"Yah ... Udah sampai rumah aja ternyata," ujar Elang dengan suara yang terdengar begitu lesu. Bersamaan dengan itu, ia memberhentikan motornya di depan gerbang rumah yang cukup mewah.
Kana turun dari motor Elang, ia berdiri di dekat kendaraan cowok itu sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Kana mendongak, senyuman tipisnya tersungging di bibirnya sambil menatap Elang.
"Makasih ya," ucap Kana lembut.
"Buat?"
"Ya karena lo udah nganterin gue pulang sampai rumah," jawab Kana. Yang segera diangguki singkat oleh Elang. Cowok itu masih belum beranjak untuk pergi ke rumahnya.
"Iya sama-sama."
Kana menatap Elang semakin dalam. "Ngapain masih di sini? Lo nggak pulang?"
Elang melepaskan helm yang menutup kepalanya, kemudian ia merapikan rambutnya, lalu tatapannya kembali terpusat ke arah Kana. "Mau mampir boleh? Tenggorakan gue kering banget nih, mau minta minum."
Kana tergelak kecil sambil membelalakkan matanya. Apa kata Elang barusan? Cowok itu mau mampir ke rumahnya? Kana meneguk ludahnya dengan kasar. Elang tidak boleh masuk ke dalam rumahnya. Apapun itu masalahnya. Kana hanya takut kepada ibunya yang mungkin saja akan memarahi Elang.
"Nggak perlu deh kayaknya, lo mending pulang sekarang aja. Udah sore banget nih," ucap Kana mencoba menyangkal. Ia tersenyum canggung.
Elang menggeleng pelan sambil terkekeh kecil. "Nggak pa-pa lah, paling diceramahi dan diinterogasi emak lima belas menit. Mampir sebentar aja deh, sekalian menjalin silaturahmi sama camer hehehe ..."
"Nggak boleh," jawab Kana cepat, ia bergerak cepat menghentikan Elang yang akan turun dari motornya. Kana menggeleng kuat, menciptakan kerutan bergelombang di kening Elang. Jelas saja cowok itu bingung.
"Kok nggak boleh sih?" tanya cowok itu seraya mencebikkan bibirnya. "Emangnya kenapa? Kana malu ya kenalin Elang ke orang tua Kana?"
"Bukan gitu."
"Ya terus?"
Kana menggeleng lagi, ia sedang berpikir bagaimana caranya menjelaskan kepada Elang agar cowok itu mengerti. Kana memutar otak lebih ekstra lagi. Membawa seseorang ke dalam rumahnya, meskipun itu bertujuan baik, tapi tetep saja Kana pasti bakal kena getahnya. Ia sudah sangat menduga jika ibunya pasti akan marah. Lebih-lebih lagi yang datang ke rumahnya adalah seorang cowok.
"Kana kok diem?"
"Lo mending pulang aja deh, lain kali aja mampirnya," ujar Kana.
"Emang bener ya, Kana kayaknya malu ngenalin Elang. Kenapa? Karena Elang aneh, ya? Karena Elang sering becanda? jadi Kana takut kalo Elang malah buat malu keluarga Kana?" ujar Elang panjang lebar seraya sesekali menunduk lesu.
Duh, Kana jadi bertambah pusing. Elang sudah salah paham seperti ini. Bagaimana ini? Kana sudah bergerak gelisah. Bukan karena Kana malu membawa Elang masuk ke dalam rumahnya, hanya saja mungkin waktunya tidak tepat. Lagipula, sebenernya Kana juga ingin Elang untuk mampir sejenak karena sudah repot-repot mengantarkannya pulang. Tapi mau bagaimana lagi? Kana semakin di landa kecemasan.
"Elang, bukan itu alasan gue. Tap—
"Kenapa? Elang cuma mau mampir bentar kok," sangkal cowok itu. "Kana kenapa sih?"
"Gimana jelasinnya, ya?" Kana mendengkus panjang sembari menggaruk belakang kepalanya. Kegundahan yang benaknya rasakan semakin membengkak. Kana sejujurnya sangat tidak enak kepada cowok itu.
Elang tersenyum tipis, "kalo Kana keberatan nggak pa-pa kok, Elang pulang aja kalo gitu," ucapnya pelan, dan detik berikutnya cowok itu sudah kembali memasang helm. Perasaan Kana dibuat semakin tidak enak.
Kana bergerak maju dengan cepat, kemudian ia memegangi lengan Elang. Perasaan tidak enak kepada cowok itu kian membesar. "Eh tunggu dulu, bukan gitu maksud gue. Gue nggak ngusir lo kok."
"Iya Kana, Elang tahu kok."
"Lo marah sama gue?"
"Marah kenapa?" tanya Elang.
"Ya gitu, karena gue nggak ngijinin lo masuk ke rumah. Bukan tanpa sebab Elang, gue sebenernya juga pengin lo mampir. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa gue ceritain sekarang sama lo. Mungkin suatu saat nanti lo bakal tahu sendiri."
Elang tersenyum tipis mendengar penjelasan Kana. Tangannya terangkat, kemudian mendarat lembut di puncak kepala Kana. Cowok itu mengacak pelan rambut cewek itu.
"Iya, Elang paham kok perasaan Kana. Setelah dipikir-pikir aneh juga Kana larang Elang masuk. Kayak ada yang Kana tutupin. Tapi Elang nggak mau maksa Kana buat cerita meskipun Elang yakin bahwa di dalam sana ada apa-apa." Elang berhenti berkata sejenak, diusapnya pelan bahu Kana dengan lembut. "Tapi Kana harus janji satu hal, ya?"
"Janji apa?" tanya Kana bingung.
"Janji kalo ada apa-apa laporin Elang, ada Elang yang selalu berada di samping Kana. Nggak usah malu atau takut buat cerita," ucap Elang terdengar sangat yakin. Ia tersenyum sambil menepuk d**a bagian kirinya. "Elang bakal selalu ada buat Kana. Paham, kan?"
Senyuman Kana terlihat begitu cerah. Dengan cepat, ia pun mengangguk tanpa berpikir panjang. Kana percaya kepada cowok itu. "Iya. Makasih, ya?"
"Kana masuk buruan sana," ucap Elang seraya menunjuk gerbang dengan dagunya.
"Lo jalan dulu, baru gue masuk."
"Kana masuk dulu, baru Elang jalan."
"Nggak mau."
Elang berdecak kecil, kali ini ia memilih mengalah. Dengan sekali gerakan, ia menyalakan mesin motornya. Sebelum bergerak menjauh, sekali lagi Elang menatap Kana seraya tersenyum simpul. Senyuman yang entah kenapa membuat jantung Kana selalu berdegup tidak kendali waktu melihatnya.
"Dadah tuan putri," ujar Elang sembari melambaikan tangannya. "pangeran jalan dulu, ya? Jangan kangen, entar malam kita ketemu di mimpi. Elang sayang Kana."
Cowok itu pun mulai menjalankan motornya, meninggalkan Kana yang sudah menunduk sambil mesam-mesem tidak jelas. Dapat Kana rasakan jika pipinya memanas dan pasti terlihat memerah. Elang selalu saja membuatnya seperti ini.
Kana kemudian menggeleng cepat sambil melotot lebar. "Kana, lo nggak boleh baper sama tuh cowok!" ucapnya tegas pada dirinya sendiri. Tapi detik selanjutnya Kana malah tersenyum kecil lagi membayangkan ucapan Elang selama perjalanan menuju rumahnya tadi. s**l, Kana sudah terjebak. "Nggak bisa, gue udah terlanjur baper! Duh, gimana dong? Elang harus tanggung jawab titik!"
Tidak mau di lihat oleh orang lain karena sudah tersenyum sendiri seperti orang gila, Kana pun segara membuka gerbang dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Setelah sampai, Kana dikejutkan dengan ibunya yang sedang melipat kedua tangannya di depan d**a sembari menatapnya tajam, dibelakang wanita itu terdapat Luna dan Lana yang sedang ikut menatapnya. Kana melihat senyuman licik di wajah kedua saudari tirinya tersebut.
"Kana! sini kamu!"
Kana berjalan pelan mendekati ibunya dengan harap-harap cemas. Ia sudah meneguk ludahnya dengan susah payah. Dan Kana merasakan jika ada yang tidak beres saat ini juga. Belum lagi raut wajah ibunya yang terlihat sangat marah.
"Kenapa Bu?" tanya Kana sembari melirik takut wanita dihadapannya itu.
Sebuah tangan terjulur ke hadapan Kana, membuat Kana menatapnya bingung. Ia kembali mendongak menatap ibunya dengan gurat wajah bingung.
"Kenapa malah bengong kamu! Buruan kembaliin!" gertak wanita itu dengan suara menggelegar.
Kana mengerutkan keningnya, bingung. "Apanya Bu?"
"Kok malah nanya?! Jangan pancing emosi saya dengan muka sok polos kamu itu. Kamu pikir saya bakal kasihan gitu sama kamu? Enggak sama sekali!"
Kana masih terdiam dengan pergolakan batin yang semakin kental ia rasakan. Apa yang ibunya mau darinya? Sumpah, Kana tidak paham dengan ini semua.
PLAK!"
"Kenapa malah diem aja bodoh! Kembaliin duit Lana sama Luna! Kamu pikir saya nggak tahu semuanya, ha? Uang jajan kamu saya potong karena kamu nggak becus ngurus rumah, tapi bukan berarti kamu seenak jidat ngerampas uang punya mereka. Punya hati nggak sih kamu?!"
Kana tentu saja terkejut mendengar sebuah fitnah yang diberikan oleh ibunya itu. Sejak kapan ia ngerampas uang milik kedua saudari tirinya tersebut? Bukannya mereka sendiri yang maksa Kana buat ngasih mereka uang? Kana menggeleng kuat.
"Demi Tuhan Bu! Kana nggak per—
"Nggak usah bawa-bawa Tuhan segala! Sekali salah ya kamu tetap salah! Udah untung kamu masih bisa tinggal di sini, tapi ini balasan kamu? Iya?"
"Sumpah Bu, Kana nggak pernah ambil duit Lana sama Luna. Bahkan minta uang mereka juga Kana nggak pernah," ucap Kana dengan bibir yang bergetar.
"Kamu pikir saya percaya gitu, ha?! Dengan kelakuan kamu yang kayak gini, saya malah bertambah jijik banget sama kamu tahu nggak?" Wanita itu berteriak kasar tepat di muka Kana. Kemudian dengan gerakan gesit, ia mengambil tangan Kana secara kasar. "Sekarang, kamu ikut saya!"
Kana meringis kesakitan ketika tangannya ditarik olah ibunya. Entah sejak kapan air matanya sudah merembes keluar dari sudut matanya. Kenapa ia selalu di siksa seperti ini? Padahal kali ini Kana tidak bersalah apa-apa.
Dengan pasrah, Kana mengikuti langkah ibunya yang sangat tergesa-gesa. "Ibu mau bawa Kana ke mana?"
"Diem kamu! Nggak usah ngomong!"
"Bu, tangan Kana sakit," rintih cewek itu dengan suara serak. Ia masih terisak lirih.
"Nggak usah ngomong bodoh! Punya kuping itu dipake!" gertak wanita itu dengan kasar. Kembali ia menyeret Kana lebih kasar.
Entah mau di bawa ke mana dirinya, tapi Kana sudah merasakan aura tidak enak yang menyerang batinnya. Dan betul saja, tidak lama setelah itu ibu berhenti di hadapan sebuah pintu. Ketika wanita itu sedang memutar kunci, mata Kana terbelalak tidak percaya. Jangan bilang kalau dirinya mau di kurung di dalam sana! Kana jelas mengenali ruangan ini. Ruangan yang berisi oleh barang-barang usang yang tidak digunakan lagi.
"Bu, Kana mohon Bu, jangan kurung Kana di gudang, Kana takut gelap ibu. Kana nggak bohong, Kana nggak pernah ambil uang Lana sama Luna. Ibu ... Dengerin penjelasan Kana dulu Bu." Kana berbicara cepat sambil mengguncangkan tangan ibunya. Tangisnya tidak bisa dicegah, ia terus terisak. Di kurung di dalam gudang akan menjadi hal paling tidak Kana inginkan.
"Nggak usah banyak omong! Ini balasan buat kamu yang selalu bangkang omongan saya!" ucap wanita itu lengkap dengan kilatan matanya yang memerah. Pintu berhasil terbuka, lalu dengan cepat tubuh Kana di dorong ke dalam gudang yang sangat gelap. Detik berikutnya, wanita itu segara menutup pintu dengan cepat.
Wanita itu tersenyum puas dengan apa yang dirinya lakukan. Gedoran yang Kana lakukan di dalam sana membuatnya tertawa keras, terlebih lagi Lana dan Luna yang menjadi dalang dibalik semua ini. Mereka membalas dendam karena di sekolah tadi sore, Kana tidak memberinya uang.
Di dalam gudang yang gelap, Kana terus menggedor pintu dengan segenap tenaga yang tersisa. Tangisnya pecah begitu saja.
"Buka pintunya Bu ... Hiks ... Kana takut di sini," ujar cewek itu sambil terisak lirih.
Merasa jika apa yang ia lakukan sama sekali tidak membuahkan hasil apapun, Kana pun mendudukkan dirinya di lantai. Ia menangis keras sambil menyenderkan punggungnya di daun pintu. Tangisnya belum juga mereda.
Ditengah-tengah rasa takut bercampur dengan kesedihan yang terus menyerangnya, tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya begitu saja. Kana memeluk lututnya.
"Elang ..." lirihnya.