Bertemu orang aneh.

1478 Words
Khanza terus berlari menyusuri koridor perkantoran itu, air matanya pun terus mengalir di kedua pipinya. Dia tak pernah menyangka, jika rasa rindunya pada sang kekasih akan membongkar semua perbuatan b***t Reno dan Devi. Di salah satu ruangan, tak sengaja Dimas melihat Khanza yang tengah berlari dan berurai air mata. Dia gegas keluar dan mengejar temannya itu. "Za, ada apa? Kenapa, kamu sampai berantakan begini? Pak Reno, tidak ngapa-ngapain kamu, 'kan?" tanya Dimas begitu cemas. Dia khawatir Khanza akan di sakiti karena Dimas tahu Reno tengah bersama Devi. Khanza hanya diam, dia tatap Dimas dalam. Bibirnya pun menyunggingkan sebuah senyuman. Namun, yang Dimas lihat, senyumnya itu hambar seperti menyiratkan sesuatu yang buruk. "Dim, aku sakit. Sakit... banget! Aku ingin pulang," ucap Khanza ambigu. Dimas bingung, dia tidak mengerti kemana arah tujuan pembicaraan temannya itu. Namun, dia coba untuk bertanya lagi. "Kamu, sakit kenapa, Za? Aku, antar ke dokter, ya. Kalau sakit, kenapa tadi kamu maksa datang ke sini?" tanya Dimas, dia ingin memegang dahi Khanza. Namun, cepat Khanza menepisnya. "Aku... sakitnya di sini, Dim!" Khanza menunjuk dadanya sendiri. "Kenapa, tadi kamu nggak jujur sama aku. Andainya, kamu bilang tamu itu Devi, selingkuhannya Mas Reno, aku tidak akan sesakit ini. Aku pasti udah siap untuk menerima kenyataan itu, tapi, sekarang semuanya sudah terlambat semuanya telah terbongkar...," ucap Khanza lirih. Dimas, kaget setelah mendengar perkataan Khanza. Dia tidak bisa memprediksi kalau akan sekacau ini. Dia berusaha meraih tangan Khanza, tapi cepat Khanza menghindar dan kembali berlari pergi. Dimas, terpaku di tempatnya, dia bingung harus berbuat apa. Namun, sesaat kemudian dia tersadar dan cepat meminta maaf. "Za, maafkan, aku. Tunggu, Khanza!" teriak Dimas. Cepat dia menyusul temannya itu. Namun, Khanza telah pergi dengan menaiki motornya. 'Maafkan aku, Za. Semua di luar kuasaku, aku nggak bisa berbuat apa-apa.' Gumam hati Dimas. Dia pun kembali ke dalam kantornya tapi, tak sengaja berpapasan dengan Reno dan Devi. Dimas, begitu jijik melihat Devi yang terus menempel pada Reno. Devi seolah ingin menunjukan tentang hubungannya dengan Reno dan dia pemenangnya. "Dimas, kamu melihat, Khanza? Ada di mana dia sekarang?" tanya Reno. Dari raut wajahnya terlihat, kalau dia tengah mengkhawatirkan Khanza. "Dia, sudah pergi, Pak. Beberapa menit yang lalu. Ada apa, ya, Pak? Tadi, kelihatannya dia berantakan banget dan menangis," jawab Dimas. Sebetulnya dia nanya begitu, hanya ingin melihat reaksi Reno saja. Terlihat, Reno salah tingkah. Dia mau menjawab tapi, di dahului Devi. Sehingga dia pun mengurungkan niatnya itu. "Hei, bukan urusanmu, mengerti!" bentak Devi, dengan angkuhnya. "Kamu, nggak usah ikut campur!" lanjutnya lagi. Dimas diam,dalam hatinya dia ingin memaki perempuan yang ada di hadapnnya itu. Namun, dia sadar siapalah dirinya, hanya bawahan dari selingkuhannya itu. "Dev, kamu jangan begitu. Aku, juga mengkhawatirkan Khanza," tegur Reno. Devi, marah dia nggak suka Reno masih peduli sama Khanza. "Sudahlah, Mas. Nggak usah ngebahas dia lagi, kalian kan udah putus. Sekarang ayo kita berangkat, katanya tadi lapar. Keburu terlambat kita makan siangnya," ucap Devi. Dia ingin segera pergi dari hadapan Dimas. Seperti kerbau yang di cocok hidung, Reno nurut saja apa yang di kata Devi. Tanpa berkata pada Dimas, dia berlalu menuju parkiran. Dimas hanya bisa menatap atasannya itu, dia pun melanjutkan berjalannya yang sempat tertunda menuju ruang kerjanya. *** Khanza, mengendarai motornya setengah ngebut, dia ingin sekali sampai ke suatu tempat yang sepi. Tempat di mana dia bisa menumpahkan semua kesedihan di hatinya, akibat ulah dua laknat itu. Sebuah taman dengan danau di pinggirnya, Khanza pilih. Suasananya sepi dan teduh karena banyak di tanami pohon- pohon rindang, cocok sekali untuk dia menyepi menghilangkan kesedihan di hati. Khanza berjalan menuju kursi yang ada di taman, dia pun duduk di bawah pohon rindang. Suasana di sana nampak sepi sekali, hanya sesekali terdengar kicauan burung yang saling bersahutan di atas pohon. Di kursi taman itu, Khanza duduk termenung. Tanpa terasa air mata yang sempat mengering, kini mengalir kembali di kedua pipinya. Khanza ingin teriak, dia ingin memaki atas kebodohan dirinya yang selama ini terlalu percaya pada dua orang penghianat itu. Dia pukul-pukul dadanya sendiri yang terasa sesak. Aaaaaa...! Khanza berteriak sekencang mungkin, seolah dia ingin melepas semua bebannya. Dasar penghianat! b******k kalian, aku benci, benci! "Hei, berisik! Ngapain maki- maki nggak ada orangnya. Pake nangis- nangis lagi. Udahlah, nggak usah drama, masih banyak laki- laki ganteng di dunia ini. Termasuk saya," suara laki- laki terdengar dari balik pohon. Mendengar ada suara seseorang, Khanza terperanjat. Dia tak menyangka, jika ada orang lain juga di sana. Dia pun mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Namun, nihil. Bahu, Khanza bergidik, ada rasa takut di hatinya karena tempat itu memang sepi. Dia pun terus celingak-celinguk mencari suara orang tadi. "Saya, di sini. Di balik pohon belakang kamu. Kenapa, kamu takut? Saya manusia sama seperti kamu, bukan hantu," suara itu terdengar lagi. Karena merasa penasaran, Khanza pun bangun dari duduknya. Dia berjalan mendekati sumber suara tadi. Tiba di dekatnya dia diam terpaku, ternyata memang ada orang di disitu. Bukan hantu seperti yang dia pikirkan tadi. Di kursi, di bawah pohon rindang itu, ada seseorang tengah tiduran mata dia di tutupi lengannya sendiri. Khanza melengos, ada rasa malu di hatinya. Tadi dia telah menangis dan marah-marah tak jelas. Dikira tidak ada orang tapi, ada juga yang mengetahui kebodohan dirinya yang telah menangisi para penghianat. Orang tersebut menurunkan lengan yang menutupi wajahnya, lantas dia bangun duduk bersender di kursi taman itu. Dia tersenyum hangat pada Khanza, membuat Khanza salah tingkah. "Kenapa, kamu teriak-teriak dan juga nangis kaya gitu? Aku yang sedang mencari inspirasi jadi terganggu, 'kan. Kamu sedang patah hati, Ya? Nggak usah di tangisi laki - laki kaya gitu, itu tandanya dia bukan laki-laki baik," cerocos orang tersebut sok menasihati. Mendengar perkataan orang yang tak di kenalnya itu, Khanza jadi berpikir nih orang sok tahu banget. Kenal juga nggak tapi, udah sok dekat. Pake nasihati segala. "Ya, udah saya minta maaf, tadi hanya ingin melepas beban di hati aja. Saya kira tidak ada orang, lagian ini tempat umum jadi bebas kan kalau kita mau ngapain juga. Nggak harus bayar, kalau merasa terganggu jangan di sini cari inspirasinya," ujar dia ketus. "Hei, jutek banget Neng, ngomongnya. Saya, cuma bercanda, kok. Kenalkan, nama saya, Damar. Kamu, namanya siapa?" ujar Damar memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Khanza mencibir mendengar nama Damar di sebut, dia tak yakin kalau itu nama sesungguhnya. Dia pun enggan menerima uluran tangan tersebut. "Baru pertama kenalan aja udah bohong, gimana nanti. Saya, tak punya nama, dan nggak usah bersalaman bukan muhrim," ucapnya masih ketus. Damar tersenyum dia udah bisa menebak, jika gadis yang di hadapannya pasti akan menolaknya. "Kamu nggak percaya namaku Damar, kenapa? Padahal itu beneran loh, dan masa iya, kamu tak punya nama. Justru di sini kamu yang sedang berbohong, iya, 'kan?" cecar Damar. Khanza gelagapan, dia bingung kok bisa bertemu dengan orang aneh, di tengah- tengah hatinya sedang tidak baik- baik saja. Dia makin pusing mendengar ocehan Damar terus. "Iya, lah, saya tidak percaya. Nama Indo tapi, wajah bule. Aneh, 'kan? Itu artinya kamu tuh, tengah berbohong agar saya percaya kalau kamu orang Indo, benar kan tebakan saya?" Khanza menjawab dengan percaya diri. Damar terkekeh, dia merasa gemas juga dengan gadis yang ada di hadapannya ini. Rupanya dia baru menyadari, kalau gadis itu tak mudah untuk di bawa berkenalan. "Baiklah, Nona. Oke. Saya perkenalkan nama lengkap saya. Ya, nama saya memang benar Damar, itu udah pasti. Lengkapnya Damar Daniel Baden, ibu saya orang Bali dan Bapak orang Jerman. Jadi kenapa di namakan Damar ya, karena Ibu orang Indo. Namun, belakangnya ada nama Jermannya, jadi sekarang kamu paham, Nona?" tanya Damar kembali. Khanza nyengir, dia merasa malu sendiri telah berdebat dengan orang asing. "Oke, baiklah saya minta, maaf," jawabnya. "Di maafkan. Namun, boleh tahu nggak nama kamu siapa? Soalnya saya penasaran banget, dengan gadis cengeng seperti kamu ini," ujar Damar sambil cengengesan. Mendengar dia disebut sebagai gadis cengeng, Khanza tak terima matanya langsung melotot dan bibirnya pun komat-kamit entah ngomong apa. Damar memperhatikan tingkah Khanza, dia merasa gemas sendiri dan ingin mencomot bibir yang sedang manyun itu. "Enak saja, saya nggak cengeng. Jangan sembarangan, ya, kalau ngomong. Saya aduin ke Komnas HAM, nanti. Baru tahu rasa! Dengan tuduhan pencemaran nama baik," ucapnya dongkol. Damar tergelak mendengar ucapan Khanza barusan, dia merasa geli dan juga gemas pada gadis yang baru di temuinya itu. "Hahaha, kamu tuh ada-ada aja pake mau ngadu segala. Iya, iya, nggak cengeng tapi, hobby nangis," kelakarnya. Khanza mendengus, sungguh dia merasa sebal dengan laki- laki yang ada di hadapannya itu. "Sama aja. Nggak bakalan bener, ngomong sama kamu. Lebih baik, saya pulang. Pusing kepala saya ada di sini terus," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Damar, yang duduk terpaku. "Hei, Mentari. Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali. Saya panggil kamu Mentari, kan, kata kamu nggak punya nama, jadi saya kasih tuh, free! Khusus buat kamu, nggak usah bayar," teriak Damar sambil terkekeh. Rupanya dia puas telah menggoda gadis cengeng itu, menurutnya. "Terserah!" teriak Khanza kembali. Dia terus berjalan menuju motornya, tanpa mau menoleh lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD