Rido menunggu di lantai dasar sebuah ruko dengan harap – harap cemas. Satu jam yang lalu, Kinanti mengatakan bahwa ia akan berangkat menuju kantin di mana biasanya mereka janjian bertemu untuk makan siang. Namun, sayangnya hujan turun dengan sangat deras hingga membuatnya harus menunda kepulangannya kembali ke kantor tempat perusahaan milik keluarga Wirayudha bertengger. Setelah hampir satu jam menunggu, hujan tak jua kunjung reda. Ia khawatir Kinanti terlalu lama menunggunya. Ia pun memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu dan mengendarai motornya di tengah hujan dengan menggunakan jas hujan andalannya.
Tak sampai satu jam, Rido sudah tiba di tempatnya bekerja. Keadaan kantor sangatlah sepi. Ia yakin banyak karyawan yang terjebak di kantin atau warung makan karena tidak membawa payung. Ia berkeliling kantin, tetapi tak jua ia temukan Kinanti. Ia mencoba menghubungi ponsel Kinanti, tetapi sang pemilik ponsel tak jua menjawab panggilan teleponnya. Ia pun berinisiatif mendatangi pos satpam untuk menanyakan apakah sang security melihat kedatangan Kinanti ke tempat itu.
“Pak Ratmin.”, panggil Rido.
“Eh, si Rido. Keujanan Do?”, tanya Suratmin.
“Sedikit. Saya pakai jas hujan kok.”
“Aduh, Do. Kalau lagi ujan begini mah, kamu berteduh aja dulu. Bahaya lagi hujan deres gini bawa motor.”
“Iya, Pak.”, balas Rido seraya tersenyum. Ia rela hujan – hujanan demi istri tercintanya. “Oh ya Pak, tadi istri saya sudah datang ke sini belum, ya?”
“Udah, Do. Tadi dia dateng sama si pak bos. Mungkin ketemu di jalan. Istri kamu basah kuyup.”
“Pak Galih?”
“Iya, pak Galih. Coba aja cari di pantry atau di ruang tamu.”
“Oh ya udah, terima kasih ya, pak.”
“Yo, sama – sama.”
Rido berjalan memasuki gedung kantor itu. Perasaannya menjadi tidak karuan. Hatinya was – was. Semoga saja kecurigaannya tidak benar. Ia tidak melihat Kinanti berada di ruang tamu. Bahkan, Tina sang receptionist pun tidak berada di meja kerjanya. Hanya ada mbak Yuyun, salah satu office girl kantor mereka, yang berjaga di meja penerima tamu tersebut. Mungkin saja Tina sedang makan siang bersama teman – teman satu gengnya di kantor. Kemudian, Rido mencoba mencari keberadaan Kinanti di dalam pantry. Hasilnya nihil. Hanya ada dua karyawan magang dan tiga karyawan dari mailing room yang sedang menyantap makan siang mereka. Dengan berusaha keras menguatkan hatinya, ia berjalan menuju ruang kerja sang pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Tidak ada Prita yang biasanya berjaga di depan ruang kerja bos mereka. Pasti wanita itu juga sedang terjebak di warung makan favoritnya. Ia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang kerja itu. Namun, ia urungkan niatnya. Ia khawatir dikira lancang berani mengetuk pintu ruang kerja sang bos besar tanpa meminta izin terlebih dahulu pada sang sekretaris karena ia hanyalah seorang pekerja bawahan. Saat ia akan berbalik badan dan meninggalkan tempat itu, samar – samar ia mendengar suara desahan dan lenguhan seorang wanita dari dalam ruang kerja itu. Kedua matanya terbelalak saat suara itu semakin jelas terdengar hingga suara petir menggelegar menyamarkan suara desahan itu.
“Aaahhh.. Galiiih... Eugh...”
Kedua mata Rido terbelalak saat mendengar lagi suara desahan itu yang terdengar seperti suara istrinya. ‘Gak. Itu gak mungkin Kinanti.’, ujar Rido membatin.
“Galiiih.. Ehmm..”
“Aaah Kiiin...”
Rido mengepalkan kedua telapak tangannya. Ia yakin ia tidak salah dengar. Bosnya menyebut nama Kin yang ia yakini pria itu sedang mendesahkan nama istrinya. Tak peduli apakah tindakannya itu sopan atau tidak. Ia buka pintu ruang kerja itu perlahan – lahan yang sialnya Galih lupa mengunci pintu ruang kerjanya karena panik melihat Kinanti basah kuyup. Galih khawatir Kinanti akan sakit jika pakaiannya tidak segera dikeringkan hingga ia lupa mengunci pintu ruang kerjanya.
Rido ternganga saat diam – diam ia melihat istrinya berada di bawah kungkungan pria lain dan kedua orang itu sedang dalam keadaan telanjang bulat. Katakanlah ia bodoh. Ia segera membanting pintu ruang kerja itu dan segera berlari ke halaman parkir tempat ia memarkirkan sepeda motornya. Sementara itu, kedua insan yang sedang dibanjiri keringat akibat percintaan panas mereka itu seketika menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara pintu yang terbanting. Galih segera bangkit dari atas Kinanti. Ia mengintip ke luar ruang kerjanya dengan hanya menyembulkan kepalanya di ambang pintu. Namun, ia tidak dapat menemukan siapa pun berada di sana.
Kinanti tampak terengah – engah setelah aktivitasnya bersama Galih tak selesai dengan sempurna. Ia menginginkannya lagi, tetapi ia segera bangkit dan memakai pakaiannya yang masih basah.
“Kinanti, kamu mau ke mana?”
“Aku mau cari Rido. Aku yakin itu tadi dia yang lihat kita.”
Galih menahan tangan Kinanti agar wanita itu tidak keluar dari dalam ruang kerjanya.
“Biarkan dia menenangkan dirinya dulu. Kita gak tau akan semarah apa dia saat ini. Aku khawatir dia ngamuk dan mengacaukan keadaan.”
Kinanti mengalah. Ia menuruti perkataan Galih untuk tidak menghampiri Rido. Lagipula, belum tentu orang yang memergoki mereka melakukan hubungan intim itu adalah Rido. Bisa jadi itu adalah Azalea. Atau yang lebih buruk lagi, anak Galih bersama Azalea.
“Bagaimana kalau ternyata istri kamu?”
Galih menghembuskan napas, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.
Galih mengambil gagang telepon kantornya dan menyambungkan panggilan telepon ke rumahnya.
“Halo.”, ujar bi Surti menjawab panggilan telepon dari Galih.
“Halo, Bi. Ibu mana?”
“Oh, Pak Galih. Ibu lagi di kamarnya mas Galang. Lagi siapin baju untuk pergi piknik besok.”
“Oh gitu. Saya mau bicara sama ibu.”
“Baik Pak.”
Kinanti menunggu Galih selesai menghubungi istrinya di sofa. Ia kembali memainkan jemarinya. Ia berharap bahwa Azalea yang memergokinya berhubungan badan dengan Galih, bukan Rido karena ia tidak sanggup menghadapi Rido setelah suaminya itu mengetahui apa yang ia lakukan dengan Galih yang diakui sebagai teman lamanya.
“Halo, Pa.”, ujar Azalea setelah bi Surti memberikan wireless telephone padanya.
“Mama? Syukurlah.”, ujar Galih yang mendesah lega setelah yakin bahwa istrinya sedang berada di rumah.
“Lho? Ada apa?”
“Papa pikir Mama ke kantor.”
“Mau ngapain Mama ke kantor Papa?”
“Tadi ada yang datang ke kantor, tapi Tina lupa tanya namanya. Dia kan receptionist baru. Belum pernah ketemu sama Mama.”
“Oh gitu. Coba tanya security aja, Pa.”
“Iya, Ma. Ya udah ya, Papa tutup dulu teleponnya.”
“Iya, Pa. Oh ya Pa, nanti cepat pulang, ya.”
“Iya, Ma.”
Galang mengembalikan gagang telepon pada tempatnya semula saat sambungan teleponnya berakhir. Dan terdengarlah suara isak tangis Kinanti yang sedang menangis seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Galih pun datang menghampiri Kinanti dan memeluknya.
“Mungkin karyawan lain ada yang memergoki kita. Belum tentu Rido.”
“Tapi, tetap saja Rido akan tau, Lih. Dia kerja di sini. Gosip tentang kita akan cepet menyebar luas.”, balas Kinanti dengan menatap kedua mata Galih yang tampak kebingungan.
“Maafin aku, Kin. Aku janji aku akan atasi ini semua. Kalau pun memang yang tadi melihat kita itu adalah Rido, aku janji aku akan meminta maaf langsung ke dia.”
Kinanti menggelengkan kepalanya. Ia tahu percuma saja meminta maaf. Kepercayaan yang telah dirusak, tidak mungkin dapat diperbaiki. Rido tidak akan lagi memercayainya.
“Kirana. Gimana sama Kirana? Dia pasti membenci aku.”
Galih kembali memeluk Kinanti dengan erat. “Kirana tidak mungkin membenci kamu. Kamu ibunya.”
“Aku mau cari Rido. Kalau pun Rido tau tentang apa yang kita lakukan, setidaknya Kirana gak boleh tau.”
Kinanti segera berlari keluar dari dalam ruang kerja Galih tanpa membawa rantang makan siang yang ia letakkan di atas meja tamu ruang kerja itu. Ia menyusuri seluruh ruang kantor perusahaan milik Galih itu, lalu ia menyusuri kantin. Ia pun baru menyadari bahwa hujan mulai berangsur reda saat berada di kantin. Namun, tak jua ia temukan suaminya itu di sana.
“Kin, kita coba tanya satpam, yuk. Siapa tau Rido memang belum balik ke kantor.”, ujar Galih berusaha menenangkan Kinanti yang benar – benar dalam keadaan kacau. Lihatlah wanita itu. Memakai pakaian basah, rambutnya lepek dan berlarian ke sana ke mari. Kinanti menganggukkan kepalanya, lalu mereka bergegas menghampiri pos satpam.
“Pak Ratmin, lihat Rido gak?”, tanya Galih.
“Gak tau, Pak. Rido tadi udah masuk kantor kok.”
“Udah dateng? Dari jam berapa?”
“Ada setengah jam yang lalu.”
Kinanti pun terduduk lemas di lantai. Ia yakin orang yang memergoki ia dan Galih saat sedang berhubungan intim itu adalah Rido.
“Eh, Ibu kenapa?”, tanya Suratmin yang segera menghampiri Kinanti untuk membantunya berdiri. Namun, Galih sudah terlebih dulu mengangkat tubuh Kinanti dan membantunya duduk di kursi yang berada di depan pos satpam.
“Yono, tolong panggilin si Rido dong di dalem. Ini istrinya nungguin.”, ujar Suratmin ketika melihat salah satu rekan kerja sesama security baru saja kembali dari kantin seraya membawa nampan berisi dua mangkuk soto babat dan dua piring nasi untuknya dan Suratmin.
“Hah? Rido?”, tanya Yono.
“Iya.”
“Rido kan baru aja berangkat, Pak.”
“Lah, udah berangkat?”
“Udah. Tadi saya ketemu dia di parkiran. Ada apa sih? Mukanya kusut banget. Ngeri saya. Ekspresinya kayak mau makan orang.”
Kinanti tiba – tiba menangis sesenggukkan setelah mendengar ucapan Yono hingga membuat Suratmin dan Yono terkejut. Mereka pun berusaha menenangkan Kinanti, sedangkan Galih hanya terdiam karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
“Eh, Bu, jangan nangis, Bu. Ini si Yono kalau ngomong emang suka sembarangan!”, ujar Suratmin.
“Eh, iya Bu. Maaf. Saya gak maksud menghina si Rido. Cuma mau bilang aja mukanya Rido kayaknya lagi kesel banget.”, sambung Yono.
***
Kirana menghela napasnya seraya memandangi hujan deras yang tak kunjung reda melaui pintu ruang kelasnya yang terbuka lebar. Ia ingin segera pulang ke rumahnya, tetapi sayangnya ia tidak membawa payung. Lagipula, petir yang beberapa kali menggelegar membuat nyalinya ciut. Ia bosan setelah menunggu hujan reda di ruang kelasnya. Sudah tidak ada siapa – siapa di dalam sana. Sahabat terbaiknya pun hari ini absen karena sakit. Ia menyesal tidak pulang sejak tadi sebelum hujan turun semakin deras, tetapi itu adalah risiko yang harus dihadapinya sebab ia harus mengikuti ulangan remedial Matematika setelah jam pelajaran hari itu usai.
Kirana memasukkan buku komik yang ia pinjam dari Aldo ke dalam tasnya. Sebenarnya, ia sudah selesai membaca komik itu sejak kemarin, tetapi karena hari ini Aldo tidak masuk sekolah, maka komik itu masih berada di tangannya. Ia pun bersyukur karena dengan adanya komik tersebut, ia dapat menghibur diri selama menunggu hujan reda. Ia keluar dari dalam ruang kelasnya dan berjalan menuju perpustakaan. Ia berniat untuk membaca buku cerita rakyat di sana karena ia tidak mempunyai cukup uang untuk jajan di kantin walau banyak murid, guru dan karyawan sekolah yang memilih untuk melipir ke sana.
Ruang perpustakaan sekolah Kinanti terbilang nyaman. Ada deretan meja dan kursi yang disusun rapi untuk orang – orang yang ingin menulis atau mengadakan belajar bersama dan ada juga ruangan khusus untuk membaca buku, yang hanya terdapat beberapa bantal dan karpet yang digelar untuk menutup lantai. Ruang baca tersebut didesain agar para murid lebih nyaman dalam membaca buku. Sayangnya, beberapa murid nakal menjadikan tempat itu sebagai tempat persembunyian mereka di kala kantuk menyerang. Namun, sering kali petugas perpustakaan memergoki mereka yang sedang tidur di ruangan itu. Sang petugas perpustakaan akan segera membangunkan murid yang sedang tertidur tersebut dan mengusirnya dari dalam perpustakaan.
Kirana memilih buku cerita rakyat berjudul Joko Kendil dari rak buku bertuliskan ‘Khusus Cerita Rakyat’. Saat akan memasuki ruang baca, Kirana mengurungkan niatnya karena ada Galang berada di dalam ruangan tersebut. Namun, langkah kakinya terhenti saat ia akan berbalik badan. Diliriknya lagi remaja laki – laki itu. Sepertinya ada yang aneh terjadi pada Galang. Remaja laki – laki itu sedang duduk di sudut ruang baca tersebut seraya menutupi kepalanya dengan jaket hitamnya. Kirana pun segera melepas sepatunya dan masuk ke dalam ruang baca.
“Galang, lo kenapa?”
Bukannya menjawab, Galang justru mengeratkan pegangan pada jaket hitam yang menutupi kepalanya.
“Galang, lo takut sama petir?”
Galang pun bersumpah akan membunuh Kirana jika gadis itu berani menyebarkan kelemahannya itu pada semua teman – teman mereka di sekolah.
“Gapapa, Galang. Itu cuma petir. Lo jangan keliaran di jalanan dulu. Di sini lo aman kok.”
Galang hanya menganggukkan kepalanya saja. Kirana pun duduk di seberang Galang. Galang mengintip ke arah Kirana. Ia berpikir Kirana membencinya sebab gadis itu tidak mau duduk di sampingnya sebagaimana yang selalu dilakukan gadis itu ketika bersama Aldo. Galang terus memperhatikan Kirana hingga gadis itu merasa risih.
“Lo mau baca buku juga?”, tanya Kirana.
“Enggak.”
“Gue bawa komik lho. Lo mau baca?”
Galang pun menganggukkan kepalanya. Semasa ia duduk di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama dulu ia gemar membaca komik. Lama – kelamaan, kebiasaannya itu jarang ia lakukan mengingat kesibukannya dengan sekolah, tugas dan ekstrakurikuler basket yang diikutinya.
Kirana membawa tasnya dan berpindah posisi duduk di samping Galang yang membuat Galang sangat bersyukur mengiyakan tawaran Kirana untuk meminjaminya sebuah komik.
“Ini komiknya.”, ujar Kirana seraya menyerahkan komik itu pada Galang.
Galang segera membuka halaman pertama komik tersebut. Di pojok kanan atas terdapat tulisan Revaldi.
“Komik itu punya adiknya Aldo. Namanya Revaldi.”
“Oh.”, balas Galang. Sesungguhnya, ia ingin membuang komik tersebut ke tong sampah begitu tahu bahwa komik itu adalah milik adik dari seseorang yang tidak ia suka.
Mereka dengan tenang membaca buku masing – masing. Tanpa sadar, hari sudah menjelang sore dan hujan sudah reda sejak tadi. Namun, kedua anak remaja itu tak jua mau meninggalkan tempat itu. Bahkan, Galang mengutuk komik yang halamannya sangat sedikit itu. Tidak bisakah Aldo meminjamkan Kirana semua komik milik adiknya? Mengapa hanya satu yang pria itu pinjamkan? Dasar pelit!
“Anak – anak, perpustakaan udah mau tutup lho.”, ujar pak Jaya, sang petugas perpustakaan.
“Oh, iya Pak.”, balas Kirana.
Galang menghela napasnya. Dikembalikannya komik tersebut pada Kirana. Kirana segera memasukkan komik tersebut ke dalam tasnya. Kemudian, mereka bangkit dari ruang baca tersebut dan bergegas keluar dari dalam perpustakaan sekolah mereka sebelum pak Jaya mengunci pintu ruang perpustakaan sekolah mereka.
“Galang, gue duluan ya.”, ujar Kirana saat mereka tiba di ujung koridor sekolah.
“Tunggu di depan pintu gerbang.”, balas Galang.
“Hah?”
“Tunggu di depan pintu gerbang.”
“Mau ngapain?”
“Gue mau ambil motor dulu. Sana tunggu di pos satpam.”
Galang segera meninggalkan Kirana tanpa mau mendengar Kirana bertanya lagi. Walau pun masih bingung dengan sikap Galang, Kirana tetap menuruti perintah Galang. Kirana menunggu Galang di depan pos satpam. Tak berapa lama kemudian, munculah Galang yang menunggangi sepeda motornya.
“Ayo, naik.”, ujar Galang.
“Apa?”, balas Kirana yang tidak percaya pada pendengarannya. Masa iya seorang Galang mengajaknya naik sepeda motor bersama.
“Naik! Mau pulang gak sih?!”
“Gu.. gue mau naik angkot.”
“Buruan naik motor gue. Gue gak bakal ngadu ke cowok lo hari ini lo boncengan sama gue.”
“Huh!”, dengus Kirana yang kesal dengan sikap semena – mena Galang. Namun, ia tetap naik ke atas sepeda motor itu.
“Pegangan. Nanti lo jatuh.”
Kirana pun mencengkeram ujung jaket yang dikenakan Galang.
“Yang bener pegangannya.”
“Ini udah gue pegang jaket lo.”
Galang menghela napasnya mendapati jawaban Kirana. Ia pun sengaja mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi hingga membuat Kirana sedikit berteriak dan memeluknya. Galang pun menunjukkan seringai kemenangannya setelah merasakan tangan Kirana yang melingkari pinggangnya.
“Galang, jangan ngebut.”, ujar Kirana yang merasa ketakutan.
“Apa?”, tanya Galang yang tidak mendengar suara Kirana yang tidak terdengar jelas di tengah deru angin dan suara sepeda motornya.
“Jangan ngebut! Gue takut!”, jawab Kirana dengan menambahkan volume suaranya.
“Oke.”, balas Galang yang kemudian mengurangi kecepatannya. “Aldo gak pernah ngebut ya?”
“Iya.”
“Dasar anak cupu. Mau gue ajak ngebut?”
“Gak mau!”
“Seru lho.”
“Gue gak mau mati!”
Galang pun tertawa mendengar rengekan Kirana. Sialnya, ia kembali menambah kecepatan laju sepeda motornya yang kembali berhasil membuat Kirana memejamkan matanya dan memeluknya semakin erat.
“Galang!!!”
“Dasar penakut.”
“Bukannya penakut! Dosa kalau kita sengaja membahayakan diri kita sendiri!”
Galang pun memperlambat kecepatan laju sepeda motornya walau ia tahu Kirana akan melepas pelukannya. Nyatanya, gadis itu tetap melingkarkan kedua tangannya pada pinggangnya. Senyum pun terkembang di wajahnya.
“Kir, jajan bakso yuk. Gue laper. Dingin – dingin gini enaknya makan yang anget – anget.”
“Gue gak punya uang.”
“Hih! Udah jelek, bodoh, miskin pula. Cocok lo sama si Aldo.”
“Tapi Aldo baik.”
“Aldo sering traktir lo, ya?”
“Gak juga sih.”
“Cowok pelit kayak gitu apa bagusnya sih?”
“Aldo tuh gak pelit, tapi uang jajannya yang terbatas.”
“Lo sayang banget kayaknya sama si Aldo.”
“Iyalah. Aldo kan satu – satunya temen gue di Bandung.”
“Waktu di Jakarta, lo punya banyak temen?”
“Enggak sih.”
“Ye..”
Kali ini, Kirana yang terkekeh mendengar dengusan kesal dari Galang.
Tak berapa lama kemudian, sepeda motor Galang terparkir sempurna di halaman parkir sebuah warung bakso yang cukup terkenal di daerah setempat. Warung bakso itu selalu ramai pengunjung setiap harinya. Apalagi ketika akhir pekan, mereka harus antri untuk bisa menikmati semangkuk bakso yang sangat lezat hasil racikan sang juragan warung bakso.
“Lo mau pesen apa?”, tanya Galang.
“Samain aja sama lo.”
“Gue mau pesen bakso uler keket. Lo mau?”
“Ngaco!”
Galang terkekeh melihat Kirana yang mengernyitkan dahinya seraya memanyunkan bibirnya. Kemudian, ia memesan dua mangkuk bakso urat dan dua teh manis hangat. Tak berapa lama kemudian, pesanan Galang itu tiba dan mereka menikmati makan sorenya seraya mengobrol santai.
“Eh Kir, lo gak jenguk Aldo?”
“Gaklah. Baru juga satu hari ini aja Aldo gak masuk.”
“Lo tau gak? Eh, pasti lo udah tau sih.”
“Tau apa?”
“Aldo itu anak angkat.”
“Oh, iya tau.”
“Lo pernah ke rumahnya Aldo?”
“Belum. Kenapa?”
“Rumahnya Aldo deket rumahnya si Anto. Gue pernah main ke rumahnya Anto. Nah, si Anto nunjukin rumahnya Aldo. Besar lho rumahnya Aldo.”
“Oh ya?”
“Iya. Bokapnya punya perusahaan kayu.”
“Wah, kalau gitu, nanti abis lulus SMA gue mau coba lamar kerja di sana.”
“Lah, lo gak mau kuliah?”
“Hmm.. Mau kerja dulu.”
Kirana tidak mau terlalu terbuka pada Galang. Seharusnya Galang sudah tahu tidak mungkin Kirana kuliah setelah lulus SMA. Ayah Kirana bekerja di perusahaan milik keluarga Galang. Seharusnya Galang tahu bagaimana kondisi keuangan keluarganya.
“Oh ya Lang, kenapa lo takut petir?”
“Waktu gue masih kecil, gue punya anjing. Anjing gue kesamber petir.”
“Astaga.”
“Gue lihat tuh kejadiannya. Sejak itu, gue takut banget sama petir.”
Kirana menggigit bibir bawahnya. Ia dapat mengerti bagaimana perasaan dan ketakutan Galang. Pasti amat mengerikan melihat secara langsung makhluk hidup yang tewas seketika dalam keadaan mengenaskan setelah tersambar petir.
“Gue baik – baik aja kok, Kir.”, ujar Galang yang melihat ada kekhawatiran di raut wajah Kirana.
“Hmm.. Lang, lo gak usah takut. Yang penting lo hati – hati aja. Jangan ada di luar ruangan tertutup kalau lagi hujan, apalagi kalau ada petir.”
“Iya.”
“Kalau lagi hujan, lebih baik lo berteduh dulu walau gak ada petir. Tunggu hujannya reda. Abis hujannya reda, baru deh lo lanjut jalan lagi, tapi bawa motornya hati – hati banget ya karena jalanan pasti licin banget abis hujan.”
“Iya, akan gue catet omongan lo, gue resapi dalam hati dan jiwa gue.”
“Gue selalu bilang itu ke ayah. Ayah gue kan kerjaannya kurir. Dia seharian keliling kota Bandung pakai motor.”
“Bokap lo baik. Gue pernah ketemu bokap lo waktu dateng ke kantor bokap gue. Gue gak sengaja jatuhin gelas di pantry, eh bokap lo yang bersihin pecahan gelasnya sampai tangan dia berdarah kena pecahan gelas.”
“Tuh, makanya lo harus baik sama gue. Ayah gue udah baik sama lo.”
“Iya deh iya.”
Kirana terkekeh melihat Galang yang mendengus malas padanya. Galang pun tersenyum melihat Kirana yang terkekeh padanya.
***