Kami tiba menjelang pukul sebelas malam.
Aku menatap takjub bangunan kuno yang bakal menjadi tempat tinggal kami setelah ini. Luas sekali. Aku tak menyangka telah mewarisi rumah kuno seperti bangunan peninggalan kaum penjajah Belanda dulu. Gelap dan kuno. Ada aura misterius menyelimutinya. Itu kesan pertamaku pada rumah peninggalan keluarga Papa.
“Ma, kita akan tinggal di rumah kuno ini?” tanyaku nyaris tak percaya.
Mama mengangguk mengiyakan. “Orang dulu menyebutnya rumah panggung, karena bangunan fisik ini tak langsung menempel ke tanah melainkan ditopang oleh fondasi yang amat kokoh. Seperti panggung.”
“Wow! Fara gak nyangka Papa dulu dibesarkan di rumah ini. Memang Papa punya darah turunan Belanda?” tanyaku iseng. Jujur aku telah melupakan wajah Papa setelah delapan tahun kematiannya, lagipula Mama telah menyembunyikan semua foto Papa dan adikku. Mungkin karena tak ingin berlarut-larut dalam duka berkepanjangan.
“Begitulah. Sebenarnya Papamu blasteran, Cuma lebih kental darah Jawa-nya. Nenekmu adalah anak blasteran dari perkawinan campur antara pria Belanda dengan wanita Jawa priyayi. Kemudian nenekmu menikah dengan pemuda Jawa kaum jelata. Lahirlah Papamu dan Pakde Kusuma,” jelas Mama.
“Oh begitu, pantas darah blasteran Papa makin luntur setelah sampai ke Fara. Sayang sekali,” gurauku, lalu terkekeh geli.
Herannya, Mama menatapku lekat dengan tatapan kurang setuju. “Fara salah kalau menganggap begitu. Fara justru lebih kental darah blasterannya dibanding Papa. Dan sedikit mirip nenekmu.”
“Ohya? Masa sih, Ma?” tanyaku bingung.
“Mamamu tak salah. Fara memang mirip dengan Nenek.”
Suara itu jelas bukan milik Mama! Aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menyahut tadi. Wajah ini familiar bagiku, tapi rasanya tak mungkin dia berada disini. Siapa dia? Mama tersenyum lembut, lantas menghampiri lelaki yang kehadirannya amat membingungkanku.
“Sayang, akhirnya kita bersama lagi,” cetus Mama seraya memeluk lelaki itu.
Aku syok melihatnya. Walau banyak lelaki yang mendekatinya, namun semenjak ditinggal Papa Mama tak pernah terlibat hubungan khusus dengan lelaki lain. Kini dia memeluk lelaki yang jauh lebih muda darinya!
“Mama, siapa dia?!” tanyaku ketus.
“Apa kamu lupa, Ra? Dia papa,” jawab Mama dengan mata berbinar-binar.
“Papa?” ulangku heran. Apa Mama sudah lupa? Bukannya Papa sudah meninggal delapan tahun lalu?
“Iya, Papamu!” Mama mengangguk haru.
“Mustahil!” pekikku lantang.
Aku tak suka Mama memberi alasan konyol ini untuk membenarkan perselingkuhannya. Dengan kecewa aku berbalik pergi meninggalkan mereka.
“Rara!” teriak Mama.
“Fara!” seru lelaki itu.
Saking kesalnya hatiku, dengan ceroboh aku menabrak anak kecil hingga menyebabkannya terjerembap jatuh.
“Maaf, Dek. Kakak tak sengaja menabra-”
“Kak Ara?”
Panggilan itu membuatku membeku. Hanya satu orang di seluruh dunia yang memanggilku seperti itu. Dan dia adalah ….
“Kamu Fitri?” tanyaku dengan napas tercekat.
Gadis kecil itu tersenyum riang padaku, menampilkan giginya yang ompong. Bahkan giginya masih tetap ompong dua di depan! Tapi bagaimana mungkin Papa dan adikku yang telah meninggal delapan tahun lalu muncul di Dusun Gampit? Mendadak kepalaku terasa berat dan pandanganku berkunang-kunang. Tanpa kusadari aku jatuh pingsan.
…
Aku terbangun saat mencium bau minyak kayu putih di depan hidungku. Yang kulihat pertama kali adalah wajah khawatir Mama. Selain itu tak ada siapapun lagi. Jadi, apakah yang kulihat sebelum pingsan tadi … jangan-jangan aku hanya bermimpi.
“Ma, sepertinya Fara mimpi aneh lagi,” gumamku lirih.
“Tidak, Ra. Itu bukan mimpi. Papa dan FItri masih hidup! Selama ini mereka menunggu kita di dusun ini,” sambung Mama antusias.
Kurasa yang bermimpi adalah Mama! Dan aku harus menyadarkannya.
“Ma, istighfar. Papa dan Fitri sudah meninggal delapan tahun lalu,” kataku memperingatkan dengan nada prihatin.
Mama menggeleng tegas. “Kita salah. Selama ini Mama juga mengira demikian. Sampai Pakdemu memberitahu lewat surat yang dikirim bersama surat warisannya. Dia bilang jika kita ingin menemui Papamu, datang saja ke Dusun Gampit.”
Penjelasan Mama membuatku semakin bingung, namun aku yakin Mama tak berbohong.
“Itu sebabnya Mama rela meninggalkan kehidupan nyaman kita di kota dan pindah di dusun terpencil ini?” cicitku yang kini memahami alasan kepindahan sangat mendadak kami.
Mama mengangguk mengiyakan. “Maaf kalau Mama tak menceritakan padamu. Mama tak ingin Fara kecewa. Jadi Mama harus memastikannya dulu sebelum memberitahumu.”
“Tapi bagaimana bisa? Penampilan Papa dan FItri seperti tak berubah!”
Apakah Mama tak merasa heran sepertiku? Dia tampak biasa saja, seolah tak menyadari sesuatu yang janggal dalam penampilan Papa dan Fitri. Bahkan jika disandingkan, Papa lebih cocok menjadi keponakan Mama disbanding sebagai suaminya!
Wajah Mama berubah merah padam mendengar komentarku. Namun dengan besar hati dia mengakuinya.
“Kehidupan keras yang Mama jalani mungkin telah membuat wajah Mama menua dengan cepat. Sedang Papa … kedamaian di dusun ini dan suasananya yang asri, juga udara yang sehat … pasti semua itu yang menyebabkan Papamu awet muda.”
Kalau kupikir-pikir kemungkinan itu bisa saja terjadi. Beberapa kasus aneh seperti ini pernah dialami oleh pasutri-pasutri lain di belahan dunia yang lain. Tapi ada yang lebih aneh!
“Bagaimana dengan Fitri? Mengapa dia masih seperti anak kecil? Apa pertumbuhannya seolah berhenti?”
Mama terdiam. Dia terlalu bahagia hingga untuk sesaat melupakan kejanggalan besar seperti ini. Mama menelan ludah kelu.
“Mengenai ini ….”
“Biar Papa yang menjelaskan.”
Terdengar celetukan yang menyela pembicaraan kami. Papa muncul dan duduk di sebelah Mama. Dia mengenggam tangan Mama dan menatapnya hangat. Mama balas memandang penuh cinta. Jelas terlihat betapa dalam cinta mereka. Hatiku meleleh melihatnya.
“Sayang, sebenarnya Fitri … dia mengidap penyakit aneh. Dalam arti pertumbuhannya berhenti. Itu sebabnya dia tetap seperti anak berusia delapan tahun meski usianya telah enambelas tahun,” jelas Papa sedih.
Astaga, mengapa adikku harus mengalami penderitaan seperti ini. Hatiku bagai diremas-remas mengetahuinya. Tak sadar mataku berkaca-kaca menahan tangis, sementara Mama terisak-isak dalam pelukan Papa.
“Maaf, sudah membuat kalian sedih. Semenjak kecelakaan itu kami lupa ingatan. Baru setelah Kangmas Kusuma menceritakannya sebelum beliau meninggal, ingatan saya kembali.”
Lantas Papa menceritakan segalanya. Ternyata mayat gosong yang ditemukan dalam mobil terbakar saat kecelakaan itu bukanlah tubuh Papa. Kebetulan ada yang mencuri mobil yang diparkir Papa saat membawa Fitri ke rumah sakit. Papa mengejarnya dengan taksi. Malangnya taksi yang ditumpangi Papa dan mobil Papa bertabrakan dan terbakar hebat. Papa selamat karena sempat keluar sebelum taksi yang ditumpanginya meledak. Parahnya dia lupa ingatan karena kepalanya sempat terbentur hebat.
“Jadi itu sebabnya hanya ada satu mayat lelaki di mobilmu, Mas. Kami mengira Fitri terjatuh di jurang, karena mobilmu terbakar di tepi jurang. Namun bertahun-tahun mencarinya, jazad Fitri tak ditemukan hingga dia dinyatakan meninggal,” imbuh Mama dengan wajah galau. Dia tak tahu harus bersyukur atau menyesali kesalahpahaman yang memisahkan keluarga kami.
“Sebentar, sebentar,” potongku penasaran. “Mengapa saat itu Papa hanya sendiri membawa Fitri ke rumah sakit? Kemana Mama? Dan mengapa Mama tak menjemput Fitri di rumah sakit?”
“Saat itu Fara dan Fitri sama-sama sakit, tapi sakit Fitri jauh lebih parah. Maka kami memutuskan Mama menjaga Fara di rumah, sedang Papa membawa Fitri berobat ke rumah sakit. Siapa yang menyangka sebelum Papamu mengabari, Mama mendengar berita kecelakaan itu. Mama sampai membawa Fara ke rumah sakit untuk mengecek berita itu. Teryata betul mobil yang terbakar adalah milik Papa dan ada indikasi Fitri jatuh ke jurang. Mama tak mengira kalau ternyata Papa meninggalkan Fitri di rumah sakit sebelum mengejar mobil yang dicuri,” jelas Mama penuh penyesalan.
Papa menundukkan kepala dengan bahu terkulai, dia terlihat sarat rasa bersalah saat menceritakan kejadian tragis ini pada kami.
“Papa kalut, Ma. Siapa yang tak hancur hatinya mendengar dokter memvonis Fitri cacat seperti itu? Papa lupa memberitahu Mama, dan semakin panik saat tahu ada yang melarikan mobil Papa.”
“Jadi itu penyebab keluarga kita berpisah,” gumamku sedih. “Lantas, bagaimana Papa bisa tinggal disini dan mengapa Pakde Kusuma tak menghubungi Mama begitu menemukan Papa dan Fitri?” tanyaku tak habis mengerti.
“Kangmas Kusuma kebetulan memeriksakan kesehatannya di rumah sakit tempat Fitri dirawat. Dia melihat Papa saat didorong memakai brangkar menuju kamar operasi. Itu sebabnya dia bisa menemukan Papa. Dan kebetulan sekali ada suster yang mengenali Papa yang membawa Fitri ke rumah sakit yang sama. Suster itu memberitahu Kangmas Kusuma. Kami dirawat di rumah sakit cukup lama, setelahnya Kangmas Kusuma membawa kami pindah ke dusun ini. Alasan Pakdemu tak memberitahu Mama ….” Papa melirik Mama dengan perasaan jengah.
“Pakdemu dan keluarga Papamu tak setuju pernikahan kami. Mungkin dia merasa ini adalah jalan untuk memisahkan kami. Tapi dia tak menyangka ada kamu, Fara. Begitu tahu mungkin ada perasaan bersalah. Pasti itu sebabnya sebelum meninggal dia mewariskan rumah ini padamu dan memberitahu keberadaan Papa dan FItri untuk memancing kita datang kemari,” imbuh Mama sembari menekan perasaan gusar dalam hatinya. Bagaimanapun Pakde Kusuma telah meninggal, mungkin Mama ingin memaafkannya supaya jalan Pakde ke dunia barunya lega.
“Maafkan Kangmas, Lastri,” pinta Papa memelas.
Mama menghela napas panjang, berusaha ridho. “Sudahlah, yang penting kita sekeluarga telah berkumpul menjadi satu.”
Aku tersenyum mengiyakan. Meski hidup kami sebelum ini pahit, mungkin itu adalah obat pelipur lara bagi kami hingga menemukan kebahagiaan ini.
Mendadak bulu tengkukku meremang. Aku seolah merasakan kehadiran makhluk lain dalam ruangan ini. Benar saja, dalam jarak kurang lebih dua meter berdiri sosok lelaki yang amat mirip Papa namun tampak lebih tua. Pasti dia Pakde Kusuma. Atau hantunya yang belum tenang. Perasaanku kacau saat dia menoleh melihatku dan menyadari aku bisa melihatnya. Dia tersenyum padaku. Aku tak membalasnya saking syok mengetahui diriku bisa melihat makhluk gentayangan di sekitarku. Aku tak menyadari adikku telah berdiri di dekatku. Dia berbisik lirih di dekat telingaku.
“Kak Ara bisa melihatnya, toh? Dia hantu Pakde. Jangan dekat, dia jahat!”
Bersambung.