Minuman Terakhir

634 Words
"Dek, bisu kamu, hah? Dipanggil suami nggak nyahut malah diem saja ngurusin anak orang. Suami pulang bukannya disambut malah pura-pura budek? Mau jadi istri durhaka kamu?" Seketika gerakanku terhenti, rasanya begitu sesak mendengar nada tinggi suaranya yang membentakku. Bohong jika aku tidak terluka dengan caranya berbicara, meskipun aku hidup di tengah keluarga yang sederhana, orangtuaku, almarhum Ayah dan Ibuku, beliau berdua selalu berbicara dengan baik kepadaku, hal yang aku tiru hingga sekarang saat berhadapan dengan suamiku. Aku mengabdi kepadanya sebagai istri sebaik mungkin, dan sekarang saat untuk pertama kalinya aku tidak bergegas menjawab panggilannya seperti yang biasa aku lakukan, dia langsung membentakku lengkap dengan kata-kata menyakitkan apa aku ingin durhaka kepadanya? Apakah melawan suami yang berselingkuh termasuk dosa? Aku rasa Tuhan tidak sepicik itu dalam memperlakukan umat-Nya? Dengan hati yang meredam rasa dongkol dan keinginan kuat untuk menamparnya aku berbalik menatap ke arah suamiku. "Dek......." Pria yang datang dengan kemeja hitam itu terperanjat mendapati raut wajahku, entah hanya berpura-pura atau dia benar-benar terkejut namun dia buru-buru menghampiriku dengan khawatir, "kamu kenapa, hah?" Tanyanya lagi, kedua tangannya mencengkeram bahuku memaksaku untuk menatapnya, hal yang aku lakukan dengan enggan dan buru-buru kutepis kedua tangannya. Membayangkan tangan itu semalam digunakan untuk mendekap wanita lain membuatku seketika merasa jijik. Entah hilang kemana cintaku yang besar kepadanya, rasa itu memudar begitu saja berganti dengan kebencian. "Nggak kenapa-kenapa, jadi tolong minggir. Kamu mau kopi atau teh, aku buatkan. Tolong jangan berteriak di depan Huda ataupun membentakku, kami bukan anggotamu yang bisa sesuka hatimu kamu teriaki, Mas." Aku membuang wajah. Tidak suka rasanya aku menatapnya lebih lama. Hatiku sudah terlalu hancur dan aku bukan orang yang pandai berpura-pura. Tanpa menunggu jawaban dari Mas Juan, aku mengangkat Huda yang kebingungan dan membawa bocah tiga tahun tersebut ke dapur. Jika biasanya anak kecil seusia Huda sedang aktif-aktifnya, sepertinya Huda paham jika aku dan atasan Ayahnya ini tengah bertengkar, dia diam di kursi meja makan sembari mengunyah biskuit yang aku berikan sembari aku memanaskan air untuk kopi dan teh. Dari langkah kaki yang terdengar di belakangku aku tahu jika Mas Juan mengikutiku, namun kembali lagi, aku tidak peduli. Aku tidak lagi menawarkan apapun kepadanya seperti biasa, aku pun tidak lagi menceritakan hal-hal random seperti yang biasanya aku lakukan. Pantas saja belakangan ini saat aku mencoba menghidupkan suasana hangat dalam rumah tangga dengan mengobrol tentang hal apapun selalu berakhir dengan suamiku yang menyebutku cerewet, menurutnya kalimatku tidak lebih daripada sebuah ocehan yang membuatnya sakit kepala, rupanya pria yang menjadi duniaku ini sudah menemukan bahagia dan keseruan ditempat lainnya, tidak lagi padaku hingga segala upayaku untuk menjaga rumah tanggaku agar tetap hangat terasa seperti gangguan untuknya. Kembali, rasa sesak ini menyerangku. Bayang-bayang candle light dinner yang dilakukan suamiku dengan juniorku benar-benar sukses membuatku kehilangan nafas dan mematikan perasaanku kepadanya. Sehebat itulah rasa sakit hatiku atas luka yang sudah dia torehkan. "Kamu ini sebenarnya kenapa sih, Dek? Suami pulang bukannya disambut baik malah di pelototin, dikasih muka asem, kalau kayak gini bikin males pulang tahu nggak!" Tidak peduli dengan omongan menyakitkan yang bersikap menyerang oleh Mas Juan, aku lebih memilih sibuk menuang air panas untuk kopi dan juga teh, tanpa banyak bicara aku menyorongkan dua minuman itu tepat di depan wajahnya yang sudah tidak karuan. Aku tersenyum kecil, bukan senyuman bahagia atau hangat seperti yang aku berikan kepadanya melainkan senyuman mengejek yang menunjukkan betapa hatiku sudah mati terhadapnya. "Silahkan diminum kopi atau tehnya, suamiku Sayang. Pilih mana yang kamu suka, mulai sekarnag kamu tidak akan pernah mendengar rajukanku lagi pasal kamu yang tidak menghabiskan teh yang aku buat, atau soal kopimu yang kemanisan." "............" "Bahkan kamu tidak pulang pun aku tidak akan menangisimu lagi. Kopi dan teh yang ini adalah minuman terakhir yang mungkin akan aku buatkan untukmu dengan penuh perasaan." "..........::" "Jadi, nikmati baik-baik selagi panas karena nanti saat dia dingin, rasanya tidak akan sama lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD