Lelaki berkumis tipis itu tengah menggaruk rambut cepaknya dengan tangan, entah sudah berapa hari ia tidak keramas karena mengingat kasus pembunuhan yang marak terjadi belakangan ini belum ada yang tuntas dan tidak ada titik temunya. Beberapa polisi yang sudah sibuk mengurus berkas-berkas yang bertumpukan di atas meja membuat mereka sampai tidak bisa sekedar mandi atau pun membersihkan diri.
"Pak Damar, ada polisi muda yang baru dipindah tugaskan dan mulai sekarang akan bekerja sama dengan anda dalam menangani kasus pembunuhan beberapa hari ini." Jelas seseorang berpangkat lebih tinggi darinya, namun pria yang hanya memakai kaos hitamnya itu merunduk saja dengan memakai kaos kakinya tanpa beban.
Polisi muda yang kini bersama dengan seniornya hanya mengernyitkan dahinya bingung melihat tingkah sembrono orang yang akan menjadi partner kerjanya itu.
"Saya lebih suka bekerja sendiri," katanya dengan masih merunduk, kali ini memakai sepatunya. "Tidak bisa, ini perintah dari atasan dan tidak bisa diganggu gugat." Kata pria yang sudah beruban itu lagi membuat Damar mendecak tak suka.
"Kalau begitu tolong kasih tau dimana mejanya ya, saya juga harus menemui ke–"
"Terserah bapak, tidak usah melapor ke saya." Potong Damar dengan ekspresi datarnya membuat atasannya itu mencibir samar, "masih saja kurang ajar, yasudahlah saya pergi dulu." Pamitnya dengan sekilas menepuk pelan bahu polisi tampan yang masih berdiri tegak di samping meja Damar.
Dean, polisi berumur 24 tahun itu menipiskan bibir dengan takut-takut menyapa seniornya sekaligus yang akan menjadi parternya ke depan.
Damar sendiri tak menanggapi, hanya kembali memakai jaketnya dengan sekilas mengusap muka ngantuknya dan melangkah keluar membuat Dean tersentak kecil dan menaruh tasnya sembarangan di atas meja.
"Nama saya Dean, umur saya 23 tahun."
"Hm, saya Damar ... 31 tahun." Balasnya masih seadanya lalu melangkah ke arah mobilnya yang terparkir.
"Kita mau pergi kemana?" Tanya Dean yang masih kebingungan, karena di hari pertama begini sudah harus bertugas di luar. "Ke TKP, pagi ini ada laporan lagi kalau salah satu mahasiswa meninggal seperti korban-korban yang lalu." Jelas Damar sembari melangkah masuk ke dalam mobilnya membuat Dean mengikuti dan duduk di kursi sebelahnya.
"Apa mungkin ini pelakunya sama atau hanya kebetulan saja?"
Damar masih diam, menarik gas pergi meninggalkan halaman kantor polisi. Pria jangkung dengan alis tebalnya yang sebelahnya terlihat ada luka sayatan itu melirik sekilas ke arah Dean.
"Yang pasti ini bukan perbuatan manusia," Dean meneguk ludah kasar dengan mengernyitkan dahinya, "apa mungkin ini perbuatan Vampire?" Tanyanya dengan kembali menelan ludah kasar. "Itu yang harus kita cari tau sekarang." Balas Damar dengan menginjak gas makin melajukan mobilnya cepat.
"Tapi, bapak beneran percaya kalau Vampire itu ada?"
Damar terdiam dengan menggigit rahangnya kuat. Ia juga merasa ragu apa mahluk itu beneran nyata atau tidak. Karena merasa aneh saja dengan pemberitaan yang ada dan juga fakta yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Semua korban memang ditemukan meninggal dengan leher mereka yang terdapat dua bekas gigitan dan juga cakaran pada bahu beberapa korban. Selain itu mereka kehabisan darah dan tubuhnya kaku seperti darahnya disedot habis. Dan yang lebih mencengangkan adalah, tidak adanya jantung korban yang membuat para polisi kebingungan setengah mati.
Kalau vampire itu beneran ada, kenapa mereka sampai sekarang belum menampakan diri. Tujuan mereka membuat kekacauan seperti ini apa sebenarnya. Sampai harus membuat stasiun televisi penuh dengan berita kematian dimana-mana yang masih menjadi misteri sampai sekarang.
Beberapa puluh menit kemudian, mereka berdua pun sampai di depan gerbang kampus. Langsung memarkirkan di bahu jalan dan melangkah turun dari mobil. Alis Damar bertautan melihat sudah ada garis polisi di samping parkiran kampus. Ternyata pembunuhnya juga keliaran di sekitaran kampus. Kalau terus-terusan begini, populasi manusia akan makin berkurang.
"Kejadiannya tadi pagi, sekitar jam dua." Jelas polisi yang memang sedari tadi sudah berada di TKP, menjaga garis polisi memastikan tidak ada orang yang tidak berkepentingan masuk ke sana. "Kenapa bisa ada mahasiswa yang masih berkeliaran jam segitu di kampus?" Tanya Damar dengan kening mengkerut. "Dari informasi yang didapat, dia ketiduran di ruang kelasnya dan hendak pulang saat bertemu dengan pembunuhnya." Lanjut polisi itu lagi membuat Damar mendecak samar.
Dean sendiri sudah berjongkok dengan mengamati bekas tempat meninggalnya korban. Pemuda itu menghela napas samar dengan mengedarkan pandangannya mencari kamera CCTV yang mengarah pada tempat parkir.
"Semua CCTV yang mengarah ke parkiran tidak bisa berfungsi, semuanya rusak dan hanya layar hitam yang muncul."
"Apa itu masuk akal? Kenapa harus disaat kejadian pembunuhan begini? Jangan-jangan ada pihak yang berniat menyabotase?" Ujar Dean dengan memandang Damar yang hanya mengernyitkan dahinya berusaha mencari jalan. "Ruangan keamanan kampus dimana?" Tanya Damar menoleh pada polisi di belakangnya yang nampak kaget karena pertanyaannya. "Kenapa?"
"Saya harus memastikan sendiri kalau memang kameranya beneran rusak." Tutur Damar dengan tatapan dinginnya, "kalau bapak melakukan itu ... bisa saja akan dapat teguran dari atas."
"Peduli setan dengan mereka, emangnya mereka tau apa yang terjadi sekarang? Semua sedang heboh dengan pembunuhan sekarang dan mereka cuma bisa duduk leha-leha kan?" Geram Damar jadi memarahi polisi di depannya yang tidak tahu-menahu. "Kalau mereka saja tidak peduli dengan keadaan masyarakat, kenapa saya juga harus peduli dengan perintah mereka?" Lanjut pria jangkung itu sudah melangkah pergi membuat Dean sontak mengekori dengan berlari kecil dan menyempatkan memberi hormat pada polisi yang berjaga di TKP.
Damar sudah mempercepat langkahnya dengan berbelok ke arah koridor. Ia mengernyitkan dahinya merasa bingung entah harus kemana karena memang tidak tahu dimana letak ruangan keamanan di kampus ini.
Ia pun menahan salah satu mahasiswa di sana yang membuat Damar menghela napas melihat penampilan sosok di depannya itu. Kacamata tebal, hoodie kebesaran, sepatu bertali, dengan ransel besarnya yang membuatnya tubuhnya makin mungil.
"Ruangan keamanan di sini dimana ya?" Tanyanya berusaha lembut.
"Di lantai tiga depan tangga, samping ruang kesehatan." Jelas pemuda itu dengan mengerjapkan matanya polos. "Bisa bantu antar saya ke sana?" Tanya Damar lagi membuat sosok kurus itu mengangguk saja lalu melangkah lebih dulu membuat Damar dan Dean mengekori. "Liftnya lagi rusak, jadi harus naik tangga." Ujar pemuda itu lagi dengan tersenyum ramah.
Damar pun hanya mengangguk saja dengan melipat kedua tangan di depan d**a.
"Senior, apa kita tidak periksa black box? Atau mungkin saja ada saksi mata." Kata Dean sudah menegakan tubuh, Damar menganggukan kepalanya mengerti.
"Kita periksa dulu CCTVnya, baru kita cari tau apa ada kendaraan yang terparkir di sini semalam atau tidak."
"Baik, senior."
Mereka pun kembali menaiki tangga lantai dua dengan masih mengekori anak laki-laki yang terlihat memegang ranselnya kuat itu.
"Apa pembunuhnya vampire?" Tanya pemuda itu tanpa menoleh membuat Damar dan Dean saling pandang sekilas.
"Sedang diselidiki," kata Damar pelan.
"Kalau beneran itu vampire, tolong cari cara buat musnahin mereka semua. Saya tidak ingin kehilangan teman-teman saya ataupun orang-orang terdekat saya."
"Sedang kami usahakan,"
"Terima kasih, semoga vampire-vampire itu segera ditangkap."
Mereka pun akhirnya sampai di lantai tiga berkat bantuan cowok pucat itu yang seperti tidak bertenaga.
"Terima kasih ya sudah membantu,"
"Iya, pak."
"Arthur!"
Damar menoleh pelan dengan menaikan sebelah alisnya saat melihat tiga orang pemuda mendekat dengan langkah selengeannya. Salah satu dari mereka langsung mengalungkan tangannya pada anak yang bernama Arthur itu.
"Eh ada siapa nih? Kau sekarang berbaur dengan orang-orang aneh ya?" Tanya pemuda itu dengan mencengkram bahu Arthur kuat sampai ia merintih sakit.
Damar yang masih berdiri di sana, hanya mengamati perilaku mereka mencoba tidak ikut campur. Karena masalahnya saja sudah banyak, ia tidak ingin menambah beban pikrian dan pekerjaannya.
"Bukan siapa-siapa," cicit Arthur masih memegang tali ranselnya kuat dengan bahunya yamg ditekan kuat oleh sosok berambut pirang itu.
"Senior, kita harus ke ruangan keamanan sekarang." Fokus Damar teralihkan saat Dean menyentuh bahunya pelan, lelaki bertubuh tegap itu sekilas melirik ke arah Arthur yang sudah diseret paksa dengan diikuti gelak tawa dari anak-anak yang bersamanya.
"Senior," panggil Dean lagi membuat Damar mau tidak mau berbalik pergi, mengacuhkan Arthur yang terlihat tertindas karena anak-anak tadi.
_____
Arthur sudah terlempar ke dinding sampai terdengar bunyi dentuman kuat membuat pemuda itu merintih kesakitan sampai terbatuk kecil dan ada darah yang keluar dari sana.
"Aku nungguin di depan kelas, tapi kau malah mengobrol dengan orang asing dengan santainya. Kau kira kau ini siapa?" Teriak pemuda itu yang kembali menendang Arthur lagi dan kini menginjak batang lehernya kuat.
Arthur terbatuk kuat dengan berusaha melepaskan diri dari injakan kuat sosok jangkung yang bernama Alex itu. Bahkan, kedua lengannya sampai tergores karena duri dari sepatu pemuda bertato itu yang memang sengaja memasang benda kecil pada setiap sudut sepatunya. Memudahkan ia menyiksa orang-orang yang ia anggap sebagai bonekanya.
"Kau harus membayar perbuatanmu, kau kira menunggu itu enak? Aku sampai harus keringat gara-gara menunggu roti yang kau belikan. Dan sekarang aku harus menahan lapar gara-gara kau, anak sialan!" Katanya masih enggan menarik kakinya.
Arthur sudah meronta dengan mukanya yang memerah padam, urqt-urat lehernya muncul dipermukaan karena ia yang berusaha mendorong kaki Alex menjauh darinya.
"Seharusnya dari dulu kau kubunuh saja, biar tidak ngelunjak begini." Tutur pemuda itu dengan terkekeh pelan lalu kembali menginjak kuat leher Arthur bahkan hendak berdiri dan menjadikan satu kakinya sebagai tumpuan berat badannya.
Alex masih bisa tergelak sedangkan Arthur tersiksa di injakannya. Sedangkan, kedua temannya hanya menonton saja dengan mengangkat ponsel mereka dan merekamnya. Siapa tahu nanti bisa menjadi video hiburan dikala sedang dilanda duka.
Alex mengumpat kasar saat tubuhnya ditubruk kuat membuat ia sampai terhuyung ke samping. Hampir menubruk tembok kalau saja kedua tangannya lebih dulu menahan badannya.
Alex menoleh kesal dan kini menatap sosok yang baru saja membuatnya terjatuh berdiri dengan mengambil kuda-kuda. Tangannya terlihat mengepal kuat dengan sembarang, ekspresinya jelas sekali ketakutan sampai keringat terlihat pada pelipisnya.
"Apa-apaan nih? Pecundang sedang membantu pecundang yang lain, begitu?" Ujar Alex merasa makin antusias melihat dua orang boneka yang biasa menjadi samsaknya sehari-hari. "Ja-jangan gang-gu kami lagi," gagap sosok yang tidak lain adalah Elang itu masih dengan kedua tangannya yang mengepal, mengambil posisi seperti seorang petinju.
Arthur yang masih terkapar di lantai berusaha beranjak duduk sembari melirik kedua tangannya yang teriris karena benda tajam pada sepatu Alex tadi. Ia menatap Elang yang berusaha sekuat tenaga melawan rasa takutnya demi menolong Arthur yang sudah sekarat.
"Jadi, makin menyenangkan kalau ada dua orang yang bisa aku hajar sekarang. Kebetulan moodku sedang tidak baik," kata Alex menggerakan tangannya menyuruh Elang mendekat padanya.
"Sini, kalau kau datang sendiri ke sini ... aku akan menghajarmu agak pelan. Tapi, kalau sampai aku yang ke sana akan aku buat kedua lengannya tidak bisa kau pakai selamanya." Elang sontak menurunkan tinjunya dan dengan pasrah melangkah ke arah Alex. Karena memang seberapa kuatpun ia berusaha, ia tidak akan bisa melawan Alex.
Sekali pecundang pasti akan terus-terusan menjadi pecundang selamanya.
Elang sudah terjatuh ke lantai dengan kuatnya dan kini napasnya terengah karena pukulan Alex yang membabi buta sampai tidak memberinya jeda untuk bernapas.
Pemuda itu sudah mengerjapkan matanya sayu dengan sudut bibir dam juga hidungnya yang berdarah akibat pukulan Alex.
Arthur yang masih berada di sana hanya bisa menonton, tidak bisa melakukan apapun karena ia juga terluka.
"Sudahlah, kita pergi saja dari sini. Lagian mereka sudah tidak bisa dipakai lagi," ujar Alex dengan melangkah pergi sembari terkekeh dan dengan tanpa dosanya melambai sok akrab pada Arthur yang sontak mengalihkan pandangannya.
Setelah Alex dan kedua temannya pergi, Elang pun bergerak kecil dengan merasa perih pada sekujur tubuhnya. Bahkan, ia merasa hidungnya patah kini karena tadi mendengar bunyi krek saat Alex menghantam hidungnya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Elang tersenyum seperti orang bodoh dan kini menatap Arthur lurus.
Pemuda itu hanya menghela kasar dengan beranjak berdiri dan melangkah mendekat pada Elang yang masih dalam posisi duduk bersandar pada dinding.
"Lain kali tidak usah menolong saya, lagi pula kita tidak terlalu kenal dekat. Jadi, tolong jangan menempatkan saya diposisi yang sulit."
"Ba-baiklah,"
"Terima kasih," Elang tersenyum begitu saja mendengar kalimat yang membuat hatinya menghangat itu. Arthur pun sudah berlalu pergi meninggalkan Elang yang sudah merintih kesakitan dengan perlahan berdiri.
"Luar biasa kamu, Elang. Wajahmu bisa hancur kalau sehari-hari dijadikan samsak begini," gumamnya bermonolog sendiri.
"Bagaimana nanti kalau dosen nanya soal luka ini, dasar Elang bodoh!" Lanjutnya lagi masih mengomeli diri sendiri dan kemudian melangkah cepat pergi dari sana.
Langkah Elang terhenti saat melihat beberapa mahasiswa senior sudah berkumpul di aula. Dan kini meraka menyuruh semua mahasiswa di kampus segera ke aula, ada yang ingin mereka sampaikan.
Pemuda yang mengenakan pakaian kaos lengan panjang warna cokelat dengan celana jeans abu-abunya itu melangkah cepat sembari berusaha menutupi wajahnya dengan ranselnya. Tidak ingin sampai ada yang menotice lukanya.
Ia pun sudah berdiri di barisan paling belakang, bersama dengan teman-teman jurusannya yang sudah berjejer rapi di depannya. Elang menautkan alisnya saat melihat ketua himpunan kampus kini berdiri di atas podium dan ditangannya sudah memegang microphone.
"Selamat siang semuanya, saya Aidan ketua himpunan mahasiswa." Ujarnya menjeda omongannya, "besok saya dan tim akan melakukan pemeriksaan kepada seluruh mahasiswa kampus mengenai insiden yang marak terjadi baru-baru ini." Katanya sekilas menarik napas panjang, "banyak pembunuhan terjadi dan setiap harinya pasti ada korban. Sudah dipastikan ini bukan perbuatan manusia melainkan vampire." Lanjut pemuda itu dengan menggebu-gebu.
"Oleh karena itu, saya akan memeriksa semua mahasiswa di kampus ini. Siapa tahu ada salah aatu vampire yang bersembunyi dengan berkedok sebagai mahasiswa di kampus ini." Tutur Aidan dengan lantang. "Saya tidak ingin kalau ada vampire yang berkeliaran disekitar kita atau bahkan di lingkungan kampus, oleh karena itu saya akan mengadakan uji tes apakah kalian vampire atau tidak. Ini demi meninggalkan keresahan yang ada," mendengar itu Elang sontak membulatkan matanya kaget dengan berulang kali meneguk ludahnya kasar.
"Vampire itu regenerasinya cepat, makanya saya akan membuktikan kalau memang tidak vampire di kampus ini. Dimohon pengertiannya, tangan kalian akan disayat sedikit saja sampai terlihat darahnya menggunakan pisau bedah, kalau kalian tidak terbukti sebagai vampire ... tim medis akan langsung mengobati. Jadi, jangan khawatir." Jelas pemuda itu lagi membuat beberapa mahasiswa sontak mengeluh.
"Seram banget kak, emangnya harus sampai segitunya ya?"
"Kan masih bisa cari tahu dengan cara lain, kenapa tangan kami harus disayat?"
"Ini termasuk tindak kejahatan loh."
"Pokoknya saya gak setuju kalau tangan saya harus disayat,"
"Disuntik saja saya takut apalagi harus disayat?"
Aidan terdiam lama dengan mengedarkan pandangannya ke semua mahasiswa yang masih berada di sana. Berusaha mengamati setiap ekspresi junior-juniornya maupun teman-teman seangkatannya. Pemuda berpakaian rapi itu kembali menyalakan microphone.
"Yang menolak aksi ini akan saya tandai dan saya anggap kalian adalah vampire ataupun kaki tangannya. Dan yang besok absen ataupun ijin akan saya datangi langsung ke rumahnya, jadi jangan coba-coba kepikiran untuk kabur." Ujar Aidan lalu mengakhiri pidatonya sembari membubarkan barisan.
Elang di tempatnya masih mematung dengan menipiskan bibir, merasa gugup. Ia tahu kalau kekuatan fisiknya tidak sehebat vampire-vampire lain, tapi Elang juga bisa regenerasi seperti kaumnya. Tapi, ia dan vampire lain punya perbedaan yang cukup signifikan. Entah ia harus merasa bersyukur atau tidak yang jelas regenerasi ia lebih lambat dari vampire lainnya. Bahkan, bisa dikategorikan belum bisa regenerasi dengan sempurna.
Bahkan, sampai sekarang taringnya pun masih belum tumbuh sempurna. Ia juga tidak tahu penyebabnya apa. Padahal ia adalah seorang Vampire juga.
Apa karena selama ini ia terlalu lama berinteraksi dengan manusia. Atau bahkan sudah terlalu menikmati makanan manusia yang membuat pertumbuhannya sebagai vampire jadi terpengaruh.
Ia juga tidak sekuat vampire lain yang bisa menggunakan kekuatannya untuk menghajar orang lain. Kalau saja Elang bisa beladiri dan bisa berkelahi mungkin saja sudah dari lama ia melawan Alex dan mencoba sekali saja untuk mengalahkan pemuda yang kini berambut pirang itu.
Elang menghela napas samar, memandangi pantulan dirinya pada kaca di sampingnya. Entah bagaimana ia harus bertindak untuk membantu orang-orang yang sedang kesulitan sekarang karena ulah vampire. Tapi, ia tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak punya kekuatan. Dari semua vampire yang ada, mungkin ia adalah satu-satunya vampire yang tidak berguna dan lemah dari kelompoknya.
Bahkan, berhadapan dengan manusia saja ia tidak bisa apalagi sesama kaumnya.
"Erlangga?"
Elang sontak menolehkan kepalanya dengan kening mengkerut memandangi dua orang yang kini mendekat ke arahnya. "Kau yang bernama Erlangga, kan?" Elang kembali mengangguk dan berusaha mengenali siapa orang-orang tinggi yang mengajaknya ngobrol ini.
"Saya polisi yang menangani kasus pembunuhan di kampus ini."
"Oh, bapak polisi ternyata ... apa ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanyanya dengan alis bertautan.
"Saya ingin menanyakan tentang kasus ini, kau terlihat berada di dekat tempat kejadian saat insiden terjadi." Jelas polisi membuat Elang mengerjapkan matanya kaget. "Saya, pak?" Polisi mengangguk saja dengan berusaha tidak mendesak pemuda di depannya. "Oh, saya memang ke kampus pak cuma sebentar aja, karena materi tugas saya ketinggalan di kelas. Kalau bapak gak percaya, bapak bisa lihat di CCTV yang di belakang kampus, pak. Soalnya saya lewat gerbang belakang." Ujarnya menjelaskan dengan perasaan gugup, walau tidak bersalah tetap saja ia merasa gemetaran karena di depannya ini adalah polisi dan sekarang sedang menginterogasinya.
"Jadi, kamu punya alibi ya?"
"I-iya, pak."
"Baiklah, saya permisi."
Elang kembali mengangguk saja dengan menghela napas lega, ia melangkah keluar aula dengan memikirkan apa yang ketua himpunanya sampaikan tadi. Ya, semoga besok tidak akan ada kejadian yang mencolok yang membuatnya menjadi pusat perhatian.
Pemuda itu pun menggelengkan kepalanya berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal itu lagi, yang perlu ia pikirkan sekarang adalah bagaimana menyelesaikan tugas yang diberikan dosennya minggu lalu. Sampai sekarang ia belum mengerjakannya karena susah.
"Semoga ada keajaiban untuk otakku yang buntu ini," katanya sembari berlalu pergi meninggalkan aula kampusnya.
Setelah Elang pergi dari sana, seseorang muncul dari dalam kegelapan aula dengan kelopak matanya yang merah seperti darah dan wajah pucatnya dengan tubuhnya yang seperti tidak kasat mata. Seakan belum sempurna, masih seperti kaset rusak yang membuat bayangan tubuhnya bergera-gerak. Tatapan matanya masih mengikuti langkah Elang yang semakin menjauh dan perlahan menghilang di balik koridor kelas. Sosok pemilik kuku hitam panjang itu merunduk samar memandangi kedua kakinya yang telanjang, sama sekali tidak punya sesuatu untuk membungkus kedua kakinya yang dingin.
Samar-samar suara orang mendekat membuat ia meredupkan diri dan kini tidak terlihat, menyatu dengan kegelapan yan ada di sana. Saat ia membuka kelopak matanya, terlihat menyala terang dengan taringnya yang semakin runcing. Bibirnya bergumam samar denga hidungnya yang menghirup sesuatu yang kuat dan manis.
"Darah," ujarnya dengan melangkah mendekat ke arah ambang pintu berusaha mencari mangsa. Langkahnya terhenti saat melihat bebrapa mahasiswa kampus kembali berjalan ke arahnya dengan terburu-buru membuat ia kembali bersembunyi dari keramaian. Lagipula kulitnya tidak bisa terkena sinar matahari, karena fisiknya yang sekarang sedang buruk-buruknya. Ia harus meminum banyak darah dan mengumpulkan jantung manusia agar tubuhnya bisa berpijak pada bumi dengan sempurna. Agar ia bisa melakukan tujuannya yang selama beberapa tahun ini tidak bisa ia lakukan.
Sosok itu menajamkan pandangannya melihat sosok Erlangga yang tengah sibuk merunduk dan juga keteteran memegang barang bawaannya membuat sosok vampire yang sedang mengintainya bergumam samar.
"Sudah besar kau rupanya, Elang."