Una nggak bisa menghentikan gimana riangnya Radit saat berjalan di depannya, pria itu sudah berjalan menuju mobilnya tanpa melihat bagaimana reaksi Una di belakangnya.
"Dit, gue tadi cuma ngomong loh, nggak bermaksud—"
Radit menautkan kedua alisnya. "Iya, kan gue yang ngajak elo buat makan siang bareng."
Radit menggamit lengan Una, menyuruh gadis itu masuk ke mobilnya dengan patuh. Sepertinya ada sesuatu yang membuat Radit tampak bahagia. Entah apa yang pasti cowok itu tengah berbinar.
"Dalam rangka apa lo tiba-tiba traktir gue kayak gini?" tanya Una begitu Radit sudah menjalankan mobilnya.
Radit menoleh, tatapan pria itu tak terbaca seperti biasa, hanya ada senyum yang, oh my God, terlalu tampan buat dilihat.
Pria itu menoleh sekilas, sebelum fokus lagi pada jalanan. "Apa salahnya sih kita damai kayak gini, enak aja gitu ngeliat elo nggak bikin hari-hari gue ribut kayak pas dulu lagi."
Una tertawa, sebentuk tawa yang membuat Radit terpana. Tawa Una nggak pernah yang namanya kalem, gadis itu selalu heboh bahkan pada sebuah tawanya atas ucapan Radit yang terlalu biasa.
"Gue cuma Pengen dapet nilai bagus di magang ini, seenggaknya pas lulus nanti, gampang nyari kerjaan," kata Una seperti pada dirinya sendiri.
Radit menoleh. "Percaya diri banget kalo lulus magang dengan nilai baik bakal dapet kerjaan di sana?"
Una menggeleng, gadis itu menyipitkan matanya, menatap Radit dengan tatapan yang dibuat-buat. "Kan udah ada elo, Dit, jadi nggak mungkin lo bakal nolak kehadiran gue lagi, apalagi kalo kinerja gue bagus." Una memejamkan matanya, sikap paling percaya diri.
Radit tersenyum, entah sudah yang keberapa kali, pria itu mendadak tersenyum atas tingkah Una yang kekanakan namun cukup serius di waktu tertentu ini. Terkadang memang benar, sikap manja dan kekanakan cewek justru yang membuat cowok semakin suka.
Para cowok suka banget kan kalo bisa diandalkan seorang cewek. Apalagi Radit menyadari, kali ini Una bukanlah sebatas cewek yang jadi anak bimbingnya.
Begitu sampai di Zetta, Radit nggak pernah tahu satu kemiripan yang membuatnya semakin amazed pada Una. Di depan mereka, terhidang dua piring spaghetti, kentang, nasi goreng seafood— and are you remember, mate? Di dunia ini, cewek yang dikenal Radit itu banyak banget.
Yang sudah diajak makan bareng sama Radit itu banyak banget, nggak kehitung berapa kali ia lunch, dinner, atau sarapan sama cewek yang beda-beda.
But, kali ini baru cowok itu sadari, cewek yang lain bakal memesan makanan yang akan membuat mereka terlihat selayaknya gadis anggun. Oh, dibanding anggun sebenernya lebih ke berkelas. Mereka ingin dipandang Radit sebagai cewek berkelas yang makannya juga harus berkelas, minimal hidangan Perancis yang kerap membuat Radit harus berpikir— motif mereka datang buat makan atau cuma gengsi?
Namun, yang membuat Radit semakin tercengang adalah saat Una dengan lahapnya makan nasi goreng seafood di depannya. Kilatan bayang seseorang yang juga kalap saat bertemu nasi goreng seafood membuat pria itu tertegun.
"Lo suka banget sama nasi goreng, Na?"
Una menghentikan makannya, menatap Radit lalu pada piring makanannya yang belum tersentuh sama sekali, sekarang ia cukup sadar mengapa pertanyaan Radit seperti itu.
Gadis itu merutuk dalam hati. Pasti Radit kaget banget melihat bagaimana hebohnya Una saat makan.
"Dit, duh, sorry ya, porsi gue makan kayak kuli bangunan," ujar Una malu banget.
Gimana nggak malu coba, bayangkan saat kalian makan untuk pertama kalinya di depan atasan, di depan orang penting kayak Radit dengan kalap kayak orang busung lapar? Apa yang bakal dia pikirkan tentang lo?
Nggak ada, selain menyesal karena sudah mengajak kuli bangunan kayak Una harus makan bareng sama dia.
Radit tertawa kecil. "Dengan cara makan lo yang kayak gini,di depan biro periklanan Ma, gue yakin mereka minta lo buat tanda tangan kontrak kerja sama dengan mereka."
Una melebarkan senyumnya, gadis itu cukup lega dengan respon Radit yang tidak seperti dugaannya.
"Selain tergila-gila sama makanan, gue juga nggak bakal nyesel kok kalo berat badan gue nambah," imbuh Una membuat Radit semakin tertarik dengan gadis itu.
"Lo nggak takut kalo cowok lo jadi nggak suka sama lo?" tanya Radit hati-hati.
Una membuka matanya lebar, mendekatkan wajahnya pada Radit. "Angga? Kalo pun ada hari di mana Angga bakal nggak suka gue yang udah berubah gendut, kayaknya gue nggak peduli lagi."
Surprised!
"Cewek diciptakan bukan cuma menjaga badannya agar tetep ideal, i mean, cewek juga manusia, kenapa dia nggak bisa makan seenaknya, sepuasnya, suka-suka. Cowok yang tulus bakal suka sama cewek apa adanya, kan?"
Radit nggak tahu lagi bagaimana dua orang yang berbeda generasi, beda orangtua, beda segalanya mempunyai beberapa kemiripan dan kebetulan yang sama kayak gini?
"Gue suka sama jawaban lo," desis Radit mantap.
Una terkesima, tatapan Radit terlihat tidak bohong terlalu jujur malahan, justru itu lah yang membuat Una lantas menundukkan kepalanya sekaligus pandangannya. Radit, berhadapan dengan cowok itu selalu membuat Una berbeda.
Gadis itu berbinar saat melihat sepotong pisang bakar coklat di depannya. Ia menggeser piring nasi gorengnya. "Gue juga pengen ah, pesen pisang bakar kayak gitu."
Una langsung memesannya tanpa melihat Radit semakin melebarkan senyumnya, kali ini ia harus memberitahukan pada Sheryl kalau Fani mempunyai saingan berat macam Una.
Dilihat terus menerus oleh Radit kayak maling yang lagi diinterogasi membuat Una jengah. "Kenapa lo natap gue kayak gitu sih? Mulai menyesal karena udah ngajak gue yang nggak tau adab kayak gini?"
Radit tertawa kecil, pria itu mengambil satu tisu lantas melipat-lipatnya asal untuk upayanya yang mendadak gugup saat Una bertanya padanya seperti itu. "Gue nggak bakal menyesal karena sekarang gue lagi makan barengan orang yang sangat berharga buat biro iklan."
Una tertawa kencang. "Justru gue yang harusnya merasa beruntung karena berhasil membuat seorang Raditya nggak lengket lagi sama dua sohibnya yang berkelas itu, dan sadar banget gue tuh, makan sama lo kayak gini berpotensi membuat fans lo di mana kantor marah besar sama gue."
Radit menggeleng cepat. "Gue harap lo nggak terganggu dengan hal itu, gue malah seneng elo bisa jadi diri lo yang kayak gini, ngerti nggak sih, gue cuma bisa ketawa pas sama Sheryl- Fani doang,dan kali ini gue cukup bahagia bisa jadi diri gue saat barengan elo."
Ucapan Radit mungkin terlalu dalam dan mempunyai maksud, namun Una tidak tahu lagi harus berkata apa. Karena wajah gadis itu sudah memanas dibuatnya.
"Emang lo nggak nyesel makan sama gue yang sableng gini tingkahnya?"
Radit menggeleng pelan, seolah memberi keyakinan pada Una. "Yang ada gue justru berharap sama Tuhan, supaya dikasih kesempatan buat makan bareng lo kayak gini lagi."
***