Chapter 4 - Just The Way You Are

2822 Words
Kirana berdiri di halaman rumahnya seraya memandangi jalanan. Ia merasa khawatir karena orang tuanya belum kembali ke rumah mereka dan saat ini hujan turun dengan begitu derasnya. Ia terus berdoa agar orang tuanya dalam keadaan baik – baik saja. “Kirana, masuk. Jangan berdiri di luar.”, ujar Danti dari dalam rumah. “Iya, Eyang.”, balas Kirana yang segera melaksanakan perintah neneknya. Kirana duduk di samping Danti dan berusaha fokus menonton acara berita di televisi. Danti dapat mengerti saat ini cucunya itu sedang khawatir pada kedua orang tuanya. Ia pun juga merasa khawatir pada Rido dan Kinanti yang tidak dapat dihubungi. Pukul 9 malam, Rido tiba di rumahnya. Kirana segera berlari ke halaman rumah berharap ayah dan ibunya pulang bersama – sama. Namun, nyatanya ayahnya pulang ke rumah hanya seorang diri. “Ayah gak pulang bareng bunda?”, tanya Kirana. “Lho? Bunda gak di rumah?”, ujar Rido yang justru bertanya balik. “Kinanti belum pulang sejak nganterin makan siang kamu tadi siang.”, ujar Danti untuk menjawab pertanyaan Rido. “Udah coba ditelepon?”, tanya Rido. “Hp bunda gak bisa ditelepon.”, jawab Kirana. “Pinjem hp kamu.” Kirana memberikan ponselnya pada Rido, lalu Rido mencoba menghubungi Kinanti. Hasilnya sama. Ponsel Kinanti tidak dapat dihubungi. “Kirana, hp kamu ayah pinjem dulu, ya.”, ujar Rido yang kembali menunggangi sepeda motornya. “Ayah mau ke mana?”, tanya Kirana dengan panik karena tiba – tiba saja ayahnya kembali menyalakan mesin sepeda motornya. “Ayah mau cari bunda. Kirana temenin eyang jaga rumah, ya. Kalau bunda udah pulang, cepet telepon ayah. Ini hp ayah. Tolong kamu charge baterainya.”, balas Rido seraya menyerahkan ponselnya pada Kirana. “Ya, ayah.”, balas Kirana. “Hati – hati, Do.”, ujar Danti yang benar – benar mengkhawatirkan Rido yang akan berkendara di tengah hujan lebat. “Iya, Bu.”, balas Rido yang segera melarikan sepeda motornya di tengah hujan deras demi mencari keberadaan istrinya. Kirana segera masuk ke dalam rumah setelah ayahnya pergi. Ia segera mengambil charger ponsel dan menyambungkannya pada stop kontak untuk mengisi daya baterai ponsel ayahnya yang habis total.   ***   Rido mengendarai sepeda motornya tanpa tujuan. Ia tidak dapat menebak di mana keberadaan Kinanti saat ini. Tidak mungkin kan saat ini istrinya masih berada di kantornya? Namun, ia tetap pergi ke kantornya sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Kinanti tidak berada di sana. Benar. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali para petugas keamanan yang berjaga. Ia pun teringat pada rumah yang dulu ditempati oleh keluarga Kinanti di Bandung sebelum mereka pindah ke Jakarta. Rumah itu sudah dijual dan ditempati oleh pemilik baru. Namun, ia tetap ke sana untuk mencari Kinanti yang mungkin saja sedang mengunjungi para tetangga dan kawan lamanya. Hasilnya nihil. Kinanti tidak berada di sana. Rido pun mencoba mencari Kinanti di mall yang sering dikunjunginya. Namun, sesampainya di sana, jam operasional mall tersebut sudah berakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi Kinanti belum juga ditemukan. Kirana pun mengatakan bahwa sampai saat ini Kinanti belum juga pulang ke rumah saat Rido meneleponnya. Rido tidak putus asa. Ia kembali mengendarai sepeda motornya menuju sekolah lama Kinanti. Mungkin saja Kinanti sedang merenung di sana. Ia tahu Kinanti memiliki cita – cita untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi atau Sarjana Humaniora, tetapi cita – citanya itu tidak pernah ia raih sampai saat ini.   ***   Galih menghentikan laju mobilnya tepat di depan gang menuju rumah Kinanti. Kinanti yang memintanya untuk mengantar hanya sampai depan gang saja agar suaminya tidak curiga saat melihat ia keluar dari dalam mobil milik bosnya. “Aku pulang dulu. Terima kasih udah anter aku pulang.”, ujar Kinanti sebelum keluar dari dalam mobil. Galih menganggukkan kepalanya, lalu mengecup bibir merah muda Kinanti. Sejujurnya, ia ingin mendatangi Rido dan mengatakan terus terang padanya bahwa ia menginginkan Kinanti, tetapi tentu saja hal itu ditolak mentah – mentah oleh Kinanti. Kinanti sudah berjanji pada Galih bahwa malam ini juga ia akan mengatakan pada Rido bahwa ia ingin segera bercerai dari pria itu. Galih pun juga berencana untuk mengatakan pada Azalea bahwa ia ingin bercerai dari wanita yang sudah menjadi istrinya selama sembilan belas tahun itu. Kinanti keluar dari dalam mobil Galih dan melambaikan tangannya sesaat sebelum mobil Galih kembali melaju. Dengan langkah mantap di bawah payung yang digenggamnya, Kinanti berjalan menuju rumah yang disewa oleh suaminya. Kirana segera bangkit dari kursi ruang tamu dan membuka kunci pintu utama rumahnya ketika mendengar suara langkah kaki seseorang memasuki pekarangan rumahnya. “Bunda?”, ujar Kirana pada Kinanti. “Ya.”, balas Kinanti singkat. Ia memang tidak terlalu akrab dengan anak yang tidak ingin dilahirkannya itu. “Bunda dari mana?” “Ketemu teman lama.”                                    “Ayah pergi cari Bunda.” “Ayah pergi?” “Iya, Bun. Ayah tadi tuh ke kantornya, ke rumah lama Bunda, ke mall juga untuk cari Bunda. Tapi, Bunda gak ada di sana. Sekarang Ayah lagi ke sekolah Bunda. Hp Bunda kenapa gak bisa dihubungi? Kita semua panik karena Bunda belum pulang.” Kinanti pun mengeratkan genggamannya pada tasnya. Ia lupa untuk mengaktifkan ponselnya setelah Galih menon aktifkan ponsel mereka saat mereka berdua sedang melarikan diri ke sebuah hotel. “Telepon ayah. Bilang Bunda udah pulang.”, ujar Kinanti yang segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil segelas air di dapur. Saat berjalan menuju dapur, ia sempat melirik ke dalam kamar tidur ibunya. Ibunya sudah tertidur pulas. Sepertinya wanita paruh baya itu kelelahan setelah seharian berjualan, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Sementara itu, di ruang tamu, Kirana segera menghubungi ponselnya dengan ponsel ayahnya yang daya baterainya sudah terisi setengahnya. “Halo.”, ujar Rido menjawab panggilan telepon dari nomor ponselnya yang ia yakini anaknyalah yang meneleponnya. “Ayah?! Ayah kenapa?!”, ujar Kirana histeris setelah mendengar suara ayahnya yang sedang meringis kesakitan. Kinanti yang mendengar suara Kirana pun membelalakkan matanya setelah mengetahui telah terjadi sesuatu yang buruk menimpa suaminya. “Ayah gapapa kok. Cuma jatuh aja karena jalanan licin.” “Apa? Ayah jatuh dari motor?” “Iya, tapi motornya baik – baik aja kok.” “Kok malah mikirin motornya sih?! Bodo amat sama keadaan motornya. Yang penting keadaan ayah.” “Ayah, enggak apa – apa, Nak. Ayah baik – baik aja. Ayah tadi ditolong sama warga sini. Ini ayah lagi duduk di warung kopi sambil nunggu hujannya reda. Abis itu, Ayah mau keliling lagi cari bunda.” “Gak usah, Yah. Bunda udah pulang. Diantar sama temannya.” “Oh, Bunda udah pulang? Ya udah, Ayah pulang sekarang.” “Gak usah, Yah. Ayah tunggu aja sampai hujannya benar – benar reda. Abis itu, baru deh Ayah pulang.” “Iya, Nak. Ya udah, Kirana tidur gih. Sudah malam. Besok kan harus sekolah. Jangan lupa kunci pintunya. Dicabut ya kuncinya. Taruh di tempat biasa di atas bufet.” “Iya. Nanti pulangnya hati – hati ya, Yah. Jalanan masih licin.” Di seberang sana, Rido tersenyum mengetahui putrinya sangat mengkhawatirkannya. “Iya, Kirana. Ayah hati – hati kok bawa motornya.” Setelah sambungan telepon itu berakhir, Kirana bangkit dari kursi ruang tamu dan berjalan ke dalam kamar tidur yang ia tempati bersama sang nenek. Rumah sederhana itu hanya memiliki dua kamar tidur. Satu kamar tidur dipakai oleh Rido dan Kinanti. Satu kamar tidur lagi dipakai oleh Kirana dan Danti. Sebenarnya, Kinanti selalu meminta Rido untuk menyewa rumah yang memiliki tiga kamar tidur. Namun, karena keadaan mendesak, terpaksa mereka menyewa rumah milik ketua rukun tetangga setempat yang hanya memiliki dua kamar tidur. Selama ini, Kinanti tidak mau tidur di satu ranjang dengan Rido. Apalagi setelah ia mengandung Kirana. Ia tidak mau lagi bersusah payah mengandung dan melahirkan anak dari pria yang sama sekali tidak ia cintai itu. Setelah Kirana masuk ke dalam kamar tidurnya, Kinanti keluar dari dapur dan duduk di kursi ruang tamu. Ia melirik jam dinding yang letaknya berada di atas televisi. Pukul 12 malam. Hujan mulai mereda walau belum usai sepenuhnya. Mungkin karena suasana sendu itulah yang berhasil membuat Kinanti meneteskan air matanya. Ia teringat kembali pada masa – masa saat ia berpisah dengan Galih karena pria itu dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di Australia. Satu tahun kemudian, Kinanti bersama keluarganya pindah ke Jakarta dan mulai bekerja serabutan di sana. Di saat itulah, mereka berkenalan dengan tetangga mereka yang bernama Rido, seorang pemuda yang sangat baik dan pekerja keras. Pekerjaan apa pun dilakukannya asalkan halal. Pria itu hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama. Ia bekerja berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah bekerja di bagian cleaning service, office boy, admin gudang dan kurir. Walau kehidupannya yang keras, ia tidak pernah mengeluh. Ia terus bekerja hingga ia bisa melanjutkan pendidikannya untuk mendapatkan ijazah Paket C yang ia pergunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan sebelumnya. Ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai kurir di sebuah perusahaan tekstil di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Setelah dua tahun bekerja di sana, ia memberanikan diri melamar Kinanti walau gadis itu terlihat tidak tertarik padanya. Namun, suatu hari, Kinanti menerima lamarannya karena wanita itu mendapatkan informasi dari temannya di Bandung yang mengirimkannya surat dan mengatakan bahwa Galih telah menikah dengan seorang arsitek yang sangat cantik bernama Azalea Harrison. Kinanti patah hati. Harapannya untuk bisa bersatu kembali dengan Galih setelah pria itu kembali dari Australia lenyap sudah. Lamunan Kinanti berakhir saat didengarnya suara mesin sepeda motor memasuki pekarangan rumahnya. Buru – buru ia mengintip keluar rumah melalui kaca jendela ruang tamunya. Ia menemukan Rido yang baru saja turun dari sepeda motornya, lalu mengunci pintu pagar rumah. Kemudian, pria itu melepaskan helm, serta jas hujan yang dikenakannya. Rido tersentak saat pintu utama rumah yang ia sewa itu terbuka dan mendapati Kinanti yang berdiri di ambang pintu. Selama pernikahan mereka berjalan, inilah pertama kalinya Kinanti membukakan pintu rumah di saat Rido pulang ke rumah. “Maaf ya, aku baru sampai di rumah.”, ujar Rido seraya tersenyum memandangi Kinanti. Entah apa yang terjadi pada Kinanti, tiba – tiba saja wanita itu berjalan menghampirinya dan memeluknya dengan sangat erat. Kedua mata Rido terbelalak saat merasakan tubuh Kinanti yang menempel pada tubuhnya. Ia juga dapat mendengar suara isak tangis dari bibir istrinya itu. “Kin, kamu kenapa?”, tanya Rido. Kinanti tidak menjawab pertanyaannya. Ia hanya terus menangis dan tidak mau melepaskan pelukannya. “Kin, kita masuk ke dalam rumah, yuk. Gak enak kalau dilihat tetangga, kita pelukan di halaman rumah seperti ini.” Kinanti melepaskan pelukannya dan menganggukkan kepalanya. Kemudian, Rido menggiring sepeda motornya untuk diletakkan di ruang tamu agar aman dari maling sepeda motor. Walau pun sepeda motornya sudah butut, tetapi itu adalah satu – satunya harta benda berharga yang ia miliki. Dengan sepeda motor butut itulah, ia bisa bekerja sebagai kurir dan mengantarkan Kirana ke sekolah. Kinanti mengunci pintu utama rumah, lalu masuk ke dalam kamar tidurnya sementara Galih pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sebelum tidur. Saat kembali ke kamar tidur mereka, ia mendapati Kinanti telah mengganti pakaiannya dengan baju tidurnya. Selain itu, ada hal aneh yang terjadi pada istrinya. Wanita itu telah meletakkan kaos dan celana panjang rumahan, yang biasa dipakai oleh Rido saat tidur, di atas ranjang. “Ini baju tidur kamu.”, ujar Kinanti seraya menepuk – nepuk baju tidur yang telah ia siapkan untuk Rido. “Terima kasih, ya.”, balas Rido seraya tersenyum. Ia ambil kaos dan celana panjang itu. Ia berniat mengganti pakaiannya di dalam kamar mandi. Selama ini, ia memang selalu memakai pakaiannya di dalam kamar mandi agar Kinanti tidak merasa risih harus memandangi tubuh polosnya. “Kamu mau ke mana?” “Pakai baju.” “Pakai saja di sini.” Kedua mata Rido sontak terbelalak. Entah kesambet jin iprit kelurahan mana istrinya itu hingga sikapnya benar – benar melunak. “Aku istri kamu. Kita pernah berhubungan badan sampai memiliki anak. Untuk apa malu?”, lanjut Kinanti saat didapatinya Rido hanya mematung saja. “Eh, iya.”, balas Rido. Rido menutup pintu kamar tidurnya dan menguncinya rapat. Kemudian, dengan detak jantung yang tidak karuan, ia melepas handuknya dan memakai pakaiannya. Kinanti tidak mengalihkan pandangannya dari tubuh Rido hingga Rido merasakan wajahnya memanas. Rido merasa keadaannya saat ini adalah hal paling e****s yang pernah dialaminya seumur hidupnya karena selama ini Kinanti selalu menangis dengan sangat sedih sebelum dan setelah mereka b******a. Setelah Rido berpakaian dan menggantung handuknya di atas paku yang tertancap di pintu kamar tidurnya, Kinanti membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kinanti menepuk – nepuk sisi ranjang yang kosong untuk memberikan kode pada Rido untuk segera berbaring di sampingnya. Dengan ragu – ragu, Rido ikut berbaring di samping Kinanti. Kinanti pun membagi selimutnya pada Rido, kemudian ia memeluk pria itu. “Kin.” “Ya?” “Aku boleh tanya?” “Boleh.” “Kamu kenapa?” “Kenapa?” “Sikap kamu beda.” “Mas gak suka?” “Suka, Kin. Mas cuma bingung aja.” Kinanti menyusuri tubuh Rido hingga mengusap pusat gairah pria itu hingga pria itu menggeram. “Kasihan Mas, si Kirana. Dia gak punya kakak atau pun adik.” Lagi – lagi, kedua mata Rido dibuat terbelalak oleh sikap Kinanti. Ia menolehkan wajahnya untuk menatap Kinanti di dalam pencahayaan remang – remang dari lampu tidur di atas nakas di samping ranjang. Ia dapat melihat wanita itu tersenyum. Senyuman itulah yang membuat dirinya jatuh cinta pada wanita cantik itu. “Kin.” “Kamu gak mau, Mas?” Rido segera berganti posisi. Ia duduk di atas paha Kinanti, lalu melumat bibir yang sudah lama tidak ia jamah. Ia remas seluruh tubuh wanita itu hingga wanita itu mendesah dan menjerit sepanjang malam.   ***   Pukul setengah satu pagi, Galih kembali ke rumahnya. Ia menarik napas panjang sebelum keluar dari dalam mobilnya. Malam ini juga, akan ia akhiri pernikahannya dengan Azalea. Ia sudah siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk, jika benda – benda melayang dan membentur kepalanya setelah dilempar oleh Azalea yang ingin melampiaskan amarahnya. “Oh, Papa udah pulang.”, ujar Azalea saat mendengar derit suara pintu utama rumahnya terbuka dan melihat Galih masuk ke dalam rumah mereka. “Iya. Ma, ada yang mau Papa omongin.” “Iya, Pa. Tapi, tolong bawa Galang masuk ke kamarnya, ya. Mama gak kuat gendong Galang.” Galih melirik ke arah sofa ruang tamu dan menyadari bahwa saat ini anak mereka sedang tertidur di sana saking lelahnya menemani sang ibu yang menunggu kepala keluarga mereka pulang bekerja, yang mereka tidak sadari bahwa Galih bukan pulang malam karena bekerja lembur, tetapi karena mengurung wanita lain di dalam kamar hotel. Galih memberikan tas kerjanya pada Azalea, lalu ia menggendong tubuh anaknya untuk dibawa ke dalam kamar tidurnya di lantai dua rumah mereka. Azalea mengikuti langkah suaminya dari belakang. Setibanya di kamar tidur Galang, Galih membaringkan Galang di atas ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuh putranya agar tidak kedinginan di cuaca yang sangat dingin itu. Sebelum beranjak dari sana, Azalea menyempatkan diri untuk mengecup kening Galang. Setelah itu, Galih dan Azalea pergi ke kamar tidur mereka. Azalea meletakkan tas kerja Galang di atas nakas di kamar tidur mereka. “Pa, ada yang mau Mama omongin.”, ujar Azalea seraya mencengkeram tas kerja suaminya dan tanpa melihat pria itu. Galih mengalah. Ia akan mendengarkan apa yang ingin diucapkan oleh istrinya terlebih dahulu sebelum ia melontarkan keinginannya agar mereka segera bercerai. “Ya. Ada apa?” “Pa, kata dokter, Mama harus segera operasi konservasi payudara.” Galih mendesah pelan. Mati – matian mereka melakukan berbagai upaya pengobatan agar p******a Azalea tidak dioperasi, tetapi kini mereka harus mengikhlaskannya demi kebaikan Azalea. Galih menghampiri Azalea dan memeluknya dari belakang. “Ya sudah, lakukanlah.”, bisik Galih. Azalea mulai kembali terisak. p******a itu adalah salah satu aset wanita yang sangat berharga, tetapi bagaimana jadinya jika ia kehilangan salah satunya? “Tapi, aku gak mau.” “Demi kebaikan kamu, Sayang. Aku gak mau kamu sakit terus. Kasihan Galang, Ma.” “Maaf.” “Maaf?” “Maaf karena Mama gak bisa jadi istri yang sempurna untuk Papa.” Galih memutar balik tubuh mungil Azalea agar dapat menatap kedua bola mata istrinya yang sedang memerah saking sedihnya perasaannya saat ini. “Kamu cantik. Kamu baik. Kamu pintar. Apa yang buat kamu gak sempurna?” “Setelah dioperasi, aku cuma punya satu payudara.” “Azel, dengerin aku. Aku dan Galang mencintai kamu bukan karena p******a kamu. Jadi, walau pun kamu gak punya p******a sama sekali, aku dan Galang tetap cinta sama kamu.” “Tapi..” “Sayang, Galang udah besar lho. Dia gak perlu ASI lagi. Terus, apa yang kamu khawatirkan?” “Kamu pasti malu punya istri yang payudaranya cuma satu.” “Kenapa aku harus malu? Emangnya kamu mau pamerin p******a kamu ke orang – orang? Enggak, kan?” Azalea menundukkan kepalanya, lalu Galih kembali memeluknya dengan erat dan dikecupinya puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD