Andara pulang dari rumah keluarga Adiwiguna pada pukul dua dini hari, karena saat itu ternyata Ratih adalah tamu yang membuat kegiatan panas adiknya terhenti.
Sang kakak panik akibat rumah kedua orang tuanya dilalap si jago merah, sehingga saat mengecek keadaan ayah dan ibunya yang sudah dibawa ke rumah sakit terdekat, ternyata ia baru mengetahui jika sang adik belum pulang dari rumah Arjuna.
Alhasil acara penjemputan paksa pun terjadi di sana, "Mbak 'kan udah bilang berulang-ulang kali, kalau kamu nggak boleh ngejar-ngejar si Juna lagi! Sekarang lihat akibatnya, kan? Malah pakai acara nginap segala? Sudah eror apa bagaimana otakmu itu? Kamu lupa kalau Mama sering nggak ingat sama api kompor dan Papa itu tipe pria yang nggak peka sama sekali? Kalau sampai mereka terpanggang tadi bagaimana, Dar?! Bagaimana caranya aku bisa memaafkan kelalaianmu, hah? Untung nggak ada rumah lain yang terbakar selain rumah kita. Ya ampun Tuhannn... Bisa gila aku lama-lama kalau kayak gini terus!" bersama dengan serentetan amukan yang tidak enak di dengar oleh dua indera pendengaran Andara.
Akan tetapi wanita dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menjawab sepatah kata pun di sana, karena memang sang ibu lupa mematikan api kompor dari sepanci sup iga sapi yang Andara titipkan sebelum mengantar pesanan Ambarsari.
Yang bisa Andara lakukan hanyalah menangis tanpa suara, "Sebaiknya kamu pikirkan lagi rencanamu untuk berjualan makanan itu, Dar. Di awal Mbak sudah nggak setuju kamu masak dari rumah, kan? Selain karena pembeli pengennya makanan masih hangat, umur Mama sama Papa sudah nggak muda lagi buat bantu-bantu kamu jualan nanti. Mendingan kamu itu kerja kantoran aja atau kalau memang tetap pengen jualan, ya kamu masaknya jangan dari rumah. Lagi pula nggak ada salahnya 'kan masak langsung di tempat jualanmu kayak toko kue dan kateringnya Mama? Apa kamu nggak tahu masak makanya harus ditemani Mama segala? Kapan mandirinya kamu nanti?" terlebih saat sang kakak mencecarnya dengan serentetan kata-kata tersebut.
Tentu saja air matanya semakin deras mengalir, "Iya, Mbak. Dara nggak jadi jualan aja kalau gitu," hingga pada akhirnya ia pun memilih untuk menyerah sebelum bertanding, demi kenyamanan kedua orang tuanya.
Sementara di tempat lain, Arjuna mendapatkan omelan yang sama seperti Andara, "Baiklah kalau memang begitu. Mama nggak akan paksa kamu. Mama percaya sama semua pengakuanmu, tapi Mama minta temui Dara besok dan minta dia kerja sebagai asisten pribadimu di kantor!" tentu saja karena adegan panas itu.
Sayangnya apa yang menjadi isi ocehan Ambarsari, begitu bertentangan dengan logika sang putra, "Mama ini apa-apaan sih? Aku 'kan udah bilang semua itu terjadi di luar keinginanku. Kenapa sih Mama terus aja paksa aku buat nikah sama dia? Aku udah bisa move on, Ma! Bukan perempuan gampangan seperti Dara yang mau aku jadikan istri! Dia terlalu mudah untuk buka baju sana sini, seperti yang Mama lihat tadi subuh! Aku nggak akan mau sakit hati untuk kedua kalinya lagi, Ma. Nggak akan mau!" hingga jawaban penuh penekanan, berhasil membuat ibu satu anak itu kembali meradang.
PLAK
"Jaga bicaramu, Mas! Dara nggak mungkin seperti itu, kalau dia nggak punya perasaan juga ke kamu! Apa ini balasan dari usaha yang Mama lakukan selama hampir satu tahun? Apa kamu pernah merasakan bagaimana sakitnya mendengar amanat Papa yang ingin kamu menikah dengan Dara? Mama capek, Mas. Mama juga nggak mau paksa-paksa kalau bukan karena permintaan Papa yang pengen besanan sama Mas Aji! Tolonglah, Mas. Sekali ini aja kamu bantu menjalankan amanat Papa, biar perasaan Mama lega. Bisa 'kan, Mas?" namun air mata juga ikut mengalir, akibat mengenang tentang mendiang suaminya.
Akan tetapi Ambarsari juga tidak membiarkan kedua telinganya mendengar balasan dari Arjuna.
BRAKKK...
Melainkan lebih memilih untuk membanting pintu kamar, hingga membuat sang CEO semakin terpaku di tempat.
Tamparan yang sempat Arjuna terima, bahkan tak berhasil membuat pita suaranya kembali mengeluarkan bunyi apa pun. Namun itu bukan berarti ia menyerah dengan keadaan.
Untuk saat ini, hanya suara hatinya saja yang masih bisa melontarkan serentetan kata-kata, "Awas lo, Dar! Jangan pernah berpikir lo bisa ngedapetin gue, walaupun Mama udah sepenuhnya ngedukung elo. Nggak akan pernah gue biarkan rasa sakit itu datang lagi untuk yang kedua kalinya, di saat gue udah mulai move on dari lo!" karena memang pikiran pria tiga puluh tahun itu sedang berantakan.
Ditambah lagi kejantanannya yang susah untuk berkompromi sejak beberapa menit setelah ia sadar sampai sekarang, membuat konsentrasinya pecah ke mana-mana, "Apa tadi gue beneran nggak pakai kondom? Terus kalau dia ngaku-ngaku hamil atau beneran hamil giman- Haduh, celaka! Ini nggak boleh sampai terjadi!" sehingga ia pun bergerak cepat menuju ke kamar tidurnya di lantai dua, untuk berendam air dingin.
Tik tok tik tok tik tok tik tok
Namun tiga puluh menit kemudian, Arjuna sudah kembali ke lantai satu dengan menggunakan pakaian yang super rapi, "Mencegah lebih baik dari pada mengobati, bukan? Jadi sebelum terlambat, gue yang harus lebih dulu menyerang daripada diserang lalu kalah seperti kemarin," tentu saja karena ia berniat untuk menemui Andara di rumahnya.
Selain ia ingin mencari tahu kebenaran tentang kebakaran yang keluar dari mulut Ratih, ia juga ingin mencekoki mulut sang mantan tunangan dengan obat anti kehamilan atau semacamnya.
"Kamu mau ke mana, Mas? Antarkan Mama ke rumah sakit buat jenguk Jeng Mira sekarang ya? Tapi kalau sudah sampai di sana, tolong kamu jangan ke mana-mana dulu, karena Mama mau ajak kalian berdua berunding masalah amanat Papamu," namun Ambarsari sudah lebih dulu menegur dan membuat langkah sang putra terhenti.
"Aduhhh... Si Mama ini ngapain pakai acara ikut-ikutan ketemu sama Dara segala sih? Gimana cara ketemu sama si Husain kalau kayak gini caranya? Parahhh...!" lalu berhasil pula membuat ide membeli obat anti kehamilan dari apotik milik salah satu kenalannya terancam gagal total.
Oleh sebab itu Arjuna terpaksa berbohong di sana, "Juna nggak bisa anterin Mama ke sana, Ma. Juna ada meeting sama klien di Bandung nanti pagi jam tujuh. Jadi Juna buru-buru on the way ke sana sama si Cindy, biar nggak terlambat, terus bisa cepat juga pulang ke Jakarta nanti," karena ia sangat paham bagaimana watak sang ibu.
Tanpa menunggu balasan, secepat kilat Arjuna melangkah lebar menuju ke bagasi dan mengambil posisi siap untuk mengemudi, "Batalkan meeting itu, Mas! Kamu nggak boleh jalan sama Cindy ke Bandung, tapi harus pergi sama Dara!"
"Apa, Ma?!" tetapi Ambarsari tak kalah cepatnya.
Ia bahkan berhasil menahan pintu mobil, sebelum sang CEO berlalu dari hadapannya, "Iya. Kamu harus pergi sama Andara, Mas Juna. Biar nanti nggak aneh-aneh sama si Cindy pas pikiranmu lagi m***m kayak tadi! Mengerti?" lalu semakin membuat otak Arjuna kusut seketika.
Tidak ingin berdebat lagi, ia pun akhirnya pasrah dengan perkataan sang ibu, karena baginya itu hanya akan memperlambat rencana jahat yang ingin ia lakukan pada Andara.