Berpura-pura bodoh

742 Words
"Kamu apa-apaan sih, Dek? Suami pulang ngomong ngawur nggak karuan, main pergi begitu saja nggak pakai ngaca apa kalau penampilanmu awut-awutan nggak karuan. Kamu mau malu-maluin aku? Biar orang di Batalyon nyela aku jadi kepala rumah tangga yang ngga becus urus istri?" Aku terpaku menatapnya yang dengan mudahnya menghinaku, kedua tanganku terkepal dan seketika saat itu juga bayang-bayang akan tinjuku yang mampir ke wajahnya dan tendangan yang hinggap di wajahnya, tidak lupa juga dengan tusukan belati tepat di ulu hatinya berkelebat di dalam otakku. Aku begitu tergoda untuk menghajar Mas Juan hingga mati sampai wajah pongah yang memandangku rendah dari pria yang aku bersamai selama 10 tahun tersebut menghilang lenyap untuk selamanya, namun di detik terakhir kewarasanku kembali. Tidak. Terlalu mudah jika hanya membalas berupa kekerasan fisik karena yang dihancurkan adalah hati dan juga perasaan Rinjani. Mas Juan dan Mentari bermain hati di belakangku maka aku akan membalasnya dengan cantik. Melaporkan mereka tidak akan menyelesaikan masalah karena Mentari bukanlah lawan yang mudah untuk aku jatuhkan karena orangtua Mentari adalah seorang Jendral berpengaruh di Militer, yang ada justru aku yang disudutkan pada akhirnya. Aku harus memiliki senjata sama kuatnya jika ingin menghancurkan mereka. Sebelum itu, aku harus bisa menahan diri untuk mendapatkan bukti yang kuat. Menelan semua kalimat hinaan itu bulat-bulat aku memandang suamiku dengan nanar, jika biasanya aku akan terdiam penuh kesedihan dan bertanya-tanya apa kurangku hingga suamiku merendahkanku, maka sekarang saat aku sudah mendapatkan jawabannya, rasa sakit itu menjadi sebuah racun yang membunuh perasaan sedihku dan memupuk kemarahanku kepada suamiku. "Kamu kenapa sih Mas? Harus banget kamu ngomong sama aku sekasar ini?" Aku mendekat, menatap langsung ke dalam matanya, aku ingin menemukan binar cinta yang seharusnya ada disana untukku namun nyatanya nihil. Bahkan rasa bersalah karena sudah meninggalkan kami, keluarga kecilnya di hari jadinya pun tidak aku temukan. Untuk kesekian kalinya dia tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan kepadanya. Sudah aku bilang kan selama ini aku seorang istri ruang ibarat kata sendiko dawuh atas segala yang dia ucap namun hari ini aku membangkang kepadanya. "Aku nggak budeg loh, Mas. Yang ada aku justru bingung sama sikapmu ini, kamu nggak pulang setelah semalaman anakmu nungguin kamu setelah susah-susah bikinin kue ulang tahun, pulang-pulang bukannya salam yang bener dan jelasin kenapa kamu nggak pulang malah bentak-bentak aku, ngatain aku durhaka, malu-maluin kamu, aku ini perempuan normal yang akan merajuk jika suaminya melupakan dirinya di momen pentingnya. Seharusnya kamu bujuk aku saat aku merajuk bukan malah nyebut aku sebagai istri yang malu-maluin kamu." Kalian tahu, saat aku berbicara seperti ini selayaknya perempuan bodoh yang tidak tahu apa-apa dan masih mengharap belas kasih dar suamiku yang nyata-nyata mendua ini, aku merasa jijik pada diriku sendiri. Ya, aku harus berpura-pura bodoh untuk melihat sejauh mana pria yang aku dampingi ini menggadaikan cintaku. Dan bisa aku tebak, alih-alih kalimat menenangkan yang aku dapatkan justru cibiran darinya yang merendahkanku. "Nggak usah kayak anak kecil deh, Dek. Perkara nggak bisa rayain ulang tahun sama kamu saja ngambek sampai ngomong ngawur segala. Aku nggak pulang karena harus pergi sama Danyon, mau aku jelasin apa yang kami obrolin juga kamu nggak akan paham urusan Militer. Ngertimu cuma rak sepatu sama rak helm." Mata hitam itu bergerak gelisah saat mengutarakan alasan yang terdengar berbalik menyerangku tersebut. Ada kemarahan, namun di saat bersamaan dia pun gugup saat berbicara. Aku terlalu mengenal suamiku hingga aku sangat paham bagaimana dia sedang berkelit sekarang ini. Susah ya orang selingkuh. Perlu effort untuk berbohong sampai sebegitunya hingga lagi-lagi dia menghancurkan hatiku dengan hinaan akan pekerjaanku. "Kamu kenapa sih Mas belakangan ini sering banget ngatain pekerjaanku? Kamu kayak bukan Juanda suamiku yang selalu support apapun yang aku lakukan.." Mataku berkaca-kaca bersiap untuk menangis, kesal marah dan kecewa. Sakit hatiku benar-benar sampai ke ulu hati. "Apa salahnya kerjaanku itu? Dari jualan perabotan yang kamu hina-hina itu aku bisa bantu sekolahmu, aku juga bisa bantu kamu buat renovasi rumah orangtuamu." Wajah kesal yang sebelumnya tampak kesal dan mengeras tersebut berubah. Kalimat yang aku ucapkan dengan tenang namun sarat akan sakit hatiku tersebut sepertinya menyentil perasaannya. Seharusnya sampai di titik ini suamiku tersadar dan meminta maaf, tapi sepertinya suamiku yang aku cintai telah lenyap untuk selamanya. Alih-alih kata maaf, kepongahan dan tinggi hatinya sudah membuatnya gelap mata hingga buta tidak lagi bisa melihatku sebagai wanita yang harus di lindunginya. "Apaan sih kamu ini, Dek? Diomongin begitu saja baper! Pakai ungkit-ungkit semuanya. Sudah jadi kewajiban istri buat bantu suami. Lagipula memang kenyataannya kan kalau kamu kumpul sama rekanku nggak akan paham."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD