Radit menekan kedua sisi kepalanya, lalu menggigit ibu jarinya. Wajahnya kelihatan banget tengah gelisah akan sesuatu.
Sheryl menoleh sebentar, seolah ingin tahu sesuatu apa yang bisa membuat cowok macam Radit gusar. Nggak mungkin karena dia ditugasi sebagai pembimbing anak magang lalu gelisahnya melebihi ketakutan Sheryl.
"Well, Raditya, tell me, lo kenapa sih? Ada masalah?"
Radit mengangkat kepalanya begitu pertanyaan itu muncul dari bibir Sheryl. Apakah ada masalah? Dia juga nggak tahu kenapa bisa malas banget setelah tahu ada cewek yang ditemuinya di stasiun waktu itu, dan kini muncul lagi di kantor.
"Gue— nggak takut, cuma lo pernah nggak sih ..." Percaya kalau pertemuan yang kedua kalinya itu bukan kebetulan, itulah kata yang nggak bisa dipertanyakan oleh Radit, gantinya pria itu justru mengalihkan pertanyaannya pada sesuatu yang membuat Sheryl cengo. "pernah nggak sih nervous pas mau jadi pembimbing anak magang?"
Sheryl langsung memelototkan matanya. Radit? Grogi di depan anak magang?
What the—
"Banci lo! Sama junior aja grogi, mental lo abis patah hati kenapa kendor gini si, anjir," maki Sheryl nyablak banget.
Radit melirikkan matanya tajam, pengen banget rasanya nyambelin mulut Sheryl yang kelewat pedes itu. Masalahnya, setelah pertemuan keduanya dengan cewek aneh itu, sekarang otaknya mulai terdistraksi dengan dalil ngawur Sheryl.
Pertemuan itu bisa saja hanya kebetulan, lalu kalau sudah bertemu lebih dari satu kali apa mungkin itu takdir. Oh, tapi setelah Radit berpikir kembali, ia menyadari sepertinya ini akan menjadi pertemuan berulangkali mengingat kalau cewek aneh di stasiun itu adalah anak magang di kantornya.
Ini jelas takdir dari Tuhan. Iya, takdir sial sepertinya. Karena sejak pertama bertemu dengan cewek aneh itu, Radit sudah bisa mencium aroma bahwa itu cewek akan menempati porsi besar dalam masalah hidupnya.
Astaga!
Radit harus melakukan pencegahan sebelum mulut Sheryl berkoar lebih lebar atau cewek itu yang justru bakalan menyebarkan cerita bahwa mereka pernah bertemu di stasiun.
Diliriknya Sheryl yang tengah menekan-nekan sesuatu di bahunya, cowok itu bergidik ngeri. "Sher."
Sheryl melirik Radit sebentar. Radit terdiam ragu-ragu saat akan meneruskan kalimatnya.
"Cewek di stasiun waktu itu—"
Sheryl langsung menghadapkan tubuhnya sempurna ke arah Radit dengan mata melotot pula. "Lo suka beneran, kan?"
Radit menoyor kepala Sheryl, belum juga ia menyelesaikan kalimatnya sudah nyamber aja kayak petir.
"Nggak!" tegas Radit, "gue cuma mau bilang sama lo, jangan sampe kejadian di stasiun itu nyebar ke banyak orang."
Sheryl menaikkan satu alisnya dengan senyum miring yang bikin Radit langsung salah tingkah. "Kenapa lo setakut itu? Dia nggak—" Radit mengangguk.
Sheryl melotot lebar. "Itu cewek di sini? Kerja di sini?"
"Magang!"
"Surprise banget bisa ketemu itu cewek di sini lagi, gilaa! Tuh, kan gue bilang juga apa, itu pasti takdir, siapa tau dia jodoh—"
"OGAH!" potong Radit cepat.
Sheryl tuh emang sinting atau ia sudah putus asa melihat Radit sampai sekarang belum mendapatkan jodoh juga. Meski begitu, bukan berarti cewek aneh di stasiun itu yang harus jadi jodohnya.
Diantara sekian banyaknya cewek di dunia ini, bersaingan dengan Taylor Hill, Kate Winslet, Emma Watson, Shailene Woodley, menyempil di sana sosok Fani Aresta sebagai lima wanita tercantik menurut Radit.
Lalu apa-apaan dengan ide Sheryl? Jodohnya anak magang? Cewek aneh di stasiun itu? Oh, God, tolong jangan bercanda lagi soal pasangan hidupnya.
Bokap-nyokap Radit nyaris terserang stroke ringan akibat gagal menikah dengan Fani, jangan lagi berurusan dengan anak di bawah umur yang jelas bawel dan ngeribetin Radit. Dia nggak kuat lagi!
Sheryl mendekatkan wajahnya ke arah pria itu, Radit langsung mencureng. "Apa lagi? Gue bilang jangan sampe bocor! Bau-baunya dia bakal bikin masalah di hidup gue," bisik Radit menghentakkan secangkir teh yang diambilnya dari dapur.
Sheryl terpana. "Lo nggak harus gini juga, kan? Kalo nggak jadi jodoh lo minimal lo kencan sama dia deh? Setuju nggak?" nego Sheryl mencoba untuk membujuk sohibnya satu ini.
"NEVER!" tandas Radit tak terbantahkan.
Fani mendadak muncul di depan pintu, seketika wajah Radit pias. Gadis itu menatap Radit dan Sheryl bergantian.
"Dit, udah mau dimulai tuh, lo ke ruang meeting dulu sana, semua anak magang dikumpulin di sana loh, beresin semua makanannya Sher," titah Fani seperti biasanya langsung membuat dua orang sohibnya itu bergerak sesuai arahan.
Radit bangkit, masih dengan kepala menoleh ke arah Sheryl, memberi sinyal pada gadis itu lewat tatap matanya yang tajam memperingatkan sampai ia keluar dari ruangan Sheryl baru lah Radit memberikan fokusnya penuh pada Fani.
"Menurut lo gimana?" tanya Fani tiba-tiba sebelum mereka masuk ke ruang meeting.
Radit mengangkat kedua alisnya tak paham. "Always beautiful, you mean?"
Fani ngakak. "Dih, pikiran lo mah, gue cuma nanya soal anak magang, kira-kira mereka sebawel ekspektasi Sheryl nggak tuh?" tanya Fani dengan mata berbinar geli.
Radit mengedikkan bahunya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak membenturkan Fani ke arah dinding lalu menciumnya dengan ganas seperti waktu itu. Mata Fani benar-benar bikin Radit mabuk kepayang.
Kalau mengingat kembali opsi yang di pilih oleh Fani tempo itu, yang bisa dilakukan olehnya hanyalah tersenyum lagi lantas menggelengkan kepalanya upaya mengenyahkan penyesalan. Radit sudah terbiasa dengan tikaman nyeri di ulu hatinya perihal Fani, meski begitu ia bersumpah nggak akan pernah membenci cewek yang sampai sekarang masih menempati porsi besar dalam hatinya.
"Kita liat aja nanti."
***
Una merutuk setelah perutnya sakit sampai bolak-balik ke toilet buat memuaskan hasrat perutnya itu, sekarang justru ia dalam posisi lapar beraaat!
Dan nggak tahu harus bagaimana lagi agar ia bisa melarikan diri dari ruangan ini. Bukan masalah ia takut keluar, tapi sudah sampai waktunya opening ini dimulai.
Angga melirik ke arah Una, pacarnya itu masih memeras perutnya yang sejak tadi dikeluhkan sakit. "Mau aku anter ke toilet? Kamu sakit loh, sampe pucet gitu," bisik Angga halus banget.
Una menutup matanya. Menyumpahi Ibunya di rumah dengan berbagai sumpah serapah. Jangan-jangan diantara makanan yang dibekali oleh ibunya sudah dicampuri dengan obat pencuci perut? Kalau benar seperti itu ia tak akan melupakan aksi nekat ibunya untuk memalukan Una di hari pertama magang.
"Nggak usaaah!" balas Una ikut berbisik.
Angga seolah tak kehabisan akal, diambilnya minyak oles aromaterapi dari saku ranselnya. "Oles pake ini, seenggaknya ngurangi sakit."
Una bersyukur sekali mempunyai cowok sepintar Angga, itu cowok selalu tanggap melakukan pertolongan pertama di berbagai situasi.
"Thanks ya."
Sementara Una mengoleskan minyak ke perutnya sambil nunduk, Angga mengawasi sekaligus menggunakan badannya untuk menutup bagian tubuh Una yang terbuka.
"Udah beloom?" desis pria itu sembari melirikkan matanya ke arah Una.
Gadis itu berdecak. "Jangan liat ke sini! Aku sumpahin buta kalo sampe liat ke sini."
Angga terkikik geli. Una-nya yang polos.
"Kan sama pacar sendiri, Na, masa nggak boleh liat sih?" goda Angga membuat wajah Una langsung memerah.
"ENGGAK!" Pria itu tertawa kecil.
Bersamaan dengan itu Radit muncul barengan Fani, pria itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan dan berhenti sejenak saat matanya bertumbukan dengan Una.
Hanya sedetik karena kemudian, Radit duduk di kursi paling ujung berseberangan dengan Fani. Seorang pria ikut masuk memberikan penjelasan perihal kantor dan sistem kerja di sana.
"Di depan kalian sudah tersedia lampiran, kertas berisikan nama kalian, silakan cari siapa pembimbing kalian."
Una langsung membuka kertas di depannya, gadis itu tersenyum kecil saat mendapati satu nama berstabilo biru di sana. Raditya.
Pandangan Una mengantarkan gadis itu ke arah cowok yang kini duduk paling ujung dan ikut menatapnya dengan khawatir. Kegelisahan Radit tertangkap jelas oleh Una, karena begitu gadis itu nyengir, Radit langsung mengusap wajahnya dengan nelangsa.
Cobaan apa lagi ini, Tuhaaan?
***
Radit lagi fokus-fokusnya pada layar laptop di depannya sebelum pintu ruangannya diketuk dari luar. Menyusul sebuah kepala muncul dari sana dan nyengir lebar.
"Selamat pagi, Pak Raditya," sapa Una dengan senyum riang.
Cowok itu terpana. Wajahnya langsung datar saat tahu siapa yang datang ke ruangannya. Ternyata memang benar gadis ini.
"Selamat pagi, kamu Aruna?" Gadis itu mengangguk cepat dengan kesopanan yang bisa bikin semua orang terpukau.
Tanpa dipersilakan gadis itu duduk di depan Radit. Dari gerakan yang ditangkap oleh Radit udah kelihatan banget kalau ini cewek emang sembrono, seenaknya, dan suka-suka.
Radit melirik gadis di depannya, mendapati Una justru tersenyum sembari menopangkan dagu serta terang-terangan menatapnya.
"Kenapa?"
Gadis itu menggeleng. "Seneng aja bisa dibimbing sama, Pak Radit," ucap Una tulus.
Telinga Radit berdenging mendengar ucapan Una, ini cewek nggak lagi nyoba buat merayu dia, kan?
"Panggil saja Radit, nggak perlu pake Pak, saya belom nikah," jawab Radit datar banget.
Una menggigit bibir bawahnya. Cowok di depannya ini salah tingkah, terlihat dari gestur Radit yang terlihat tidak nyaman disertai mata yang tak mampu menatap Una lebih dari tiga detik.
Gadis itu tertawa kecil. "Dit, jujur lebih nyaman pake gue-elo kayak pas pertemuan kita sebelumnya daripada harus pake saya-kamu."
Radit menoleh lantas menaikkan satu alisnya, menatap gadis yang kini malah melebarkan senyumnya. "Emang kenapa?"
Una langsung melambaikan tangannya meminta Radit sedikit mendekatkan telinganya ke arah Una.
"Lo single, gue juga belom nikah. Kalo pake saya-kamu terlalu romantis, takut baper." Baru saja menyelesaikan kalimatnya, Una langsung tertawa.
Radit langsung menjauhkan kepalanya begitu saja, wajahnya memerah hebat. Gila ya! Baru kali ini ia menghadapi anak magang selancang ini.
"Unaaa," geram Radit, pria itu mendesis. Entah bagaimana hari-hari esoknya, baru bertemu saja gadis ini sudah bikin Radit gemas.
"Jangan buat masalah dengan saya, disini statusnya magang, jadi jangan coba-coba buat bikin ulah, apalagi sama saya." Radit memberi peringatan.
Una menganggukkan kepalanya paham. "Saya nggak bikin ulah kok, janji," ucapnya mengangkat dua jarinya sungguh-sungguh.
Radit menghela napas lega begitu gadis itu mengucap janjinya, meski begitu Una masih saja menatap Radit dengan tersenyum, cowok pertama yang dilihatnya di Bandung ini memang cowok terganteng yang pernah dilihatnya.
Rahang kokoh, tulang pipi tinggi, hidung mancung, mata teduh yang bernaung alis lebat membuat wajah pria itu terlihat tampan berkali-kali lipat bila dilihat dari jarak dekat.
Radit tahu jika tatapan gadis itu masih mengawasinya dengan saksama. "Mana teman kamu yang satu? Ketika menginjakkan kaki di sini, kamu harus ingat tujuan awal kamu bisa masuk ke kantor ini—"
Sudah tak didengarkan lagi apa yang dikatakan oleh Radit karena fokus Una hanya satu. Radit menghentakkan tangannya ke meja. "Kamu—"
Pria itu kehilangan kata-katanya karena tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi gadis di depannya, entah kemana fokus mata itu, karena kemudian Una terkikik lantas menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Ganteng kok, tapi kenapa belom nikah-nikah?"
Hilang sudah kesabaran Radit. "ARUNAAAAA!"
Mampus!
***