"Jadi, Radityaa, sejak kapan lo udah mulai resmi pacaran sama Una?"
Mendadak ruang kerja Radit menjadi ruang interogasi. Sheryl menatap cowok itu dari kejauhan, sedangkan posisi Fani tepat berada di depannya. Una baru saja kelar jalan dengannya menggandeng seabrek jajan yang juga menjadi camilan tutup mulut buat Sheryl yang berbaik hati gantiin Radit duduk di ruangannya.
Radit yang tengah sibuk menyusun kertas di mejanya spontan menghentikan gerak tangannya dan mendongak menatap Fani. Kali ini beneran ia tak paham dengan apa yang diucapkan oleh gadis di depannya.
Bukannya menjawab, cowok itu justru menarik wajah Fani untuk mendekat, menyisakan jarak beberapa senti saja sampai mata Fani melotot.
"Pesona lo masih ada dalem banget di sini ..." Radit menunjuk ke arah dadanya yang lebar dan tersenyum geli. "jadi mana bisa gue ngelupain elo secepet itu, apalagi pacaran sama Una."
Fani spontan menoyor kepala pria di depannya. Kebiasaan Radit ngomong manis di depan cewek, merayu, bahkan ngibul kayak tadi emang nggak bisa dianggap remeh. Apalagi tatapan lembut pria itu, demi Tuhan, Fani bersyukur memiliki hati satu yang kokoh banget.
Kalau tidak, mungkin ia sudah jatuh cinta gara-gara cara pandang Radit yang bikin semua cewek terpesona.
"Elo ngaku aja napa sih, nggak usah godain gue mulu," komentar Fani membebaskan wajahnya dari tangan Radit.
Pria itu menutup berkas di stopmap sebelum akhirnya menatap Fani penuh. "Kalo ada yang perlu gue jelasin ke elo, Funny? Please, ngomong yang lebih jelas dari sekadar nuduh gue pacaran sama Una."
Fani berdecak kesal, ia melirik Sheryl di sofa, gadis itu meniup kuku-kuku dengan warna merah yang baru saja digantinya. "Lo jangan blo'on atau berusaha nutupin dari gue deh, Dit, gue tadi denger banget kalo elo udah pake aku-kamu sama Una gitu."
Radit mengangkat alisnya terheran. What? Bentar dulu, jangan bilang kalau Fani menyimpulkan Radit pacaran sama Una hanya karena aku-kamu?
"Harus banget ya kalo pake aku-kamu berarti ada special something or relationship?" Dan tebakan Radit itu mendapatkan anggukan mantap dari Fani. Teori dari mana coba sampai Fani percaya banget dengan alasan paling nggak logis sedunia.
Tersangka utama yang Radit tunjuk dari semua kesalahpahaman Fani adalah Sheryl. Cewek itu mengangkat wajahnya dengan tampang seolah tak tahu tengah terjadi apa diantara mereka. Radit mendesis geram. "Ini pasti teori bangke lo, kan, Nyet?" teriak Radit kelabakan.
Sheryl menggeleng cepat, Fani berdeham menyadarkan bahwa pria itu masih hutang penjelasan dengannya.
"Seriously, demi Tuhan gue nggak ada apa-apa sama Una, cuma ada satu kejadian yang bikin gue jadi beda aja sama dia hari ini."
Teringat bagaimana semalam ia mencium Una sampai gadis itu menahan tangis dan hampir kejadian pindah pembimbing.
Fani di depan Radit sudah memberikan tatapan menunggu seolah apa yang dikatakan Radit barusan pasti diikuti alasan panjang lebar. Dan sumpah, Radit nggak pernah bisa menolak tatapan Fani kalau gadis itu sudah menunggunya dengan manut.
Melihat bagaimana posisi Radit sudah seperti pendongeng, Sheryl buru-buru mendekat, menggeser sedikit kursi yang ditempati Fani, dipaksanya berbagi gadis itu dengan tubuhnya yang lebih besar.
Radit melotot melihat aksi Sheryl yang hampir membuat Fani terjengkang dari kursinya.
"Jadi lo manfaatin Fani buat mojokin gue," cebik Radit begitu tahu maksud Sheryl.
Radit menyisihkan beberapa lembar kertas di depannya, pria itu sedikit menunduk dan mulai lah ia bercerita, pada sekelumit cerita di malam hari yang membuat rasa bersalah Radit membara, pada fakta tentang Una yang sangat polos, pada penampilan Una yang tampak berbeda pagi ini.
"Apa yang bikin elo sampe mabuk lagi hm?" Fani tak bisa menyembunyikan nada jengkelnya.
Setelah berhasil membuat Radit dan Dave keluar dari clubnight, kali ini kepergian Radit yang mendadak adalah hal paling menohok bagi Fani.
"Lo ... nggak lagi ada masalah, kan, Dit?" tanya Fani hati-hati.
Radit menggeleng dengan senyum. "Muka gue girang banget kayak gini apa keliatan banyak masalah? Oh, meskipun kemaren si k*****t Sheryl nyaris bikin gue panik."
"Gue?" tunjuk Sheryl pada dirinya sendiri.
Radit meloloskan tatapan jengkelnya pada cewek itu. "Kalo lo nggak maksa gue buat nyari cewek, nggak mungkin gue masuk ke Vincent malam itu dan hampir nidurin anak bimbing gue sendiri," jelas Radit sembari menggertakkan giginya.
Fani menganga lebar. Agaknya Radit yang sekarang selalu membawa hati dalam segala ucapan, kenyataan bahwa Radit bisa frustrasi memikirkan cewek yang akan jadi pasangan hidupnya jelas bikin Fani tak percaya.
Maksudnya, Radit gitu loh, itu cowok duduk anteng saja pasti ada aja cewek yang datengin Radit buat minta nomor handphone, atau sekadar kencan dengannya. But, Radit sampe nyamperin Vincent buat nyari jodoh?
Myth or fact?
Radit berdecak kesal begitu melihat dua tampang di depannya tampak tak percaya. "Gue beneran udah insap jadi player, Fan? Apa lo nggak kasian sama gue yang sekarang malah nggak bisa nyari cewek?"
Sheryl langsung nyolot saat mendengar kata terakhir Radit, karena kenyataannya pria itu baru saja jalan dengan Una.
"Terus, Una?"
"Una?" beo Radit. Pria itu tersenyum kecil. "Gue nggak tau, tapi ngeliat dia takut gara-gara gue, bikin gue jadi nggak nyaman aja, well, kalian tau gimana riangnya Una, ngeliat dia ketakutan pas ketemu gue wajar kalo gue nggak enak mana malemnya gue abis nyium dia lagi."
Sheryl memejamkan matanya mulai menyimpulkan cerita Radit. "Jadi, maksud lo,ngajak Una keluar buat jalan adalah upaya minta maaf dari lo atas kejadian nggak sengaja semalem?"
Radit menjetikkan jarinya, suka dengan pemikiran Sheryl yang cepat tanggap seperti anak batita.
"Terus kenapa harus pake aku-kamu-an segala?" buru Fani masih penasaran.
Radit gelagapan. Pria itu melirikkan matanya tajam, bersumpah selepas Fani pergi nanti ia tak akan membiarkan Sheryl melangkah keluar dari ruangannya sebelum ada bagian tubuhnya yang lebam.
"Fan, lo tau kan? Yang namanya minta maaf itu harus pake cara halus. Kayak gitu juga pas gue minta maaf sama Una, biar itu bocah nggak takut lagi sama gue, alangkah baiknya gue berlaku baik sama dia biar dapet maafnya." Fani manggut-manggut mendengar jawaban super lebar dari Radit.
"Lo beneran nggak ada rasa suka dikit gitu sama Una?"
Radit menggaruk belakang kepalanya dengan gatal, gaya cowok itu saat nggak bisa lagi ngeles.
"Gue nggak suka sama Una, tapi entah kenapa, hari ini pas ngeliat dia takut kayak tadi, dia keliatan lebih cantik aja gitu."
Sheryl membulatkan bibirnya, ber- 'oh' ria atas satu jawaban yang memunculkan senyum licik di wajah Sheryl.
"Sekarang udah bisa muji cantik juga, Dit?" Sheryl menganggukkan kepalanya sembari tenang membuka camilan di sampingnya.
Fani tanpa pikir panjang langsung bersorak di depan wajah Radit, pas banget karena itu cowok juga baru saja menyadari ucapannya sendiri.
"Aaaah, muna banget lo, Dit, tinggal ngomong suka aja belibet."
Radit mendengkus jengkel, emang susah ngomong sama cewek, baru muji cantik udah dibilang suka, baru bilang aku-kamu dibilang ada hubungan spesial, bisa-bisa Radit baru natap Una kelamaan juga bakal dikira terpesona kali sama bocah itu.
"Lo nggak inget, Una udah ada pacar?" Radit melayangkan tatapan peringatan pada kedua cewek di depannya.
Sheryl menopangkan dagunya, berpikir sejenak atas satu pertanyaan pria itu. Bukankah bukan kali ini saja Radit terjebak dalam cinta rumit? Dulu saat sama Fani juga kayak gini kali.
"Ini masi pacaran," gumam Fani pelan. Sheryl tersentil dengan ucapan Fani, sejenak kemudian seperti tersadar dengan apa yang dipikirkan oleh Fani, cewek itu tersenyum girang.
"Betul kata Fani, baru pacar, kan?"
Radit menautkan kedua alisnya, setelah berhasil menjadi orang ketiga diantara Fani dan Yoga, apakah Tuhan juga mengutusnya untuk mengusik hubungan Angga dan Una?
"Gue nggak mau ngerebut pacar orang ah, nggak berkah," seru Radit sudah menyuarakan penolakannya.
Sheryl menghentakkan tangannya ke meja Radit, lalu mengaduh saat sadar ia terlalu keras menggebrak meja Radit.
"Siapa bilang ngerebut? Selagi masih pacaran, jalan buat bersaing masih terbuka lebar," tegas Sheryl didukung oleh anggukan Fani.
Radit menggaruk dahinya. Pria itu mengusap wajahnya, berusaha menerima sebuah takdir. Apakah ia ditakdirkan hidup dengan nasib percintaan yang rumit gini? Selalu jadi orang ketiga, mencintai cewek yang sudah punya cowok?
Seleranya dalam memilih cewek benar-benar payah. Padahal tak terhitung cewek di dunia ini.
"Merebut ya?" Radit membeo perkataan Sheryl dengan ringisan. "Lo emang penganut paham sebelum janur kuning melengkung, persaingan masih terbuka."
Sheryl mengangguk. "Tapi, buat lo Dit, sebelum bendera kuning berkibar, persaingan dapetin Una masih terbuka."
Radit langsung ngegas begitu mendengar ucapan Sheryl yang terakhir. "Ngajak ribut lo? Lo nyuruh gue buat jadi PHO lagi, hah? Sebelum merjuangin Una sampe dia mati, mungkin gue udah dimatiin kali sama Angga begitu dia tau gue deket sama Una."
Fani menghentikan pertengkaran kecil di depannya, gadis itu berdecak keras. "Gue nggak suka sama pemikiran lo, Sher." Sheryl terkejut saat Fani menolehkan kepalanya dan tersenyum pahit.
Barulah, saat itu Sheryl tersadar, mendukung Radit untuk memperjuangkan Una yang sudah menjadi pacar orang sama saja mengingatkan Fani pada perjuangan Radit saat mendapatkannya.
"Lo nggak cukup ngelakuin hal kayak gitu pas sama gue aja, Dit?" tanya Fani, daripada dikatakan bertanya sepertinya Fani mengingatkan bahwa hal itu adalah salah satu perbuatan yang sebisa mungkin dihindari Radit layaknya Fani melarang Radit untuk clubbing.
Ada atmosfer canggung saat Fani sudah mulai kayak gini, padahal dari awal gadis itu yang bertanya apakah Radit pacaran atau tidak. Sheryl menarik kecil lengan Fani.
"Fan, lo beneran nggak setuju? Ini masih pacaran loh, belom tunangan."
Fani menggeleng kecil. "Sejak pacaran harusnya sudah bisa belajar setia," bantah Fani tak mengalah, "gue lupa kalo Una punya pacar. Padahal jujur gue seneng banget liat lo deket sama Una barusan."
Radit tertegun. Fani sampai sejauh ini memikirkannya, gimana dia tidak boleh jatuh cinta pada cewek dengan hati selembut dan pemikiran kayak gitu coba?
Radit mengambil tangan Fani, mengusapnya pelan dan menatap kosong ke depan seolah ia ingin berbicara pada dirinya sendiri.
"Sejak lahir takdir cowok adalah pejuang yang terus bersaing, pun sampe besar mereka terus bersaing buat dapetin cewek. Kalo kebetulan apes mereka bakal berebut cewek, but, gue tau banget yang namanya merebut itu nggak baik Fan, tapi gue setuju sama Sheryl, selagi masih belum berhubungan serius kenapa kita nggak boleh ikut bersaing?"
"Nunjukkin ketulusan dan seberapa besar cinta kita sampe itu cewek bisa milih dengan jelas mana yang harus dipilih dan dipertahankan?"
Niat Radit dalam kalimatnya jelas banget menyindir Fani, namun pria itu tersenyum manis pada gadis di depannya, seolah ia mungkin bisa merelakan Fani karena gadis itu yang memohonnya dengan tangis untuk meninggalkan Fani, padahal Radit rela babak belur untuk mendapatkan Fani kembali.
Tiba-tiba gadis itu tersenyum geli. "Jadi, sekarang lo udah ngaku bakalan merjuangin Una?"
JEBAKAN!
Radit terlalu larut melihat Fani yang ketakutan, yang ada cewek itu tengah mengujinya. Fani tertawa kecil, membuat Radit lega. Sheryl terkekeh.
"Jadi, gimana? lo ngerestuin gue sama Una, hm?" tanya Radit mengangkat satu alisnya.
Fani tersenyum mengangguk. "Cowok gentle bukan cuma pacaran doang, gue tunggu sampe lo dateng ke rumah Una buat ngomong sama emaknya, bakalan minta anaknya jadi temen hidup."
"Lo nggak mikir gimana perasaan Angga? Lo nggak takut kalo gue bakal kejadian kayak dulu?" Radit berusaha mengingatkan Fani atau justru memastikan.
Fani menatap Radit sekali lagi, kali ini terlihat banget bagaimana gadis itu tidak memiliki ketakutan. "Elo yang bilang sendiri cowok ditakdirkan buat bersaing sejak mereka masih berupa sperma."
"Selagi elo berani serius sama Una, Dit, gue setuju, tapi jangan melangkah kalo elo beraninya cuma ngerebut Una tapi nggak langsung tunangan."
Radit tersenyum. "Gue nggak akan mundur selagi ceweknya bilang nggak suka sama gue."
Sheryl mengurut dahinya, ia sekarang makin percaya bahwa Tuhan menciptakan Radit dalam rangka menjadi perusak hubungan orang, semoga saja kali ini ia bisa mendapatkan cewek tanpa harus babak belur dulu.
Ditepuknya punggung tangan cowok itu. "Gue dukung lo penuh, perjuangin, mepet aja terus kalo perlu," titah Sheryl diikuti tatapannya yang penuh semangat, "Jangan kasih kendor!"
***