09

1719 Words
Happy Reading and Enjoy~ Ketika pagi harinya terbangun, Elina merasakan seluruh tubuhnya sakit. Ia memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap-siap pergi ke perpustakaan, ia harus mengabari Sebastian bahwa mereka akan bertemu di sebuah desa. Elina berjalan tertatih ke perpustakaan. Seperti biasa, ia menyuruh Irene duduk di ujung ruangan, sementara dirinya sendiri berjalan ke arah rak-rak  yang belum pernah dikunjunginya. Sebastian pasti tahu bahwa dia berada di sana. Elina memilah-milah buku-buku sembari menunggu lelaki itu. Kepalanya pusing luar biasa, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Elina memijit pelipisnya pelan. Ia mendengar suara langkah kaki mendekat. itu pasti Sebastian. Ia mendongak dengan wajah ceria, senyumnya mengembang di ujung bibirnya, tetapi raut wajahnya berubah ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya bukan Sebastian melainkan, Aslan. Lelaki itu memakai jubah besar berwarna hitam, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa kau sedang menunggu seseorang, Ratuku? Kuharap keberadaanmu di sini bukan untuk pertemuan rahasia." Buru-buru Elina membungkukkan badan sebagai ucapan salam. Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum.  "Tentu saja tidak, Yang Mulia. Saya tidak berani." "Bisa kau jelaskan kenapa kau bisa berada di perpustakaan? Aku ingat aku sudah memberimu izin untuk keluar ke pasar atau ke mana pun yang kau mau sebagai rakyat biasa." Aura hitam menguar dari tubuh Aslan, membuat keadaan di sekelilingnya terasa mencekam, Elina sampai memegangi dadanya yang terasa sesak.  "Saya memang sering berada di perpustakaan, Yang Mulia. Karena Anda tidak mengizinkan saya untuk berpartisipasi dalam urusan kerajaan, saya menghabiskan waktu saya di perpustakaan agar bisa menghilangkan rasa bosan." Aslan berjalan mendekat ke arahnya, membuat Elina segera memundurkan tubuhnya. Tangannya sontak memegang lehernya, ia tidak akan membiarkan Aslan meminum darahnya. Hari ini ia akan pergi, jika lelaki itu meminum darahnya pasti ia akan pingsan lagi. "Kau menyalahkanku? Jika kau memang berada di perpustakaan ini untuk membaca sebagaimana yang kau katakan, kau tidak mungkin menyambutku dengan senyum lebar, lalu ketika melihat ku senyummu pudar." "Bu-bukan seperti itu, Yang Mulia. Tadi saya pikir Irene yang datang." "Irene?" Aslan mengangkat alisnya sebelah.  Elina mengangguk kuat-kuat. "Pelayan pribadi yang Anda sediakan untuk saya." Wajah Aslan menegang, rahang lelaki itu mengeras, menandakan bahwa saat ini dirinya marah. "Jadi kau lebih suka menyebarkan senyummu kepada pelayan rendahan, dari pada kepadaku, Rajamu?" Elina menghembuskan napas panjang. Salah lagi! Sepertinya Aslan selalu punya jawaban untuk setiap ucapannya, lelaki itu begitu egois dan tidak mau kalah. "Mohon jangan tersinggung, Yang Muli. Saya hanya merasa lucu, sebab, sudah dari tadi saya berada disini dan saya rasa Irene mungkin kelelahan dan meminta izin untuk beristirahat, maka dari, itu saya menyambutnya dengan senyuman. Dan saya terlalu terkejut saat melihat Anda berada di hadapan saya, hal itu membuat senyuman saya seketika hilang." "Kau selalu membantah dan menghindar. Mungkin lain kali aku akan memberi pelajaran padamu, tetapi tidak sekarang, saat ini aku sedang terburu-buru." Aslan membalikkan tubuhnya, mengambil salah satu buku dari rak-rak yang berjejer di sana dan langsung wush ... menghilang. Elina bersandar lemas di kursi. Buku apa yang diambil Aslan? Mengapa lelaki itu repot-repot datang ke perpustakaan untuk mengambil buku? Apa ia telah melewatkan sesuatu yang penting? Elina langsung berjalan ke arah rak-rak yang tadi dikunjungi Aslan, ia meneliti judul-judul buku yang berada di sana. Tidak ada yang spesial, tapi apakah mungkin Aslan mengambil buku secara asal? Atau jangan-jangan buku-buku rahasia yang berada di perpustakaan di desain dengan sampul yang biasa-biasa saja? Saat ia sedang fokus membuka satu persatu judul yang ada di sana, bahunya disentuh oleh seseorang. Elina langsung membalikkan tubuhnya dan mengarahkan belati yang selalu ia simpan di pinggangnya kepada orang yang telah menyentuhnya "Oh ayolah, aku tidak ingin menyakitimu, aku hanya ingin menegurmu. Kau terlalu fokus membaca sehingga tidak mendengar kedatanganku." Elina belum menurunkan belatinya ia menatap Sebastian dengan tatapan tajam lalu berbisik pelan kepada lelaki itu. "Aslan datang kemari dan dia mencurigai ku menunggu seseorang, biarkan kita berada dalam situasi ini. Mungkin mata-mata Aslan akan menyampaikan padanya. Anggap saja ini pertemuan pertama kita dan begitu kurang ajarnya kau menyentuhku, lalu aku sebagai ratu kerajaan ini ingin menghukummu." Sebastian juga ikut berbisik. "Mengapa Aslan ke sini?" "Aku juga tidak tahu, aku sedang menunggumu tadi dan dia tiba-tiba muncul dihadapanku." "Mari kita batalkan rencana ini, jika dia bertanya mengapa kau tidak jadi pergi, bilang padanya bahwa tubuhmu lelah. Dia sudah mencurigaimu. Sudah kukatakan padamu kemarin bahwa kau harus berhati-hati, apa yang kau ucapkan sehingga membuat dia mencurigaimu?" "Entahlah," jawab Elina muram. "Kupikir tadi malam aku sudah cukup berhati-hati." "Ketika dia memberimu izin, apa kau terlalu senang atau bagaimana ekspresimu?" "Demi dewa-dewi aku sudah tidak mengingatnya lagi." "Aslan pandai mempelajari raut wajah, dia langsung mengetahui jika kau berbohong." "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" "Singkirkan belatimu aku akan bersujud untuk meminta maaf padamu, anggap saja pertemuan kita adalah yang pertama." Elina langsung menyingkirkan belatinya dan Sebastian membungkukkan badannya, lelaki itu bertindak seperti ksatria yang sedang memberitahukan kemenangan kepada raja. Cukup lama lelaki itu bersujud di depannya, hingga ia bangkit kembali ketika merasakan tidak ada orang yang sedang memperhatikan mereka. "Kembalilah ke kamarmu sekarang, bawa satu buku untuk kau baca di sana." "Dia mau minum darahku tadi malam sampai membuatku pingsan, lalu pagi ini dia mendatangiku tanpa alasan yang jelas. Aslan mengambil salah satu buku di rak, aku menyesal tidak melihat buku yang dia pilih." "Itu bukan masalah, dia hanya ingin memastikan bahwa kau datang ke perpustakaan untuk membaca. Sudah pergi sana, kita akan bertemu lagi di perpustakaan ini 3 hari lagi." "Baiklah, aku pagi hari datang ke perpustakaan. Jangan terlalu lama membuatku menunggu." Sebastian menarik ujungnya bibirnya sekilas, membentuk senyuman kecil. Lelaki itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, lalu melesat pergi dari hadapan Elina. Elina sendiri masih memilih-milih buku yang akan dibawanya ke kamar, ia tidak mungkin langsung pergi ke kamar ketika Sebastian baru saja keluar dari perpustakaan. Aslan dan mata-matanya pasti bisa pasti mencurigai. Ketika ia sudah mendapat buku yang diinginkannya, Elina langsung pergi dari perpustakaan. Ia tidak menyadari bahwa Aslan mengirimkan lebih dari satu mata-mata untuk mengawasinya, tetapi untuk saat ini akting mereka berdua sangat baik, sehingga membuat mata-mata yang dikirim Aslan tidak menaruh curiga. *** Aslan menatap peta yang berada di depannya, memperhatikan daratan-daratan yang masih belum dikuasainya. Mereka benar, ia tidak pernah puas dengan apa yang dicapainya hari ini.  Terlahir sebagai anak selir membuatnya dikucilkan dan diperlakukan dengan berbeda. Ia  bersumpah tidak akan pernah menikahi selir dan punya anak dari selir itu. Ia tidak mau anaknya mengalami apa yang dialaminya, terlebih dia tidak mau punya keturunan. Heddon masuk sesudah mengetuk pintu terlebih dahulu, lelaki itu membungkuk sebagai rasa hormat sebelum mengadukan pengintaiannya. "Permaisuri kembali ke kamarnya, Yang Mulia. Dia mengambil satu buku dari perpustakaan. Tadi Sebastian juga datang ke perpustakaan, tapi sepertinya itu pertemuan yang tidak direncanakan. Sebab,  permaisuri mengarahkan belati ke leher Sebastian ketika lelaki itu ingin menyapanya." "Ada lagi?" tanyanya. Heddon berlutut. "Tidak, Yang Mulia." "Kau boleh pergi." Tidak perlu di perintah dua kali, lelaki itu langsung menghilang. Aslan bersandar pada kursi kebangsaannya, ia berhasil membunuh seluruh keluarganya dan menduduki tahta ini. Ia tidak akan membiarkan siapapun merebut kursi kerajaan darinya.  Tidak ada yang tahu musuh berbalut selimut yang ada di dekatnya, Aslan selalu berhati-hati pada orang di sekitarnya walaupun itu sahabatnya sendiri, karena raja diharamkan mempunyai sahabat. Mereka bisa menghianatinya suatu saat nanti.  Mungkin hanya Borz yang tidak akan mengkhianatinya, karena lelaki itu punya hutang nyawa pada Aslan. Aslan bangkit, lelaki itu berjalan ke arah Jade yang diletakkannya di dalam pusaka suci miliknya. Batu giok yang menolongnya saat ini. Tidak ada yang tahu bahwa kelemahannya selain berada pada jantungnya, salah satunya adalah batu giok ini.  Batu yang menjadi saksi kesetiaannya pada iblis. Kekuatan iblis nya tersimpan di batu giok ini. Jika seseorang berhasil mendapatkannya dan memecahkannya, hidup Aslan akan berakhir.  Aslan tersenyum sinis, ia kembali menyimpan batu itu ke dalam peti pusaka nya. Lalu menyimpan peti itu dengan memakai banyak tenaga dalam.  Ia berjalan keluar istana, menuju halaman Alvar. Halaman yang menjadi tempat kuburan untuk para raja terdahulu dan juga petinggi istana serta pahlawan.  Halaman Alvar dibangun ketika dirinya mulai memimpin, walaupun seperti ini, ia berbaik hati ingin memberikan kuburan untuk mereka dengan layak. Mungkin jika raja-raja yang lain sudah membuang tubuh mereka ke lautan. Aslan masih menghargai mereka yang pernah merawatnya. Hingga ia bisa bertumbuh besar untuk membalas dendam. Ia berjalan menuju kuburan ibu tirinya ratu Adalia. Aslan mengambil batu kuburan ratu Adalia, lalu menginjaknya. "Halo, ibu. Apa kau suka berada di sana? Bukankah anakmu ini baik, membiarkanmu istirahat untuk selamanya."  Ia tersenyum sinis. "Kau pasti senang berada dengan suami yang kau cintai, dan anak yang kau banggakan."  Aslan mendekat, kedua matanya membesar. "Coba lihat bagaimana akhir dari anak kesayanganmu itu, anak yang selaku kau banggakan. Di mana ia berada saat ini? Apakah dia berada di neraka yang sama denganmu?"  Ia tertawa miris. "Singgasana tempat anakmu aku yang menempati. Kau senang, bukan?" Hening.  Hanya deru angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar. Ia berbicara pada udara. Aslan sering melakukannya.  "Kenapa kau tidak menjawabnya, ibu?"  Aslan tertawa terbahak-bahak. Nada suaranya terdengar mengerikan, dari tubuhnya keluar aura hitam yang mencekam. Beberapa hewan kecil yang berada di sana menjauh, memilih tempat berlindung.  "Ah, kau sering mengabaikanku. Kau selalu mendengar ucapan anak kesayanganmu, tapi kau sama sekali tidak pernah mendengarkanku." Ia merentangkan kedua tangannya. "Lihat sekarang. Ucapanku yang di dengar oleh seluruh rakyat Alasjar. Aku yang paling kuat."  Aslan mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedih. "Sayang sekali kau tidak bisa melihat semua perubahan ini." Menghirup udara dalam-dalam. Aslan membungkuk untuk mengambil batu kuburan yang tadi diinjaknya. Ia meletakkan kembali batu kuburan itu.  "Aku merindukanmu, apa kau tidak merindukanku?" Dahinya seketika berkerut. Hidungnya mencium aroma asing. Aslan memutar tubuhnya cepat, memindai seluruh halaman dengan mata elangnya. Tidak ada siapa pun, tapi ia yakin tadi mencium aroma asing. Aroma mawar yang lembut. Seperti aroma ... Daviana. "Besok aku akan mengunjungimu lagi. Aku akan pergi untuk memastikan tikus pengganggu yang berkeliaran." Aslan melakukan teleport, ia langsung menghilang dan muncul kembali di ruangan Daviana. Gadis itu berdiri di balkon, rambutnya yang indah terurai. Beberapa helai terbang tertiup angin. Sama sekali tidak menyadari Aslan ada di belakangnya.  Ia memejamkan matanya, memindai aroma gadis itu. Aroma yang sama seperti di halaman Alvar. Mawar yang lenbut. Saat kedua matanya terbuka, pupilnya berubah menjadi hitam.  Ada yang mempermainkannya dengan aroma milik Daviana. Pasti ada seseorang yang ingin menjebaknya dan mengkambing hitamkan permaisurinya. Aslan tersenyum sinis. Ia belum membiarkan Daviana mati, jika gadis itu mati, stok pengobatan jantungnya akan hilang.  Jadi, siapa pun yang berani mengkambing hitamkan permaisurinya, akan mendapat ganjaran.  Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD