Wanita paruh baya yang memiliki senyum menenangkan itu menolehkan kepalanya kala mendengar langkah kaki di belakangnya.
Mama Fani membelalakkan matanya begitu melihat kedatangan Radit setelah beberapa waktu tak pernah dikunjungi lagi oleh mantan calon mantunya itu.
Ada senyum seorang Ibu yang kemudian muncul saat melihat sosok Radit, pria itu terlalu baik. Bahkan sangat baik, ia adalah dinding beton yang di belakangnya banyak sekali menahan muntahan lava kemarahan, kekecewaan, penyesalan, kehilangan, dan keputusasaan dalam hidup ini.
Tapi, coba lah, sekali lagi ia melihat Radit yang sekarang, bahkan pria itu masih sanggup berdiri meski langkahnya dilumpuhkan berkali-kali. Bukan salah dia, bukan juga salah siapapun. Ini semua takdir.
Mama tak bisa menyalahkan Fani yang kemudian lebih memilih balik pada Yoga, juga tak bisa menyalahkan Yoga terus menerus setelah tahu bahwa pria itu sepenuhnya telah sadar.
Langkah Radit perlahan membawanya pada wanita itu dengan tenang.
"Mama, apa kabar?"
Sapaan yang terlalu formal dan basa-basi pada seseorang yang kini justru terasa sangat jauh untuk bisa direngkuh, Mama terlalu malu pada pengorbanan Radit untuk Fani.
"Mama baik, Papa juga baik kok, kamu sendiri?" tanya Mama langsung menggamit lengan pria itu untuk duduk di kursi meja makan.
Radit mendesah, lengannya memegang bahu kursi dengan erat. "Radit baik kok, sehat terus, lagian tiap hari juga ketemu Fani, Mama kalo kangen bisa titip salam sama Fani."
Seperti memiliki Radit kembali, kali ini wanita itu membelai rambut Radit sehalus belaian seorang Ibu pada anaknya. Anak laki-laki yang didambanya.
"Pulang dari kantor langsung ke sini ya?" Pertanyaan itu serta merta membuat Radit tersadar bahwa ia tidak sendirian saat kesini, ada seseorang yang ia bawa.
Matanya celingukan ke luar, tak ditemukan keberadaan Una. "Iya, Radit abis dari kantor langsung kesini barengan sama—"
"Mamaaaa, Radit punya pacar baru nih! Namanya Una." Sekonyong-konyongnya Fani datang menggandeng Una di belakangnya, gadis itu sendiri langsung gelagapan saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Fani.
Pacar? Waah, bikin salah paham nih. Una menyentakkan pegangan Fani pada lengannya. "Gue bukan pacar Radit tauk," protes gadis itu sembari berbisik pada Fani.
Fani melirik geli ke arah Radit, gadis itu memutar badannya sepenuhnya menghadap pada Una lantas meletakkan fokus matanya pada gadis mungil di depannya. "Sekarang emang belum, liat aja nanti, gue tau banget kali kalo Radit suka sama lo."
Bisikan Fani yang terdengar sangat lembut itu tidak hanya membuat Una terpana, tapi juga memberikan efek besar pada perubahan wajahnya dan debar jantungnya.
Radit menaikkan satu alisnya tak paham. Pria itu menoleh ke arah Mama Fani. "Biar aku jelasin, itu Una, anak bimbingku di kantor, Fani sama Sheryl juga tau kali. Nggak mungkin aku pacaran sama anak kecil."
What the—
Ada apa dengan orang-orang di sini? Selain suka menjodohkan dan memaksa, sekarang ia justru diledek dengan sebutan anak kecil. Meski mungil gitu, Una sudah punya KTP, SIM, lengkap seperti apa yang dimiliki orang dewasa.
Gadis itu berdecih pelan, melambaikan tangannya tepat di depan mukanya sendiri. Radit berjalan cepat menghampiri Una dan berdiri di samping gadis itu.
Mengacak rambut Una dengan gemas. "Anak kecil gini, kalo aku pacaran sama dia bisa dikira p*****l gimana?"
Una langsung melotot. "Gue udah semester akhir. Lo inget? Semester akhir yang bentar lagi bakalan lulus. Kecil gini kapasitas otak gue udah nandingin elo ya," protesnya.
Radit menoleh dan menyipitkan matanya. "Rulesnya tadi gimana?"
Una langsung kicep.
Makan malam berlangsung saat Papa Fani keluar dari kamarnya, pria tua itu tersenyum kala melihat Radit bersama Una.
"Setelah sekian lama, akhirnya Papa liat kamu udah nemuin cewek baru, Dit. Papa seneng liatnya," ucap Papa.
Kembali Una dibuat tersedak dengan ucapan pria tua yang dikenalnya sebagai Papa Fani. Masalahnya ia belum tahu mengapa semua orang mendadak semangat banget melihat kedatangannya dengan Radit bahkan sampai menjodohkan dan berdoa untuk kelanggengan hubungan padahal diantara mereka tak ada apapun.
Radit mengangkat segelas air untuk diteguknya sebelum ia tersenyum. "Ini anak bimbing saya, Pa, namanya Una."
Mama tersenyum. "Padahal Mama udah seneng liat kamu dateng barengan cewek loh, Dit. Mama pikir bawa pacar kamu."
"Bentar lagi juga jadi pacar," sahut Fani enteng.
Radit melotot. "Nggak usah jodoh-jodohin orang," balas Radit gemas.
Tak ingin berdebat dengan Radit, Fani memilih untuk fokus pada Yoga, gadis itu mengambilkan lauk untuk pria itu. Radit melihatnya, detil. Ketika tangan Fani dengan lincahnya memindahkan satu per satu lauk ke piring Yoga.
Radit mengambil sambal kentang di depannya, menyendoknya lantas memindahkannya ke piring Fani. "Lo suka sama sambal kentang, kan?" tanya Radit membuat Yoga langsung melirikkan matanya tajam.
Fani mengangguk mantap. "Makasiiih, masi inget aja kalo gue suka kentang."
Tak mau kalah, Yoga segera mengambil sepotong rendang untuk kemudian diletakkan di piring Fani. "Kayaknya rendang ini enak banget, kamu suka kan?"
Fani menatap Yoga. "Buatan Mbak Miati emang enak kali."
Una meneguk ludahnya. Sekarang ia tahu permasalahan apa yang terjadi di depan matanya. Sementara Fani banjir pemberian dan penawaran lauk di piringnya, piring Una sendiri masih sepi, hanya berisi nasi hangat.
Melihat Radit menyendokkan irisan tipis telur untuk diberikan lagi pada Fani, buru-buru gadis itu menangkap tangan Radit dan menumpahkan irisan telur itu ke piringnya dengan cepat.
Radit tersentak, pria itu langsung melotot melihat aksi nekat Una. Gadis itu balas melotot. "Daripada rebutan ngasi Fani, piring gue masi kosong nih," ceplos Una polos.
Radit menelan ludahnya. Ini anak— mendadak Radit mulai menyesal harus datang dengan cewek yang nggak tepat. Kenapa juga ia harus berpikiran bahwa Una nggak buat kacau coba.
"Itu emang milik Fani, jadi mending lo ambil sendiri lauknya, nggak usah manja minta diambilin," kata Radit dingin.
Fani menolehkan kepalanya dengan cepat, mendengar bisikan Radit yang terlalu keras itu cukup membuatnya terganggu.
"Lo kesini barengan Una, emang seharusnya lo jagain Una, gue udah ada Yoga kok, dia bisa ambilin gue," tegur Fani menyadarkan Radit.
Ada dua pasang mata yang mengamati kegiatan empat orang itu tanpa sepatah kata, Mama dan Papa Fani. Kenyataan bahwa Radit belum bisa move on dari Fani cukup bisa dilihat dengan sikap pria itu yang gak berubah sedikitpun.
Mereka menghela napas, bahkan kehadiran Mama dan Papa saja terabaikan, apalagi hanya seorang Una yang baru di lingkup mereka?
***
Selesai makan malam, Una langsung sigap membantu di membawakan piring kotor ke dapur meski berulang kali Fani meneriakkan larangan agar Una tidak ikut membantu atau justru duduk saja.
Mama dan Papa sudah kembali sibuk, yang tertinggal di sana hanyalah Radit, Fani, dan Yoga.
Dan kalian tahu apa yang paling memuakkan daripada terjebak diantara orang yang tengah pacaran. Rasanya memang percuma menegur Fani disaat fokus gadis itu tak lagi kepadanya, untuk apa ia masih berdiam seperti orang bodoh menunggu Fani dan Yoga bermesraan.
Pria itu bangkit, mencari Una yang sibuk di dapur dengan pembantu Fani. Radit menyandarkan badannya di pintu dan menatap lurus pada kegiatan Una.
Cukup menakjubkan melihat Una bisa segampangnya dekat dengan Mbak Miati dan Mbok Dami, tapi bukan waktunya untuk memuji kebaikan Una dalam membantu mereka, ada hal yang lebih penting dari sekadar pulang sekarang atau ia akan terusan melihat drama romantis di ruang makan itu.
Digamitnya lengan Una dengan erat saat gadis itu baru saja berdiri tepat di depannya. "Kita pulang sekarang ya, temen lo pasti kuatir liat lo jam segini belom balik juga."
Una tersaruk-saruk mengikuti langkah Radit. "Gue udah bilang sama Melda kalo gue pulang telat karena diculik dulu."
Radit mendecih pelan. Bukan, bukan karena ucapan Una, tapi karena melihat Fani yang kini justru semakin merapatkan badannya pada Yoga.
Kedua orang itu spontan memisahkan diri saat melihat kedatangan Radit barengan Una. Fani yang pertama kali memperbaiki situasi.
"Lo mau kemana, Dit? Ngobrol dulu sini sama kita," ajak Fani langsung mendapatkan gelengan dari Radit.
"Mau nganter Una pulang, kalian terusin aja, salam buat Mama Papa ya, nggak bisa pamit langsung."
Fani hampir bangkit sebelum Yoga menarik baju Fani untuk kembali duduk. Fani memaksa senyum. "Gue salamin kok, kalian kalau pulang hati-hati ya dah malem juga, thanks ya udah mau makan malam di rumah gue."
Karena kalimat panjang itu hanyalah berupa basa-basi Fani saja maka tak perlu lagi bagi Radit untuk ikut berbasa-basi. Melihat kegiatan dua orang itu saja sudah membuatnya muak, namun setidaknya ia tahu bahwa Fani sepenuhnya baik-baik saja.
Untuk itu tanpa sepatah kata pun radit menggandeng una untuk keluar, gadis itu tersaruk mengikuti langkah Radit tanpa sempat melambaikan tangannya kepada Fani yang menatap mereka dengan pandangan kosong.
Begitu sampai di mobil, Una tahu bahwa radit sedang tidak baik-baik saja, tatapan mata pria itu sudah menjelaskan dengan gamblang keadaannya saat ini. Dan Una sadar apa yang membuat Radit bisa menjadi seterdiam itu saat ini.
Merasa diamati oleh Una, kepala Radit menoleh menampilkan tatapan sayunya di depan gadis itu tanpa berniat untuk ditutupi lagi.
"Ini ada hubungannya dengan Fani ya?" tebak Una membuat Radit tersenyum simpul.
Perlahan pria itu menghadapkan tubuhnya pada Una. Mendesah sebelum akhirnya ia kembali memberikan senyum sportifnya. "Gue nggak tau sekayak apa perasaan gue sama Fani, but, anjis banget nggak tuh bahkan elo aja tau kalo gue pernah ada hubungan sama Fani." Radit tertawa kecil.
Entah menertawakan apa, namun yang pasti ia tahu salah satunya adalah menertawakan kebodohannya. Melihat hal itu Una tersenyum getir, ada sesuatu yang cukup menohok dan membuatnya tersadar.
Radit adalah sebuah luka.
"Gue udah pernah bilang kan kalau tatapan lu buat Fani tuh kebaca banget. Beda banget buat orang-orang," ulang Una membuat Radit harus mengakui kebenaran gadis itu.
"Lagian semua orang kantor juga udah tau kalo gue hampir pernah jadi calon suami Fani."
Mendengar penuturan Radit, Una tersentak. Hampir?
"Kenapa hampir?"
Sudah bisa ditebak, karena setiap orang yang baru mengetahui kisahnya juga akan menanyakan pertanyaan sama. Kenapa? Dan Radit telah lama tak mendengar pertanyaan ini sebelum akhirnya Una kembali bertanya padanya.
"Cowok di samping Fani tadi— Yoga, itu mantan suaminya dan sekarang mereka mau rujuk."
Hal paling rumit karena Una nggak paham kenapa harus kembali saat sudah menemukan yang baru? Atau mungkin kenapa harus bermain perasaan saat masih mencintai.
"Apa hubungannya sama elo?" Akhirnya pertanyaan ini yang dipilih Una.
Pria itu menghela napas panjang, seolah membiarkan tikaman semi tikaman nyeri kembali berebutan menusuk hatinya.
"Gue udah suka sama Fani lama banget, dan ketika hubungan mereka diuji, nggak nyangka banget kalo Yoga sampe menceraikan Fani. Sebagai cowok yang masih suka sama Fani gue maju lagi, sudah dapet restu juga, sudah tunangan juga, tapi di malam itu—" Radit menjeda, teringat kembali saat Fani tiba-tiba terjatuh pingsan dan sakit berhari-hari sampai tak mampu mengenali orang.
"Fani sakit," imbuhnya, "Yoga sebenernya suka sama Fani cuma dia g****k banget, gak sadar perasaan sampe akhirnya saat mereka sudah pisah baru lah pria itu sadar dengan perasaannya. Dan selama Fani sakit, nggak ada satu pun obat yang bisa membuat gadis itu bangun atau sekadar membuat panasnya turun barang sebentar, lo tau apa yang gue lakuin?"
"Gue panggil Yoga. Dammit! Bahkan gue ingat, yang bisa bikin Fani bangun itu justru Yoga, bukan gue. Bukan tunangannya. Gue percaya kalo ini realita, bukan fairy tale yang bisa pake sihir. Tapi, dari situ gue paham kekuatan cinta."
"Maksud lo?"
Radit tersenyum pedih. "Bertahan sakit kan? Jadi gue lepas Fani, biar dia bisa kembali tersenyum. Crazy, gue pikir gue udah gila, tapi kehilangan Fani kayak kehilangan seluruh dunia aja."
Una tidak pernah kehilangan atau justru merelakan kepergian. Tapi keadaan Radit yang cukup memilukan di depan matanya membuat Una merasakan sedikit kegetiran dalam hatinya.
"Lo nggak nyoba buat deket sama cewek lain?" tanya Una hati-hati.
Radit menaikkan alisnya mendengar satu pertanyaan yang cukup gamblang itu, pandangan Radit membuat Una buru-buru menjelaskan sebelum terjadi kesalahpahaman.
"Maksud gue— nyari cewek lain. Bukan karena gue dijodohin kayak tadi ya. Suer!"
Radit tertawa kecil untuk sebuah kepanikan gadis itu. "Gue paham kok. Tapi gue belum nemu aja cewek yang pas."
Una langsung menaikkan alisnya. "Maksud kata lo 'cewek yang pas' itu yang kayak gimana ya?"
Cewek yang pas? Yang senyumnya bisa memabukkan kayak Fani, matanya, bibirnya yang penuh, sikapnya, dan itu cuma ada pada Fani. Gila, cuma gadis itu emang yang bisa sememabukkan layaknya vodka.
"Seenggaknya yang kayak Fani," jawab Radit jelas.
Una tertawa berdecih, Radit langsung menyipitkan matanya. "Maksud lo apa ketawa kayak gitu."
Una melambaikan tangannya. "Gue cuma prihatin aja sama elo, alasan kenapa elo masih belom punya cewek bukan karena belom nemu yang pas, tapi karena elo masih terbayang sama masa lalu ... dan nggak pengen move on!"
Selain ucapan Una terlalu pas, ucapan itu juga terlalu menamparnya.
***