1. Sebuah Kalung

1234 Words
Giethoorn adalah sebuah desa kecil di Belanda. Desa ini memiliki pemandangan indah dengan danau yang mengelilingi rumah para penduduk. Turis adalah hal yang biasa di desa Giethoorn. Banyak dari mereka yang memang mengunjungi desa Giethoorn untuk berkeliling menggunakan sampan, atau hanya sekedar bersepeda di jalan setapak yang tidak terlalu besar. Penduduk Giethoorn biasanya bekerja sebagai penjual bunga, penjual ikan danau, atau pengayuh sampan. Sampan-sampan di Giethoorn memiliki pemilik, dan biasanya pemiliknya sendirilah yang menjadi pengayuh sampan tersebut. Pengayuh sampan akan mengantar para turis untuk mengelilingi desa Giethoorn. Aku adalah Victoria Swift. Sekilas, namaku memang sama dengan penyanyi terkenal di luar sana yang bernama Taylor Swift. Namun, alih-alih hidup mewah seperti penyanyi itu, aku malah harus hidup susah. Pagi-pagi sekali aku bangun, membereskan tempat tidurku untuk kemudian berjalan ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku sedang berkuliah di ibukota yaitu Amsterdam karena mendapatkan beasiswa. Sejujurnya, aku juga pintar. Aku sempat di tawari sekolah senior high school oleh kepala desa. Tapi, Mama tidak mengizinkanku. Alhasil, aku bersekolah di kota sebelah. Kendati begitu, aku tetap senang. Setidaknya, aku bisa keluar dari desa terpencil ini selama sebulan penuh untuk kemudian pulang dan menghabiskan waktu di rumah selama 2 hari di setiap hari liburku. Setelah membasuh wajahku, aku keluar rumah dengan dua ember kayu di tanganku. Ya, tugasku setiap pagi adalah memenuhi ember besar berisi air bersih di dapur. Mamaku terlalu sibuk untuk melakukan itu. Beliau bekerja sebagai pedagang roti keliling, sedangkan Papa harus bekerja di kebun bunga milik tetangga di pagi hari untuk kemudian saat siang datang, Papa akan menjadi pengayuh sampan. "Mengisi air lagi, Tuan putri?" Annabella berjalan ke arahku dengan gaun putih dan rambut merah tergerai indah. Aku menatapnya tidak suka, walau ku akui aku sedikit terpesona. Lihatlah! Annabella Dacofmant, anak perempuan kepala desa yang baik hati nyatanya malah memiliki sifat seperti iblis! "Jangan menggaguku Dacofmant!" ucapku sebal lalu menuangkan air ke ember kayu milikku. Annabella tertawa, tawa yang menyebalkan. "Sepertinya, kau memang benar-benar tidak bisa menjadi tuan putri," komentarnya sambil memainkan rambut merahnya yang tergerai indah. Aku menelan ludah, berusaha menahan rasa kesal yang mulai menjalar di hatiku. Kalimat itu memang sensitif sekali bagiku. Boleh aku bertanya, apa cita-cita kalian? Jika banyak orang umumnya bercita-cita sebagai Dokter, Pengacara, Hakim atau bahkan Polisi, aku sejak dulu memiliki cita-cita yang tidak masuk akal. Aku ingin menjadi putri! Aku ingin merasakan memiliki istana megah, di hormati rakyat, hingga menikah dengan seorang pangeran. Meskipun dengan menjadi orang kaya kau sudah bisa memiliki semua itu, tapi aku ingin menjadi tuan putri, bukan menjadi orang kaya. Setidaknya, menjadi seorang putri bisa memberikan kebahagiaan. Memiliki tantangan untuk membina rakyatnya, hingga memerintah dengan agung dan adil. Sayangnya, itu hanya akan menjadi mimpi yang tidak pernah terkabul. Aku menatap dua ember kayuku. Isinya telah penuh. Akupun mengangkat keduanya. "Pergilah, Dacofmant! Aku sibuk!" ucapku lalu pergi begitu saja meninggalkan Annabella yang malah tertawa keras seakan menertawakan nasibku. Setelah mengisi ember besar itu, aku kemudian membuka kulkas. Memanggang bebeapa roti, menggoreng telur dan bacon, lalu menuangkan air putih. Keluargaku tidak pernah sarapan bersama. Papa dan Mama akan sibuk pagi-pagi sekali. Aku hanya akan bertemu mereka di sore hari, untuk kemudian makan malam bersama. Setelah sarapan, akupun mandi dan memakai gaun santai selutut berwarna kuning pucat. Aku menatap cermin. Rambut abu-abu yang cukup panjang, mata abu-abu, kulit putih, dan bibir kecil ini memanglah cantik. Tapi, aku tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan wajah cantik Annabella. Rambut merah gadis itu seakan menghipnotis semua orang yang melihatnya, mata cokelat nya berkilauan di terpa sinar matahari, hingga tubuhnya ramping namun berisi di beberapa bagian. Tidak sepertiku. Aku lebih mirip sehelai kertas di bandingkan dengan Annabella yang bagaikan gitar spanyol. Lelah menertawai kekuranganku, aku keluar dari rumah. Sepertinya, jalan-jalan sedikit bisa mengusir penat. Lagipula, besok aku harus kembali ke kota sebelah untuk bersekolah. Aku masuk ke sebuah toko buku kecil. Lantainya berwarna cokelat kusam, dinding yang berwarna krem pucat, bahkan rak bukunya pun cokelat pucat. Segala sesuatu hal di toko ini seakan usang. Tapi, karena toko ini menjual buku lebih murah di bandingkan toko buku lain, tempat ini resmi menjadi langgananku. "Gutten Morgen, Victoria! Kau datang lagi rupanya," sapa seorang kakek tua yang merupakan pemilik dari toko buku ini. Aku tersenyum, "Ya. Apa ada buku baru, kakek?" tanyaku Kakek Sam. Nama penjaga itu sebenarnya adalah Sammy Baldwin. Namun, karena sudah tua kami memanggilnya Kakek Sam. Kakek Sam berumur 65 tahun dan merupakan penjaga sekaligus pemilik toko buku yang sudah berdiri semenjak Papa dan Mamaku belum menikah. Ya, memang sudah selama itu. "Belum ada kiriman. Tetapi, aku yakin kau akan suka buku ini," ucapnya mengambil salah satu buku di rak yang ada di belakangnya. "Ini dia." Kakek Sam memberikanku sebuah buku berjudul The Journey of Princess Helena. "Bukankah ini buku mahal?" tanyaku sambil mengelus buku bersampul merah marun yang keras dan tampak kuat itu. Untuk infromasi, buku-buku yang di pajang di rak belakang Kakek Sam adalah buku-buku khusus dan mahal. Biasanya, buku itu di beli oleh kepala desa dan orang-orang kaya yang ada di desa Giethoorn. Kakek Sam tertawa, "Kau sudah menjadi langganan tokoku. Bahkan, kau selalu menabung agar setiap bulan dapat membeli buku di toko usang ini. Anggaplah hadiah," ucapnya sambil tersenyum hangat lalu mengusap kepalaku pelan. Aku tertawa, merasa senang sekali. Akhirnya, ku dekap buku itu. "Terimakasih kakek Sam! Anda yang terbaik!" Aku kemudian pamit pulang tanpa menyadari raut wajah Kakek Sam yang tersenyum misterius sembari menatap ke arahku. "Takdir akan merubahmu, nak." ucapnya pelan tanpa ku sadari. ... Hari sudah menjelang sore. Biasanya, di sore hari aku lebih leluasa melakukan apapun. Karena aku sudah membantu Mama meringankan pekerjaan di pagi hari, Mama biasanya akan menyuruhku untuk berdiam diri di kamar atau melakukan hal yang menghiburku. Yang ku lakukan saat ini adalah menyiapkan keperluanku untuk berangkan ke kota sebelah besok. Aku memasukkan buku-buku--termasuk buku yang diberikan kakek Sam-- dan juga beberapa pakaian. "Yosh! Tinggal topiku! Ah ... Mana ya?" Aku menoleh kesana kemari. Mengobrak-abrik lemari pakaian hingga membuka rak bukuku. Topi itu adalah topi pemberian Kakak bulan lalu dari Amsterdam. Topi yang katanya sedang tren di Korea Selatan, Kakak memberitauku bahwa nama topi itu adalah bucket hat. Dan aku sangat menyukainya, karna membuatku keren jika di pakai. Merasa lelah sendiri karena tidak menemukan apapun, aku berjalan ke dapur dan menemukan Mama yang sedang sibuk menata meja makan. "Ma, kau melihat topiku?" tanyaku. Mama menatap ke arahku. "Mungkin terbawa oleh Mama. Coba kau cek lemari di kamar Mama." jawabnya sambil sibuk kembali menata makanan. Aku mengangguk lalu berjalan beberapa langkah melewati kamarku dan sampai di kamar mama. Tanpa menunggu lama, kubuka lemari kayu itu dan benar saja. Aku menemukan topiku di paling atas lipatan baju Mama. Mungkin Mama mengira itu adalah topi milik Papa. Aku segera menutup lemari untuk kemudian membukanya lagi saat mataku menangkap sesuatu yang berkilau. Penasaran, aku mengambilnya. Kalung. Itu adalah sebuah kalung kuno dengan bandul persegi empat yang terdapat permata biru muda berkilau. "eeww~ kuno sekali!" Aku mengerenyit merasa tidak terpesona pada kalung ini. Tapi, aku malah mencoba memakainya. BLUSH! Suara angin kencang tiba-tiba saja datang entah darimana setelah aku memakai kalung ini. Lantas, saking kencangnya angin itu, aku bahkan tidak dapat membuka mataku. Semuanya terasa dingin, kacau, dan menyesakkan. Angin ini terlalu kencang hingga bernafas saja membuatku pedih. Lalu, semuanya tiba-tiba berhenti. Dan aku tidak ingat apa yang terjadi setelah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD