Jendra memaksa Hara untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Yah, walaupun Hara sendiri adalah dokter, tapi ia bukan dokter spesialis obgyn sehingga tidak bisa memeriksa kandungannya sendiri.
Hara sendiri sebenarnya tidak mau. Lagipula untuk apa dia memeriksakan kandungannya? Toh, keputusannya sudah bulat untuk menggugurkan kandungan itu. Namun, Jendra memaksa. Dan kalau kemauan kakaknya itu tidak dituruti, Jendra bilang akan menyeret Hara sendiri ke dokter spesialis obgyn pilihannya. Yang mana Hara yakin kalau dokter pilihan Jendra pasti adalah ibu mereka sendiri.
Maka dari itu, hari ini Hara mendatangi dr. Gendhis Ayu Wicaksono SpOG alias satu-satunya dokter obgyn yang dekat dengannya sekaligus yang bisa menjaga rahasia tentang kehamilan Hara ini. Selain itu, tidak akan ada yang curiga jika Hara datang ke ruangan praktek Gendhis di Rumah Sakit Paramartha tempat mereka bekerja. Sebab semua orang sudah tahu kalau mereka memang akrab dan sering saling mengunjungi.
"The baby is well and healthy," ujar Gendhis seraya menggerakkan transducer di perut Hara. Keduanya kini menatap monitor yang menampilkan hasil ultrasonografi.
Melihat sebuah lingkaran kecil yang ada di layar itu entah kenapa membuat Hara merasa aneh. Lingkaran kecil itu adalah janinnya. Janin yang akan digugurkannya mungkin dalam waktu beberapa hari lagi. Setelah melihatnya di layar sekarang, Hara jadi merasa jahat dan ingin...menangis.
Nggak. Nggak boleh ngerasa gitu. Hara pun memilih untuk mengalihkan pandangannya dari layar tersebut. Tidak ingin perasaannya jadi goyah dan mengubah keputusannya. Ini keputusan terbaik, Hara meyakinkan dirinya sendiri.
"Udah selesai, Ra. So far, bayi lo sangat sehat dan usia kandungan lo udah enam minggu, lo pasti tau."
"Thanks," gumam Hara. Ia mengembalikan posisi kemejanya yang tadi tersingkap, lalu berpindah ke posisi duduk di atas ranjang tempatnya diperiksa di ruang praktek Gendhis.
"Sekarang kita periksa darah dulu untuk tau kondisi lo."
"Nggak perlu, Dhis."
Sebelah alis Gendhis terangkat. "Kenapa?"
"Gue nggak butuh itu karena besok atau lusa gue udah mau gugurin bayi ini."
Kali ini Gendhis yang sedang membereskan alat-alat ultrasonografi-nya jadi berhenti bergerak dan memberikan perhatian penuh kepaada Hara. Perempuan berambut ikal itu menghela napas dalam. "Lo beneran mau ngelakuin itu?"
Hara mengangguk. "Ra, that's so cruel. Lo bakal ngerasa bersalah dan nyesel seumur hidup lo, percaya sama gue."
Iya, Hara tahu itu. Tanpa perlu diingatkan oleh Gendhis atau bahkan Jendra, Hara sudah tahu betul kalau keputusan ini akan disesalinya dan menghantuinya seumur hidup. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada solusi lain yang bisa dan ingin dilakukan Hara.
Ia tidak bisa mempertahankan bayi ini dan mengorbankan hidupnya sendiri. Dan juga, jika Hara mempertahankannya, tidak hanya hidup Hara yang harus dikorbankan, tapi juga keluarganya. Orangtuanya pasti akan kecewa. Selain itu, mereka juga pasti akan menjadi omongan orang dan Hara akan dicap memalukan keluarga. Hara tentu tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Keputusannya ini memang sangat lah jahat dan akan membuat Hara merasa jadi ibu paling jahat sedunia. Ia akan membunuh darah dagingnya sendiri yang tidak berdosa demi menyelematkan hidupnya. Namun, Hara benar-benar tidak tahu lagi harus apa. Dan apapun konsekuensinya nanti, Hara tetap akan menggugurkan kandungan ini. Bahkan jika ia harus menanggung rasa bersalah itu seumur hidup.
"Gue tau kok gue bakal nyesel, tapi gue beneran nggak bisa kalau harus pertahanin bayi ini. It's a mistake, Gendhis."
"Kesalahan yang seharusnya lo pertanggung jawabkan, bukannya lo buang."
Hara menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa. Gue emang pengecut. Lagi pula, kalau anak ini lahir dan cuma punya gue sebagai orangtuanya, bakalan nggak adil untuk dia. Hidupnya nggak akan sempurna dan mungkin dia juga akan dicap nggak baik sama orang-orang seumur hidupnya."
Gendhis menghela napas dalam. Dirinya dan Hara sudah sangat lama berteman dan melalui banyak hal. Selama ini Gendhis tahu kalau Hara selalu membuat hidupnya tertata rapi. Dan kehadiran bayi di dalam kandungannya sekarang adalah sesuatu yang dianggap Hara merusak hidupnya yang sempurna sekarang.
Mungkin memang benar apa kata Hara, bayi itu hadir karena sebuah kesalahan. Jika Hara mempertahankan bayi itu seorang diri, Hara akan mengorbankan banyak hal. Tidak hanya hidupnya, tapi juga hidup keluarganya, serta hidup bayi itu sendiri. Keputusan menggugurkan bayi itu terdengar seperti solusi terbaik yang bisa dilakukan oleh Hara.
Namun, Gendhis sendiri sudah punya satu orang anak yang masih bayi. Ia tahu rasanya menjadi seorang ibu sehingga ia merasa sangsi kalau Hara benar-benar ingin menggugurkan anak itu. Mau bagaimana pun juga, seorang ibu akan selalu memiliki ikatan kepada anaknya, bahkan saat itu masih berbentuk janin sekali pun. Dan setelah kejadian ini, rasanya Gendhis sudah bisa menebak kalau Hara akan merasa hancur.
"Semua keputusan ada di tangan lo, Ra. Walau gue nggak setuju sama keputusan lo ini, tapi semuanya tetap balik lagi ke lo karena ya...ini hidup lo," ujar Gendhis pada akhirnya. Ia mengambil kertas berisi gambar hasil USG Hara tadi yang baru saja selesai dicetak dan menyerahkannya kepada Hara.
Hara menerima kertas itu dan selama beberapa saat ia hanya diam memandanginya. Gendhis sendiri membiarkan Hara larut dalam pikirannya sendiri saat memandangi gambar janin di dalam perutnya itu. Bahkan ketika menyadari mata Hara berkaca-kaca pun, Gendhis tidak memberikan komentar dan hanya membenarkan di dalam hati kalau sebenarnya, di dalam lubuk hati terdalamnya, Hara tidak benar-benar ingin menggugurkan kandungannya.
"Sebagai sahabat lo, gue cuma bisa berharap semoga lo masih mau mempertimbangkan keputusan ini dan bisa dapat solusi yang jauh lebih baik lagi for both you and your baby."
Hara berhenti memandangi hasil USG-nya dan menggenggam kertas itu di tangannya. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya, berusaha keras agar tidak mengeluarkan airmata.
"Thanks ya, Dhis. Tapi gue nggak yakin bakal ada solusi yang lebih baik," ujarnya diiringi senyuman miris.
Gendhis mengusap-usap lembut bahu Hara. "Semoga aja ada," katanya. "Anyway, gue boleh tanya?"
"Gue tebak, lo pasti mau nanya ayahnya, iya kan?"
Kepala Gendhis terangguk. "Lo tau...ayahnya?"
"Gue tau."
"Dan lo nggak ada niatan untuk kasih tau dia?"
"Buat apa?" Tanya Hara. "Banyak-banyakin masalah aja. Toh gue emang nggak mau minta pertanggung jawaban dia, baik itu secara materi atau ikatan pernikahan. Dan lagi pula, mana mau sih dia nerima anak yang dibuat karena kesalahan satu malam dengan orang asing?"
"Tapi dia pantas tau, Ra. Mau gimana pun juga, itu anaknya."
Hara menggelengkan kepala. Ia sama sekali tidak ingin bertemu atau berhubungan lagi dengan laki-laki itu. Akan lebih mudah jika laki-laki itu tidak tahu dan akan lebih mudah juga bagi Hara untuk melupakan kesalahan mereka malam itu.
"Bisa jadi dia mau anak itu dan nggak mau lo gugurin anaknya."
Hara tertawa mendengar perkataan Gendhis selanjutnya. "Itu nggak mungkin. Lo nggak tau pikiran dia, Dhis."
"Lo juga nggak tau."
Hara ingin menyangkal lagi, namun ketukan di pintu menginterupsinya.
Gendhis pun langsung berjalan mendekati pintu ruangannya. Takut kalau ternyata yang datang punya urusan penting. Sadar kalau sudah cukup lama mereka berada di ruangan ini dan sepertinya jam makan siang sudah selesai, Hara pun turun dari ranjang pemeriksaan dan mengekori Gendhis menuju pintu. Di tangannya masih tergenggam kertas hasil USG tadi karena saat ini kemeja dan rok yang dipakai Hara tidak memiliki saku untuknya menyimpan kertas tersebut.
"Selamat siang Dokter Gendhis." Lucy, seorang perawat muda yang dikenali Gendhis berasal dari departemen bedah, langsung menyapanya ketika ia membuka pintu.
"Siang, Lucy." Gendhis balas menyapa. "Kenapa?"
"Dokter Hara ada?"
Belum sempat Gendhis menjawab, Hara sudah keburu muncul di sampingnya. "Kenapa, Lucy?"
Wajah Lucy langsung sumringah begitu melihat Hara. "Ada yang nyariin Dokter Hara," katanya.
"Pasien ya?"
"Bukan, Dok." Lucy menggeleng, senyum di bibirnya masih terpasang lebar. Kemudian, ia melanjutkan sambil tersipu sendiri, "Laki-laki ganteng. Katanya sih pacarnya Dokter Hara. So sweet banget tau Dok, dateng nyariin Dokter Hara sambil bawa bunga."
"HAH?"
Baik Hara maupun Gendhis sama-sama terkejut bukan kepalang mendengar penuturan Lucy. Pacar apa-apaan sih? Sejak kapan Hara punya pacar?!
***
Di sepanjang perjalanan dari departemen obgyn ke departemen bedah, Hara sama sekali tidak bisa membayangkan siapa yang telah datang mencarinya dan dengan berani mengaku sebagai pacarnya. Yang benar saja, terakhir kali Hara pacaran sudah nyaris empat tahun yang lalu! Dan sejak saat itu, Hara tidak pernah lagi dekat dengan laki-laki lain meskipun yang naksir dengannya memang banyak.
Lucy sendiri tidak menjelaskan banyak hal tentang laki-laki itu. Ia tidak tahu namanya karena laki-laki itu tidak ingin menyebutkan, dan Lucy pun hanya menggambarkan tampan dan tinggi sebagai ciri-ciri fisiknya. Dan dua kriteria itu saja tidak lah cukup bagi Hara untuk menebak siapa laki-laki itu.
Gendhis yang juga ikut ke departemen bedah karena ikut penasaran dengan laki-laki yang mengaku sebagai pacar Hara ini pun tidak bisa berhenti bertanya-tanya pada Hara.
"Siapa sih, Ra? Kok bisa ngaku-ngaku jadi pacar lo?"
Ya, mana Hara tahu??? Dia saja tidak punya bayangan dan rasanya benar-benar emosi karena ada orang yang mengaku-ngaku seperti itu. Kalau sampai ternyata itu cuma temannya yang sedang jahil, Hara bakal tetap ngamuk.
"Itu Dok, orangnya!" Lucy langsung menunjuk ke arah seorang laki-laki yang duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di lobi departemen bedah ketika mereka sampai.
Tanpa diberitahu oleh Lucy juga sebenarnya Hara sudah bisa melihat laki-laki itu yang nampak mencolok karena membawa sebuket mawar merah di tangannya. Laki-laki itu sedikit menunduk menatap bunga-bunga tersebut, namun Hara masih bisa mengenali wajahnya meski dari tempatnya berdiri figurnya tidak terlihat terlalu jelas.
Dan menyadari siapa laki-laki itu membuat Hara otomatis menghentikan langkah dan mematung di tempat.
"Oh, shit."
Kalau tadi Hara merasakan emosi menggebu-gebu untuk menemui laki-laki itu, kini perasaan itu sudah menguap digantikan oleh sebuah kepanikan. Dan yang ingin dilakukan Hara sekarang justru putar balik dan pergi sejauh mungkin dari departemen bedah agar tidak jadi bertemu dengan laki-laki itu.
Sayangnya, belum sempat rencananya untuk kabur teralisasikan, hadirnya sudah terlanjur diketahui karena laki-laki itu menoleh padanya. Gendhis yang ada di sebelah Hara terkesiap.
"Ra, itu Wirasena Pranaja Gardapati, kan? Kakak kelas kita dulu? Kok bisa dia ngaku-ngaku jadi pacar lo?"
Hara tidak merespon keterkejutan Gendhis karena saat ini saja bibirnya kelu dan ia tidak bisa bergerak. Sementara Wirasena Pranaja Gardapati sudah bangkit dari duduknya. Ia menatap Hara lurus lalu menyunggingkan sebuah senyuman lebar yang membuat kedua lesung pipinya terlihat. Wira berjalan ke arah Hara.
Ketika sudah berada persis di hadapan Hara, Wira yang masih senantiasa tersenyum, menyerahkan buket berisi mawar-mawar merah segar di tangannya kepada Hara.
Hara menatap Wira dengan kesal. "Ini apa-apaan?" desisnya pelan agar tidak terdengar oleh semua orang di lobi yang saat ini sedang menonton mereka seperti menonton adegan sinetron. Mulai dari keluarga pasien, petugas kebersihan, perawat, hingga rekan sesama dokter Hara. Wajah Hara sudah memanas, entah karena marah atau malu.
Sementara Wira masih terlihat biasa saja. "Take this."
Hara berdecak. "Apa-apaan sih?"
"Ambil bunganya dulu, Hara. Nanti aku jelasin semuanya ke kamu."
Hah? Apa Hara tidak salah dengar? Wira menggunakan kata ganti aku-kamu padanya, di saat mereka bahkan tidak dekat sama sekali. Ia menatap Wira aneh, namun pada akhirnya tetap menerima buket bunga dari tangan laki-laki itu.
Hara pikir Wira akan langsung memberinya kejelasan setelah ia menerima bunga itu. Tapi ternyata Hara salah. Laki-laki itu justru semakin membuat tidak hanya Hara, tapi juga semua orang disana terkejut ketika ia tiba-tiba berlutut di hadapan Hara dan mengeluarkan sebuah kotak beludru biru dari Tiffany & Co. Kotak itu berisi sebuah cincin berlian yang berkilauan.
Yang dilakukan Wira membuat mereka semakin jadi tontonan orang-orang. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang merekam adegan Hara dan Wira ini dengan ponselnya. Hara tidak akan terkejut jika nantinya mereka akan viral di media sosial.
Wira meraih tangan Hara, menatapnya lembut sambil tersenyum manis, sementara Hara sudah panik bukan kepalang.
"Hara Arimbi Paramartha." Wira menyebut namanya dengan lantang hingga mampu didengar semua orang. Lalu, ia melanjutkan dengan sama lantangnya, "Will you marry me?"