22. KEDUA KALINYA

1402 Words
Terlambat masuk sekolah membuat Kana dan beberapa siswa harus di hukum lari mengitari lapangan bola basket sebanyak sepuluh kali. Akibat keterlambatan Kana tentu saja karena ibunya. Wanita itu menyuruh Kana untuk bersih-bersih rumah terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah, padahal sebelumnya Kana tidak pernah melakukan itu. Kegiatan seperti itu hanya Kana lakukan di sore hari. Bukan pagi-pagi menjelang pergi ke sekolah seperti ini. Tentu saja bersih-bersih rumah tidak membutuhkan waktu yang sedikit. Dan Kana tidak akan berani membatah perintah dari ibunya. Karena ia tahu betul, hal-hal lebih serius akan ia dapatkan apabila ia berani melawan. Tidak hanya itu, Kana juga harus mengejar ketertinggalan angkot. Hingga sewaktu ia sampai di sekolah, jam sudah menunjuk pukul 08.07 WIB. Dan itu artinya, Kana terlambat masuk kurang lebih selama satu jam. Kini, ia berlari mengitari lapangan dengan siswa yang memiliki masalah yang sama. Keringat dingin sudah bercucuran keluar dari pelipis dan lehernya. Pasokan udara yang mengisi paru-parunya semakin menipis dan hal itu membuat napas Kana menderu kencang. Padahal, Kana baru berlari sebanyak dua putaran, dan itu artinya ia harus berlari sebanyak delapan putaran lagi. Kana tidak bisa berlari sebanyak ini, bahkan sewaktu kelasnya menempuh pelajaran olahraga, guru Kana juga tidak mengijinkan Kana untuk ikut karena itu berisiko pada jantungnya yang sudah sangat lemah. Lagi-lagi ucapan Dokter Farhan mengisi tempurung kepalanya. Tapi Kana buru-buru menggeleng, ia harus adil seperti siswa lain yang dihukum. Lagipula ini adalah kesalahannya, dan Kana harus bisa bertanggung jawab. Napas Kana semakin tidak beraturan, gerak kakinya yang berlari juga semakin melambat. Dadanya sudah mulai sesak, pandangannya semakin lama semakin mengabur. Perlahan, Kana menyentuh keningnya yang pening. Sengatan panas matahari semakin membuat Kana tidak fokus. Hingga akhirnya, seluruh pandangannya menghitam dan Kana tidak sadarkan diri. Ia tergeletak di lapangan. *** Kana mengerjapkan matanya untuk bisa pulih dari kesadarannya. Pandangannya yang masih mengabur perlahan bisa pulih seperti semula. Tapi, pusing yang ia rasa belum juga menghilang, dan itu membuat Kana lagi-lagi meringis dan memegangi kepalanya. "Jangan gerak dulu, tidur aja." Sebuah suara menginterupsi gendang telinga Kana. Ia langsung menoleh ke samping. Dan keningnya kemudian menyerngit. "Elang?" tanya Kana dengan suara serak, yang dibalas cowok itu dengan cengiran lebarnya. Kana memejamkan matanya sejenak, lalu pandangannya beralih menatap ke sekelilingnya. Kana tahu betul ruangan ini, dirinya sedang terbaring di ranjang UKS. Dan Kana baru saja ingat jika waktu hukumannya berlangsung, dirinya pingsan saat putaran kedua. Buru-buru Kana mengerjapkan matanya dan berusaha untuk bangkit lagi, tapi lagi-lagi pergerakannya itu dicegah oleh Elang. "Kana mau ke mana? Udah di sini aja, Kana baru pulih, nanti sakit lagi. Elang sedih kalo Kana sakit soalnya," ujar Elang sambil masih memegangi lengan Kana. "Hukuman gue belum selesai," ujar Kana lirih. Elang menghela napas. Ia sudah tahu perihal Kana kenapa Kana bisa berada di sini, hal itu karena Kana terlambat dan dihukum untuk berlari. Informasi itu ia dapatkan dari teman kelasnya yang terlambat juga pergi ke sekolah. "Kana nggak usah khawatir soal itu, Bu Mumun udah ijinin Kana istirahat dan nggak usah lanjutin hukumannya," jawab Elang sambil tersenyum manis. "Mending Kana di sini dulu, ya? Istirahat yang cukup biar Kana punya tenaga, terus gombalan Elang biar bisa Kana terima hehehe." Kana hanya memandangi Elang lurus-lurus tanpa ada niatan membalas ucapan cowok itu. Benar, ia masih terlalu lemah untuk bangkit dan berlari. Jangankan berlari, berjalan saja pasti susah rasanya. Elang menyapu pandangan ke meja kecil yang berada di samping ranjang. Lalu ia mengambil air putih dari sana. "Kana minum dulu nih biar mukanya nggak pucet," ujarnya sambil membantu Kana meminum air putih. Setelah selesai, Elang kembali meletakkan gelas tersebut di tempat semula. Dan sorot matanya pun kembali kepada Kana. "Makasih." Elang tersenyum lebar, lalu mengusap pelan puncak kepala cewek itu. "Sama-sama tuan putri yang paling cantik." Kana hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis. Sementara Elang memandang wajah pucat cewek itu. "Bibir Kana juga pucet banget lho, kayaknya minta dicium." "Modus!" murka Kana dengan wajah juteknya. Elang terkekeh lagi, "udah bisa marah nih, kayaknya sakitnya udah sembuh." Kana mengangguk kecil. "Kayaknya gitu, udah mendingan juga." "Pantes lah cepet sembuh, orang ada Elang ganteng yang nemenin Kana. Wajah ganteng Elang emang mujarab bikin orang langsung sembuh." Kana terkekeh kecil. "Apaan sih?" Elang nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Kenapa emangnya? Kana nggak mau ngaku soal kegantengan Elang yang tiada dua ini?" "Lo sinting ya lama-lama." "Ngaku aja." "Iya iya lo ganteng, nggak ada yang nandingin lo di sini. Yang ganteng cuma Elang doang." Kana mendelik sambil menggertakkan giginya. "Puas sekarang?" Elang tersenyum dan mengangguk semangat. Lalu ia mengangkat tangannya dan mencubit pipi Kana dengan gemas. "Puas banget pastinya!" "Idih, beneran gila nih anak." "Iya emang gitu, Elang tergila-gila banget sama Kana. Boleh dong kalo cium pipinya, kalo kepleset ke bibir sih Alhamdulillah. Berarti itu namanya rejeki hehehe." "Ish becanda mulu, kapan pernah serius?" Kana mencubit lengan Elang pelan. "Pernah kok," jawab Elang santai. "Kapan?" "Waktu malam Elang nembak Kana, tapi sayangnya ditolak." Pipi Kana langsung merona merah. Ia merasa malu sekaligus canggung. Kana kemudian menunduk untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Seharusnya ia tidak mengatakan hal itu. Akibatnya bakal seperti ini, Kana yang menanggung malu sendiri. "Kana pusing lagi hm? Kok diem aja?" tanya Elang lembut. Cowok itu menyentuh dagu Kana, lalu mengangkatnya agar tatapan Kana mengarah kepadanya. Senyuman Elang kembali terbit melihat Kana. Elang menyentuh pipi Kana pelan dengan gerakan lembut. Kana sendiri pun tidak menolaknya, ia merasa nyaman dengan sentuhan Elang. "Kana cantik," gumam Elang pelan, nyaris berbisik. Kemudian ia menyibak beberapa anak rambut ke belakang daun telinga Kana. "Nggak ada sesuatu yang lebih enak dipandang selain wajah Kana," lanjutnya pelan, semakin membuat Kana tersipu dan dibuat melayang. Sorot mata Elang semakin serius. Ia memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Elang benar-benar suka Kana, Elang sayang Kana. Elang pengin bahagia bareng Kana terus." Elang memberikan jeda sejenak. "Keinginan Elang saat ini cuma itu, pengin lihat Kana tiap hari senyum. Kana mau nggak jadi pacarnya Elang?" *** Semangat Elang masih belum surut meskipun Kana menolak cintanya untuk yang kedua kalinya. Elang hanya bisa tersenyum tipis ketika Kana menggeleng dan meminta maaf karena tidak bisa menuruti kemauan Elang. Cowok itu hanya terkekeh dan mengacak puncak kepala Kana untuk menanggapinya. Entah kenapa Elang sangat yakin apabila suatu saat nanti Kana bakal menerima dirinya. Oleh karena itu ia tidak akan menyerah. Kana adalah dunianya, dan Elang tidak bisa jauh-jauh dari cewek itu. Menurut Elang, Kana itu seperti kutub selatan magnet, sedangkan dirinya adalah kutub Utara. Perbedaan itu yang akan membuat mereka menyatu. Tidak apa jika untuk saat ini Kana belum siap menerima Elang, mungkin saja cewek itu belum siap dan masih ragu. Elang bisa memakluminya dan tidak akan marah. Itu semua hak Kana. Elang hanya bisa berdoa. Penolakan Kana membuat Elang termotivasi untuk terus berjuang dan tidak kenal rasa lelah. "Entah kenapa Elang yakin kalo sebenernya Kana juga suka Elang, tapi Kana masih ragu dan belum siap. Nggak pa-pa, Elang bakal nunggu dan coba lagi lain kesempatan." Diatas motornya yang membelah kepadatan jalan ibu kota, Elang bergumam. Elang mengendarai motornya dengan kecepatan sedang sambil curi-curi pandang menatap pemandangan kanan kirinya. Jalan ibu Kota cukup lengang, membuat Elang cukup bebas berkendara tanpa harus berdesakan dan merasa gerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja, tanpa Elang duga-duga, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Seorang laki-laki baru saja keluar dari mobilnya dan hendak masuk ke dalam kafe di pinggir jalan yang tempatnya memang luas dan banyak pengunjung. Elang melambatkan laju motornya. Dan kali ini Elang menurut apa yang hatinya katakan, ia melaju dan memberhentikan motornya tepat di samping mobil laki-laki yang ia lihat barusan. Tidak salah lagi, ini mobil bapak! Walaupun Emak dan Bapak sudah pisah, tapi Elang tidak akan membenci salah satu diantara mereka. Hanya saja, ketika kemarin Elang menolong Bapak dari preman, ia sangat shock akan dipertemukan secara tidak terduga seperti itu. Hingga Elang langsung cabut karena masih kaget. Elang memutuskan untuk tetap di tempat. Cukup lama ia menunggu di atas motornya, dan akhirnya yang ia tunggu-tunggu muncul juga. Terlihat laki-laki yang terlihat masih gagah itu berjalan ke arahnya, ralat, menuju mobilnya. Otomatis Elang langsung berdiri. Kemudian, Elang bisa merasakan jika mata Bapak menatapnya. Elang diam di tempat, mengunci mulut tanpa menyapa. Lain lagi dengan laki-laki yang berdiri lima meter di hadapan Elang, yang nampak kaget. "E-elang?" Bibir Bapak bergetar, lalu sedetik kemudian ia segara mempercepat langkah, menghampiri anak semata wayangnya yang beberapa tahun ini ia tidak lihat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD