Part 1

1065 Words
Evelina POV ========= Kemana Adam? Aku sudah berdiri lama sekali disini mengetuk pintu rumahnya. Dia pikir tidak berat membawa belanjaan dua kantong plastik begini. Apalagi aku sendirian belanja di supermarket. Jalan kaki pula. Dia bilang tidak bisa membantuku karena sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah. Kami sama jurusan DKV, hanya beda semester. Dia sudah semester lima, sementara aku juniornya, semester tiga. Wajar saja kalau dia sangat sibuk akhir-akhir ini. Tapi setidaknya mau membantuku berbelanja. Padahal ini juga untuk dirinya. Sudah sebulan aku berpacaran dengannya, sudah sebulan juga aku melakukan perbaikan gizi padanya. Aku tidak mau dia menghabiskan waktu di rumah menjadi seorang maniak komputer, jarang berinteraksi, setiap hari makan junk food, anti sinar matahari. Eh, iya, kuliah kami masuk sore.. Intinya pacarku ini sangat Introvert. Dulu banyak sekali yang menjadikannya bahan tertawaan. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Sampai aku tidak tahan dan menepis semua gangguan itu dengan menjadi temannya. Lalu sekarang menjadi pacarnya. Dia itu manis dan cerdas, dia hanya terlalu pemalu. "Adam!" Panggilku mengetuk pintu rumahnya kembali. Pintunya pun dibuka. Pacarku yang manis, berantakan berdiri di ambang pintu. Dia menyambutku seperti malam-malam sebelumnya. Seperti biasanya juga dia terlihat seperti cowok overdosis main di warnet. "Kamu sudah mandi'kan?" Tanyaku menciumi bau jaketnya. Kujinjitkan kakiku untuk menjangkau dagunya. Bagaimanapun juga postur tubuh kami cukup berbeda jauh. Tinggikan hanya sebatas dadanya. Aku lantas mencium bau di lehernya. Ada sedikit bau aneh. Seperti besi karat atau darah? Mm.. aku harap dia tidak melakukan apapun.. "Tentu saja aku sudah mandi," jawabnya tersenyum tipis sembari membenarkan posisi kaca matanya yang sedikit berembun. Dia menyambar dua kantong plastik bawaanku dengan grogi. Aku masuk rumah "Eh.. maaf ya, Eve, aku--aku tadi tidak membantu, aku mengerjakan tugas dan sekalian menyelesaikan pesanan desain orang," katanya terbata-bata seolah sangat menyesal. Aku tersenyum padanya, "Tidak masalah kok, kamu mau makan malam apa? Aku membelikan banyak sekali sayuran, buah, pokoknya lengkap untuk beberapa hari ke depan." "Apapun masakanmu itu enak," jawabnya pelan. Suaranya selalu terdengar lembut di telingaku. Sejauh ini aku tidak pernah mendengarnya berteriak-teriak ataupun marah. "Baiklah," aku bergegas menuju dapurnya yang sempit. Sebenarnya rumah ini tidak luas, kurang cocok untuk hunian keluarga besar. Kudengar dulu dia hanya tinggal berdua dengan kakek, orangtuanya entah ada dimana. Aku mulai mengeluarkan beberapa sayuran, mentega dan telur. Karena sudah cukup malam, akan kubuat omelet saja. Lagipula itu adalah salah satu makanan favoritnya. "Eve.." panggilnya. "Iya?" Sahutku mencari garam di sekitar meja. Kemarin aku menaruhnya di sini.. Dia terdengar ragu-ragu, "Aku punya hadiah untukmu.." "Apa itu? Tumben? Acara apa sih?" Tanyaku tersenyum padanya. Aku terhenti sesaat untuk menatapnya yang selalu bertingkah malu padaku. Meskipun rambutnya selalu berantakan, di mataku, he is cute as hell. "Ini tanggal 22, hari jadian kita yang ke sebulan.." jawabnya membuatku tertawa. Aku membuka lemari es untuk mencari garam. Tawaku tidak bisa berhenti mendengar ocehannya tersebut. Dia sangat lucu, berlebihan, aneh, dan.. Kadang mengerikan.. Tahu-tahu setelah beberapa detik aku membuka lemari pendinginan, dia menutupnya dengan cepat. Kulihat raut wajahnya menjadi panik bukan main. Ada kepala seseorang dalam kantong plastik putih disitu. Kurang jelas sebenarnya tapi aku yakin itu kepala manusia yang berlumuran darah. Ada rambut, bibir, telinga, tapi tidak ada matanya. "Apa itu tadi?" Tanyaku berusaha membuka pintu lemari esnya. Kupandang pacarku dengan tajam. Dia menjawab dengan gemetar, "Maafkan aku.. aku tidak sengaja.." Aku langsung pergi meninggalkannya. Pacarku membunuh orang lagi... Dia sudah menjadi pembunuh.. Sebenarnya dia memang pernah membunuh orang. Korbannya adalah mantan pacarku, Andrei. Teman satu kelasku. Dibunuh saat hari pertama kami jadian. Dia takut aku akan balikan dengannya saat sudah menjadi kekasihnya. "Eve! Evelina!" Panggilnya nyaris seperti tangisan. Bahkan dia berhasil meraihku selangkah sebelum aku membuka pintu depan. Kemudian melingkarkan tangannya di kakiku agar aku berhenti berjalan. "Aku tidak sengaja, maafkan aku, aku tidak sengaja!" Rengeknya semakin memeluk kakiku dengan erat. Ini salah.. aku tahu.. tidak melaporkan kejahatan ini, tapi.. "Kamu janji tidak akan membunuh lagi.." kataku lirih. "Aku tidak sengaja.." "Lalu kenapa kamu menaruh kepala di kulkas!" Bentakku, "kamu juga kembali mengambil matanya'kan! Kamu ingin mengambil telinganya juga'kan? Kamu sengaja melakukannya!" "Tidak, Eve, tidak, aku tidak sengaja.." Aku menghela napas panjang, "Lepaskan aku, aku pulang saja." Aku bingung harus bagaimana... "Oke, oke, aku mati saja," ucapnya mulai melepaskan tangannya, lalu segera mengambil sebuah pisau lipat dari saku celananya. Ini adalah alasannya.. dia selalu berusaha bunuh diri.. Aku menahan tangannya yang serius ingin menancapkan ujung pisaunya ke tenggorokannya sendiri. Saking paniknya, detak jantungku tidak karuhan dalam sekejab. Sontak kurampas pisau itu serta membuangnya ke sembarang arah. "Kenapa kamu seperti ini!" Tanyaku memegangi kedua pipinya. "Aku hanya ingin melindungimu," jawabnya bernada polos. "Siapa dia?" "Dosen Matematika." "Kenapa kamu membunuhnya?" "Dia menyukaimu." Aku bahkan tidak mengenalnya.. "Adam, kamu tidak boleh membunuh lagi. Kalau seseorang mengetahuinya, kamu bisa dipenjara.." kelasku benar-benar khawatir dengan semua ini. Dia malah tersenyum, "Tidak apa-apa. Nanti kumutilasi. Terus kubuang ke banyak tempat," senyumannya semakin melebar. Saat dia sengaja melepaskan kaca matanya, terlihatlah dengan jelas. Pacarku yang manis berubah seperti serigala liar. Aku mengelus rambut kepalanya, "Jangan begini dong." "Eve, aku tidak peduli dengan apapun," balasnya sembari menyentuh daguku lembut, "yang penting tidak ada yang mengambilmu, aku sendirian kalau kamu pergi, aku tidak punya siapapun. Lihatlah aku sendirian!" Dia manis.. ucapannya manis.. hatiku selalu hanyut setiap mendengarkan ungkapannya itu, tapi.. "Aku tidak mau sendirian!" Katanya mulai terdengar keras. Dia mulai mencengkeram kedua lenganku, "kamu sudah berjanji akan menemaniku.." Ini adalah tanggal 22. Sebulan yang lalu memang adalah hari jadian kami. Namun juga hari dimana aku ke rumah ini menyelamatkannya dari tindakan bunuh diri. Satu-satunya alasan dia masih hidup karena aku bersedia menjadi kekasihnya. Aku memang menyukainya.. jadi aku tidak menyesal..tapi entah mengapa.. pacarku ini semakin lama malah menjelma menjadi pembunuh.. "Maafkan aku," ungkapku kemudian sambil membelai pipinya, "aku hanya sedikit panik tadi, kita makan malam lagi ya... Akan kulanjutkan membuat omelet tadi. Tapi tolong segera bersihkan kulkasnya. Kalau perlu, jual saja, nanti uangnya buat beli baru.." Dia manggut-manggut cepat, "Iya, akan kulakukan.." Aku mengajaknya berdiri, "Mayatnya dimana?" "Di kamarku." "Kamu.. harus membuangnya benar-benar loh ya, kalau sampai polisi tahu, aku tidak mau ikut campur." Pacarku itu malah tersenyum lebar sampai terlihat deretan gigi putihnya. Kemudian tertawa lirih seraya menjawabku, "Tenang saja, buktinya yang kemarin itu dianggap hilang." "Padahal kukubur di hutan," tambahnya bernada bangga. "Sudah cukup, aku jadi tidak ingin makan kalau mengingatnya." "Maaf." Aku memandanginya dalam-dalam, "Pasang kembali kaca matamu.." Dia segera memakainya, "Oh iya, aku lupa. Apa kamu sukanya aku memakai kaca mata?" "Menurutku terlihat manis." Dia mencium keningku. ==============================
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD