentar lalu terkekeh melihat Tari yang memberengut. "Kalo kamu nikah sama Abi beneran, kayaknya ayah bisa menatap hari tua dengan lega."
Tari mendongak, menghina di depan ibunya dengan tatapan memohon. "Buu, Tari nggak suka sama Abi," rajuknya.
"Witing tresno jalaran soko kulino, kamu bakalan suka sama Abi yang ngayomi gitu."
Masalahnya, cowok kali ini adalah orang paling bermasalah dengan Tari sejak kecil, seneng cari gara-gara, tukang bully. Tari tidak yakin menyerahkan seluruh hidupnya pada pria seperti itu.
"Yah, ini tuh soal nikah loh, jangan asal jodohin apa, cari yang jelas saja suka sama Tari gitu," negonya seolah membuat kesepakatan.
Ayah kali ini menurunkan kacamatanya, menatap Tari dengan pandangan yang sudah jelas menantang. Gadis itu lupa dengan siapa ia berhadapan, orang paling berkuasa di rumahnya. Romo Hendra Soedjatmiko!
"Sabtu Pahing, manja tapi keras kepala! Bener kalo kamu gitu, ayah paham. Tapi, urusan nikah kayak gini kamu nggak boleh keras kepala menolak, kalo punya pacar bawa sini biar sekalian ayah hitung weton pasanganmu."
"Punya pacar dari mana kalo Tari seharinya di toko kain, kamar, toilet." Ibu menyahut.
Tari langsung melirikkan matanya kesal begitu melihat Ibunya justru terkekeh mendengar ucapannya barusan. Ya, sebenarnya tidak ada yang salah, memang benar.
Tapi, itu sebelum ia menemukan Arya kembali, rasanya semua harapan buat hidup, buat nikah, punya anak lucu dan gemesin sirna. Namun, harapan itu kembali muncul saat Arya tiba-tiba mengirim pesan waktu itu. Seperti sesuatu yang hilang kini sudah kembali lagi.
"Kalo misal Tari punya pacar? Gimana, Yah?" Tari tergagap saat pandangan mata ayahnya menusuk manik gadis itu.
"Jangan asal cari pacar, cari yang bisa mengayomi, sudah kerja, bisa tanggung jawab, beneran suka sama kamu, baik bibit—" Persyaratan keluarga Soedjatmiko memang segerbong kereta, mungkin alasan kenapa banyak cowok yang akhirnya memilih mundur berpacaran dengan Tari ya ini.
Gara-gara baru sekali main ke rumahnya sudah ditanya banyak banget sama ayahnya. "Wetonmu apa, Le?" atau semisal kayak, "Kerja di mana? Bisa mengaji tidak?" Dan serentetan pertanyaan yang busa bikin cowok menciut untuk melamar Tari mungkin karena ini.
Ayah selalu mewanti-wanti Tari untuk mendapatkan cowok yang baik bibit bebet dan bobotnya. Meskipun Tari sendiri suka berkaca diri, ia juga nggak sealim, secantik, dan sepintar itu untuk bisa mendapatkan jodoh sesempurna yang diinginkan Ayah.
Maksudnya, well, Tari tuh idaman banget kali, dari jaman dia SMA banyak yang suka namun beraninya lewat slepet doang, begitu diajak main nggak ada yang mau.
"Kalo emang serius kamu punya pacar, Minggu depan suruh kesini, Ayah pengen tau calon mantuku sebaik apa?"
Tari langsung melengak, tersadar dari lamunannya kala melihat Ayah sudah melipat kembali koran keramat berisi tanggal dan hari sialan itu.
"Yah, jangan buru-buru doong, Tari masih muda umur 20 tahun. Pengennya masih pacaran jangan langsung nyari weton gini."
Ayah menatap anak gadisnya itu penuh sayang, ada senyum yang tercetak di bibir berkumis itu. "Justru karena masih pacaran, lebih baik diputuskan terus atau cari lainnya dari awal."
Nggak ada yang busa Tari lakukan saat Ayah sudah menatap lagi televisi di depannya, Ibunya yang sibuk di dapur cuma bisa tersenyum kecil mengedikkan bahunya kala melihat Tari berjalan lunglai ke arahnya.
"Emang beneran, Tar kamu udah punya pacar?" tanya Ibu berbisik.
Kalau Ayah terlalu memaksa seperti itu dan Jawa banget, maka ibunya masih memiliki sisi lain yang terkadang membuat Tari berpikir untuk mengajak ibunya kongsi dalam hal memberontak pada Ayah.
Meski akhirnya tidak mungkin karena wanita itu juga sudah cinta mati sama Ayah dan menganut paham, perempuan harus mengikuti semua perkataan suami! Jelas membuat angan Tari menguap begitu saja.
"Emang Ibu nggak percaya sama Tari yang cantik gini?" balas Tari berbisik.
Ibu hampir ngakak dibuatnya. "Kalo gitu kenapa nggak dari dulu dikenalin sama Ayah?"
"Baru nemu."
Kening ibu keriting dibuatnya, tidak paham dengan maksud anaknya akhirnya wanita itu bertanya dengan nada final yang membuat Tari tertegun lama. "Kalo gitu biar ibu tebak dari namanya saja."
Tari menelan ludah susah payah. "Arya Wijaya."
Mata Ibu membelalak, seperti terpesona dengan dua nama yang disebutkan oleh Tari. Dan gadis itu entah percaya atau tidak pada ibunya yang bisa meramal. Kalau dilihat dari tampangnya, ibu pasti bicara asal, tapi melihat keterpanaan ibunya, ada sesuatu yang membuat Tari penasaran.
"Kenapa, Bu? Nggak cocok sama Tari ya—"
Ibu justru menggeleng. Wanita itu malahan tersenyum dengan sorot membayangkan. "Dari namanya saja, Ibu tahu kalo dia cowok baik, Tar. Ayah pasti suka sama Arya-mu ini."
Semoga saja begitu. Dan harapan Tari memang begitu.
***
Arya nggak akan pernah bisa mengelak dari orang yang selalu bisa membaca apapun keadaannya lewat mata, gerak tubuh, dan ucapan. Dan ayahnya adalah salah satu orang yang tidak bisa dibohongi oleh pria itu sedikit pun.
Sepulang dari menemui Tari malam itu, pria itu langsung berjalan ke meja makan, dengan rambut yang masih basah sehabis keramas, ia duduk di meja dengan hidangan makan malam yang penuh.
Nasi hangat, tempe goreng banjir tepung, balado kentang, ikan bakar bumbu pedas manis. Air liurnya selalu dibuat menetes dengan masakan ibunya yang nggak pernah ditolak ini.
"Seharian ini girang banget abis kemana? Main ke rumah haram ya?" tuduh Senopati Buana— adik laki-lakinya.
Arya langsung menggeplak kepala Seno keras. "Anak kecil nggak perlu tau urusan orang dewasa," jawab Arya sewot.
Mati-matian cowok itu menghindari tatapan ayahnya saat makan malam itu, ibu yang baru saja tiba dari dapur langsung menolehkan kepalanya ke Arya.
"Jaket kamu bau parfum perempuan," kata Ibu dengan mata menajam menatap Arya, "beneran kamu main ke diskotek, Ar?"
Arya melotot. Astaga! Bahkan ibunya pervaya dengan ucapan Seno? Emang itu anak seneng banget ngomporin, padahal yang namanya main ke diskotek saja ia tak pernah. Jangankan masuk, liat luarnya saja ia sudah bergidik ngeri.
"Bu, omongan Seno aja dimasukin ke hati."
Ayah yang duduk di sampingnya cuma bisa menatap anaknya dalam. Ada sesuatu yang terpancar di mata Arya dengan jelas, binar kegirangan, dan suka cita.
"Kamu tuh sudah kerja, sudah gede, mbok ya cari pacar gitu, Ar, ibu liat anak temen ibu sudah banyak yang tunangan." Ibu duduk di sisi lain ayahnya, wanita itu mengambil sepiring nasi untuk ayah lalu beberapa lauk di meja.
Kebiasaan dari dulu, ayah adalah pria pertama yang boleh mencicipi hidangan, hal itu ditanamkan kuat oleh Ibu pada anak-anaknya untuk menghargai seorang ayah yang bekerja siang malam demi menghidupi keluarga.
Toh, Arya memang mengagumi sosok bapak yang ada di depannya ini. Dan tidak heran pula mengapa ibunya bisa jatuh hati pada ayahnya.
"Nanti, kalo udah waktunya juga dikenalin," jawabnya singkat.
Ibu menoleh cepat, ada senyum geli yang terhias di bibir itu. "Kamu nggak tertarik gitu sama si Ratih? Anaknya kalem loh, pinter masak, perhatian kalo diliat, dan adem gitu liat wajahnya."
Kening Arya berkerut. Ratih? Hanya ada satu nama Ratih yang selalu diucapkan Ibu dengan penuh nada kebanggan. Ratih Indreswari, cewek yang sejak dulu ketahuan banget suka sama Arya itu cuma bisa memendam perasaanya sampai sekarang.
Tak bisa mendapatkan Arya ketika SMA, sekarang gadis itu sudah punya akal untuk mendekati ibunya. Wanita emang punya segala cara untuk menggoda dan merayu. Mungkin ia diciptakan untuk itu.
"Umur Arya itu baru 21 tahun, Bu, biar dia kerja dulu, mapan dulu, sambil kerja bisa juga nyari pacar jangan disuruh ceper tunangan, nikah juga butuh mental." Suara dalam itu terdengar kalem, lembut, namun cukup membuat semua orang di sana terdiam.
Apalagi Ibu yang awalnya bawel, wanita itu langsung mengangguk patuh pada suaminya, meskipun lirikan Ibu pada Arya tidak berhenti setelah Ayah berbicara panjang seperti itu.
Dan seperti yang diduga oleh Arya, selepas dari makan malam itu, ketika Arya memainkan gitarnya di luar berteman langit malam, Ayah menghampiri anaknya, menggeser rokok kretek.
Pria tua itu menyulut rokok kreteknya lalu mengisap nikotin itu kuat-kuat, seperti berusaha menarik segala beban yang bercokol dan membuangnya bersamaan asap yang keluar dari mulutnya.
"Orang mana?" tanya Ayah.
Arya meletakkan gitarnya begitu saja, sedemikian cepat pemikiran ayah sampai tahu anaknya menyembunyikan sesuatu tentang apa. Bagaimana mungkin ia bisa membuat rahasia kalau punya ayah sejenius ini coba?
"Kota sebelah."
Ayah langsung menoleh. "Kenal dari mana?"
Arya langsung mendesah. Disembunyikan juga bakalan tahu, karena ayah bakal mengusutnya habis-habisan sampai tak tersisa penasaran di hati beliau.
"Temen sekolah Arya jaman SMA, Yah, menurut ayah gimana?" tanya Arya sedikit tidak tahu ke arah mana pertanyaannya.
Pria tua itu menatap anaknya yang semakin dewasa, tak pernah sadar bahwa Arya kali ini sudah menemukan orang yang dia cintai atau cuma kagum saja.
"Semuanya itu balik ke diri kamu sendiri, Ar. Kamu itu laki-laki, anak pertama pula, sejak dilahirkan kamu sudah punya tanggung jawab besar atas keluarga dan membimbing adikmu," jelas Ayah, kembali mengisap rokok kreteknya sebentar lalu mengembuskannya dengan napas panjang.
"Kalo kamu sudah suka sama perempuan, jaga dia, jangan sampe bikin perempuan nangis. Jika suatu hari merasa sudah cukup, lamar segera, perempuan tidak ingin waktu lama untuk menunggu kepastian, kecantikannya saat melajang akan segera hilang dimakan usia. Dan yang bisa menerimanya dengan tulus saat tua adalah suaminya."
Arya termenung. Membayangkan sosok Tari yang terlalu periang, manis, imut, dan mempesona itu kehilangan kecantikan? Apakah yang ditakutkan oleh orangtua Tari adalah hal ini juga?
"Tapi, Arya belum siap sekarang." Cowok itu menunduk, membayangkan bertemu dengan orangtua Tari yang dari ceritanya saja sudah bikin buku kuduk berdiri, sepertinya itu lebih horor daripada mengajak Tari nikah.
Namun ayah terkekeh di sampingnya, seolah apa yang ditakutkan Arya adalah hal yang sama seperti saat pria itu masih muda dulu.
"Lelaki emang ditakutkan pada dua hal, saat ingin mengutarakan perasaan dan menemui orangtuanya."
Memang seperti itu. Apalagi yang ditakutkan oleh kaum pria selain banyaknya permintaan cewek ketika akan menikah, mahar gede, pesta meriah, dan keluarga Tari adalah kaum yang bermartabat.
"Tapi bukan itu yang Arya takutin," ucapnya gugup, berulang kali ia menelan salivanya untuk meredakan kegugupannya yang dahsyat ini.
Masalah ini tidak akan mudah bila memperhatikan dari kasta. Jelas sekali, Tari dan Arya adalah dua orang yang berbeda dari kasta. Cowok itu hanyalah seorang hamba yang keterlaluan meminta hati seorang permaisuri.
Ayah menoleh lagi, kali ini disertai kerutan yang terasa tidak menyenangkan. "Terus apa yang bikin kamu takut suka sama anak itu?"
Arya meneguk salivanya. Harus dimulai dari mana ia bercerita? Ia ikut menyulut rokok kreteknya, mengisap kuat seolah mencabut segala kegugupannya lalu menguapkannya ke udara. Mengalirlah semua cerita yang ada.
Mentari Lakshmi Soedjatmiko, perempuan manis dari Kudus yang sejak dulu menjadi tambatan hatinya. Jangan tanyakan kenapa ia menyukai Tari sampai segila ini? Gadis itu mempunyai perbedaan yang tak bisa didefinisikan oleh Arya, seperti kecantikan putri Jawa menurun padanya, seperti ada aura yang bersinar laiknya Ken Dedes yang membuat Ken Arok buta mata.
Tari tuh emang cantik, kalem banget, setiap ada pemilihan putri cantik dalam ajang fashion di sekolah, maka gadis itu menjadi kandidat terkuat selama beberapa dekade.
Manja, penyayang, lembut, pemarah namun mudah luluh. Seorang pria pasti sangat menyukai gadis yang membuatnya menjadi seorang pelindung. Namun hal lain yang membuat Arya takut adalah dari mana Tari dilahirkan.
Dari seorang rahim keturunan ningrat, keluarganya juga punya banyak sekali usaha, yang terbesar adalah toko kain, batik, dan nggak mungkin orangtua Tari bakalan seenaknya memilih calon menantu untuk anak semata wayangnya. Terlalu banyak persyaratan.
Minimal kalau Arya melamar Tari, cowok itu sudah harus punya kerja mapan di kantor, sebuah Alphard mewah, dan rumah gedong, agar dirinya tidak malu saat meminta anak semata wayang keluarga Soedjatmiko untuk menjadi istrinya.
"Kamu terlalu lancang menyukai perempuan, Ar," ucap Ayah dalam. Tidak ada nada marah di sana, pun tak ada nada menolak yang membuat Arya ketakutan.
Yang ada sebuah keheranan karena tampak sekali pria tua itu berpikir keras dalam diamnya. "Maksud ayah?"
Ayah menoleh, menatap mata Arya yang berkabut kecemasan. "Namamu Arya Wijaya, diambil dari nama seorang pendiri Majapahit. Raden Wijaya, dan seorang bijaksana bernama Arya Wiraraja, sudah seharusnya bila kamu ingin memperjuangkan Lakshmi-mu, maka kau harus berjuang sekeras mereka. Sekeras Raden Wijaya memperjuangkan Gayatri Rajapatni untuk bisa bersanding menjadi suaminya."
Lalu, tiga kata yang membuat Arya terdiam malam itu. "Pantaskan dulu dirimu."
***