1. Prolog
Hari yang panjang dan melelahkan membuat Liana berkali-kali menghela nafasnya lembut. Dinginnya malam berhasil membuat Liana semakin merasa tidak tenang. Liana yang hanya mengenakan kimono tidurnya itu terlihat begitu resah.
Seorang pria dengan parasnya yang tampan kini menghampiri Liana yang tengah berdiri di atas balkon kamarnya. Suara rendah sedikit serak berbisik lembut di telinga Liana.
"Aku tidak mau pulang, Liana.."
Tangan dingin Liana yang memegang pagar pembatas digenggam erat oleh Liana. Jelas, jika Liana merespon kesal atas apa yang ia dengar dari pria di belakangnya ini.
"Liana, lihat aku. Aku benar-benar ingin di sini saja," bisik pria tersebut.
Liana pun membalikkan tubuhnya. Melingkarkan kedua tangannya di leher pria yang kini sudah ada di hadapannya. Jarak mereka yang dekat membuat pria yang tampan itu semakin mempesona di mata Liana.
Pria yang hanya mengenakan kimono tidur itu benar-benar sangat menggoda. Namun, rasa kesal di hati Liana tidak dapat disembunyikan lagi olehnya.
"Tapi, kamu besok akan bertunangan dengan wanita lain," geram Liana yang menampilkan senyuman kesalnya.
Pria itu menatap lekat Liana, ia meraih lengan Liana yang memang sudah ada di lehernya.
Greeep ...
Lengan sang pria melingkari pinggang Liana dan dengan sigap mendekap erat Liana ke tubuhnya.
"Justru karena besok aku bertunangan dengan wanita lain, lah. Membuatku ingin bersama dengan kamu malam ini, Liana," ucap pria tersebut berbisik di telinga Liana.
Liana yang kesal mencoba berontak. Akan tetapi, eratnya dekapan pria tersebut membuat Liana lagi-lagi tidak berdaya. Kimono tidurnya justru tidak sengaja terbuka saat Liana mencoba melepaskan diri dari dekapan pria tersebut. Membuat mata sang pria terbelalak saat melihat kulit mulus Liana yang terpampang.
"Liana, bagaimana bisa aku menyerah jika begini. Satu malam lagi, biarkan aku bersama denganmu."
Bisikan dari pria tersebut benar-benar membuat logika Liana goyah.
"Kalau begitu, pergilah sebelum matahari terbit besok," bisik Liana yang menyerah pada pesona pria di hadapannya itu.
Cip.. Cip..
Pagi yang cerah, udara musim semi yang sangat indah di kekaisaran Klarybel. Sinar mentari menembus tirai tipis berwarna merah darah di kamar Liana. Kicauan burung terdengar riang menyambut hari.
Liana Eilen Kavindra baru saja bangun dari tidur nyenyaknya setelah melewati malam yang melelahkan. Liana bangkit dari tempat tidurnya, menarik selimut dan menutup tubuhnya yang nyaris tak berbusana. Liana menatap keluar dari balkon kamarnya.
"Apa ini waktunya," ucapnya lirih dengan suara serak khas bangun tidur.
Liana menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menatap ke langit biru yang luas.
Tok ... Tok ... Tok ...
Ketukan pintu kini terdengar, mengusik pikirannya yang sempat melayang jauh.
"Tuan Putri, sudah waktunya untuk bersiap."
"Hmm.. Nila, kamu kapan kembali?" tanya Liana pada Anila dayang selalu bersama dengannya.
"Sebelum matahari terbit, Tuan Putri!"
"Tuan Putri merindukan saya, kan?"
"Iya, kan? Tuan Putri tidak melakukan hal aneh, kan?"
"Hoho, Tuan Putri. Pasti kesepian selama saya cuti, kan?"
Pertanyaan Liana hanya dibalas dengan pertanyaan bertubi-tubi lainnya dari dayangnya tersebut.
"Nila, kamu berisik."
"Aku hidup tenang selama kamu cuti. Sudah, jadi di mana sarapan untukku?"
Pagi itu, Liana hanya menyantap satu buah apel untuk mengganjal perutnya. Ia memulai dengan ritualnya sebagai seorang putri yang akan menghadiri sebuah pesta.
Hari ini, ada pesta besar yang harus ia hadiri. Liana sejatinya tidak suka akan hiruk-pikuk kemeriahan pesta. Namun, kali ini ada yang istimewa dari pesta tersebut.
"Tuan Putri, akhirnya Tuan Putri bersedia menerima tawaran dari kaisar."
"Tuan Putri, tahu tidak. Jika, para tetua kekaisaran ini sangat berharap besar pada Tuan Putri. Banyak juga rakyat yang berhutang budi pada Tuan Putri."
"Saya senang sekali jika akhirnya Tuan Putri mau menerima tawaran dari kaisar."
Ocehan demi ocehan terus keluar mulai di saat Liana menyantap makanannya, saat Liana mandi hingga ia selesai berpakaian dan berdandan. Semua ocehan itu keluar dari bibir Anila, sang dayang yang selalu berada di sisi Liana.
"Nila, jika kamu terus mengoceh seperti itu terus, aku tidak akan sanggup untuk menghadap kaisar nanti."
"Anila, kamu itu juga bangsawan, kan!" seru Liana yang sudah muak dengan ocehan Anila.
Akan tetapi, apa yang diucapkan Liana untuk menghentikan dayangnya tersebut adalah hal yang sia-sia. Anila tidak berhenti mengoceh.
"Aduh, Tuan Putri. Justru karena saya ini seorang bangsawan saya paham sekali seberapa pentingnya pesta kali ini."
"Anila, kamu benar-benar tidak ingin mendengarkan aku?" kesal Liana.
Ucapan Liana lagi-lagi hanya disambut dengan senyuman oleh Anila. Hingga Liana pun selesai dengan dandanannya. Ia sudah tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna putih bersih. Tatanan rambut yang membuatnya tampak seperti bidadari yang indah.
"Aduh.. aduh, Tuan Putri. Tuan Putri yakin mengenakan gaun ini? Sayang sekali gaun ini tidak bisa memperlihatkan kemolekan tubuh Tuan Putri," ucap Anila saat melihat Liana yang mengenakan pakaian sedikit longgar.
"Tapi, biar bagaimana pun Tuan Putri terlihat sangat cantik,” puji Anila.
"Hmm.. tentu saja, ini adalah gaun yang tepat untuk menerima hadiahku." Liana tersenyum culas.
Hari ini adalah hari istimewa. Merupakan hari peringatan berdirinya negara kekaisaran Klarybel. Namun, bukan itu yang menjadikan pesta ini istimewa. Hari ini, Liana yang memiliki jasa besar pada kekaisaran Klarybel akan menerima penghargaan atas jasanya.
Kyaaa ...
"Tuan Putri sangat cantik. Jika begini bisa-bisa orang akan berpikir jika Tuan Putri yang akan menjadi tunangan dari pangeran," teriak Anila girang.
"Hmm.. rumornya sudah beredar ya?" tanya Liana dingin.
"Tentu saja, Nona Talisa sudah heboh akan pertunangannya dengan sang pangeran. Terlebih lagi dia adalah pangeran paling tampan dan misterius di kekaisaran. Penggila medan perang, pemilik pedang iblis dan juga menyandang gelar Dewa Kematian Klarybel. Tentu saja semua orang pasti ingin tahu tentang pertunangan itu," tutur Anila antusias.
"Walaupun itu akan menjadi pernikahan politik. Semua orang sangat antusias atas pernikahan pangeran," sambungnya lagi.
Liana tersenyum lebar dengan apa yang dikatakan dayangnya tersebut. Senyuman Liana malah membuat Anila merasa ngeri akan senyuman penuh arti dari Liana.
"Tuan Putri tidak berniat menghancurkan pesta kali ini, kan?" tanya Anila dengan nada peringatan.
"Mana mungkin aku menghancurkan pesta penghargaan untukku," tegas Liana.
Liana yang telah selesai dengan dandanannya itu kini melangkahkan kakinya dengan pasti. Ia menuju kereta kuda yang sudah menunggunya untuk menuju istana kekaisaran Klarybel.
Hufft ...
Hembusan nafas panjang Liana jelas menunjukkan rasa gugup yang ada pada dirinya. Ia pun menggelengkan kepalanya beberapa kali. Menyadarkan dirinya untuk kembali pada kenyataan.
"Aku bisa," ucapnya dengan penuh tekad.
Pintu kereta kuda itu dibuka oleh kesatrianya. "Sudah tiba, Tuan Putri.."
Sang pengawal itu menjulurkan tangannya. Ragu, Liana menyambut tangan sang pengawal. Liana pun turun dari kereta kuda dengan jantungnya yang masih berdetak kencang.
"Jantung sialan," umpat Liana dalam hatinya.
Tangan Liana tiba-tiba terasa dingin, langkah kakinya terasa mengambang. Satu hal yang ia harus hadapi. Saat ini adalah hari pertunangan pria yang semalam baru saja menghabiskan malamnya bersama dirinya. Yaitu pangeran Ruta Alfadhi Klarybel, putra ke tiga Kerajaan Klarybel.
"Pangeran sialan," umpatnya lagi dengan hentakan kaki yang penuh emosi.
Namun, rasa gugup Liana kembali memuncak saat melihat pintu istana yang terbuka. Liana pun memasuki istana dengan perasaan hati yang tidak bisa di jelaskan.
"Wah, bukan main. Lihat itu, dia bisa terlihat segar begitu walau kurang tidur," gumam Liana begitu melihat pangeran Ruta di pesta tersebut.
Entah mengapa Liana terus merasa kesal akan setiap melihat sang pangeran. Meski sesekali mereka berdua saling mencuri-curi pandang.
Pesta berlangsung dengan meriah, tampak para bangsawan yang hadir lebih banyak daripada biasanya. Perwakilan dari berbagai negara juga hadir menambah meriahnya pesta kali ini.
Permulaan pesta berlangsung dengan lancar. Hingga sampai pada inti dari pesta tersebut. Salah satu agendanya adalah pemberian berbagai penghargaan pada orang-orang yang berjasa untuk kekaisaran Klarybel.
"Karena jasanya yang sangat besar untuk kekaisaran Klarybel. Liana Eilen Kavindra mendapat penghargaan khusus dari kekaisaran."
Kini tibalah giliran Liana untuk menghadap sang kaisar.
"Apa yang kamu inginkan sebagai imbalannya Liana?" tanya sang Kaisar Kekaisaran Klarybel.
Liana hanya terdiam untuk sesaat. Ia tidak mengatakan dengan sigap apa keinginannya. Bibirnya mengering dan sedikit terlihat pucat.
"Liana, katakan saja apa yang kamu inginkan. Jika kamu menginginkan negara, akan kuberikan sebagian wilayahku untukmu," ucap sang kaisar dengan tegas.
Namun, Liana masih terlihat ragu menjawabnya.
"Liana, jasamu untuk negara ini sungguh besar. Aku paham jika sebagian wilayah saja tidak cukup untuk membalas jasamu."
Liana yang tertunduk dan air matanya kini terlihat sudah menumpuk di pelupuk matanya itu berkata dengan suara yang bergetar.
"Aku hanya ingin ayah dari anak yang ada dalam kandunganku Yang Mulia."
Apa yang dikatakan Liana pada pesta itu membuat gaduh seisi ruang pesta. Semua berbisik dan menatap tajam ke arah Liana.
"Lalu, siapa ayah dari anak itu? Kenapa kamu memintanya padaku?"
Seketika itu, Ruta Alfadhi Klarybel bersujud di hadapan Kaisar. "Aku akan bertanggung jawab ayah, aku mohon hentikan pertunangan ini dan biarkan aku bersama wanita yang aku cintai Ayah."
Haha.. haha.. haha..
Kaisar tertawa lebar. Tatapannya yang tegas itu memandang kedua orang yang kini bersujud di hadapannya.
"Kamu mengandung cucuku?" tanya kaisar dengan wajahnya yang serius.
Liana menangis dan Ruta dengan sigap memeluknya.
"Ayah, aku mohon ..." ucap Ruta Lirih.
"Tidak bisa dipercaya!!!" sentak sang kaisar.
Semua orang yang awalnya saling berbisik kini hanya bisa diam seribu bahasa begitu mendengar suara tinggi sang kaisar.
"Tabib, panggilkan tabib kerajaan, cepat!" titah sang kaisar yang membuat gaduh seketika.
Tabib pun datang, dengan tubuh gemetar Liana akhirnya diperiksa oleh sang tabib. "Benar, Yang Mulia. Tuan Putri Liana tengah hamil muda. Usia kandungan beliau sudah menginjak hampir 3 bulan."
Ruta memeluk erat Liana menjaga dalam perlindungan dekapannya.
Sementara itu, sang Kaisar mengepal kedua tangannya erat.
"Tidak, bisa. Bagaimana mungkin. Tunangan pangeran itu seharusnya aku," teriak Talisa yang seharusnya menjadi peran utama pada pesta kali ini.
"Ta-tapi Yang Mulia bilang aku boleh meminta apapun sebagai tanda jasa. Aku hanya menginginkan ayah dari anakku.. hiks.. hiks.."
Tangisan Liana justru membuat sang pangeran yang terkenal dingin dan sadis itu begitu lemah lembut. Ia mengusap lembut air mata Liana. Mendekapnya erat bahkan tersenyum lembut untuk menenangkan Liana.
Semua mata tertuju pada kelembutan pangeran yang tidak pernah sama sekali dilihat.
"Tidak, aku menolak. Bagaimana mungkin seorang pelakor bisa menjadi pasangan pangeran," ketus Talisa.
Sang Kaisar pun mendelik tajam. Rumor tentang Liana sudah tersebar dan sampai ke telinganya jauh-jauh hari.