“Kau memanfaatkan adikku. Dasar gadis licik,” cetus Ares dengan nada sinis sambil bersedekap di samping rak buku, ruang perpustakaan rumahnya.
Crystal duduk di birai jendela yang terbuka. Pipi seputih mutiaranya bercahaya diterpa sinar bulan. Ia melontarkan senyuman pada Ares. “Itu hanya perasaanmu, Ares. Aku sudah berteman lama dengan Athena. Semua ini idenya.”
“Apa?!”
“Iya. Ini ide adikmu. Aku hanya ingin mewawancaraimu sebentar saja.”
“Baiklah. Kau punya tiga menit untuk mewawancaraiku. Dimulai dari sekarang.”
Mata Crystal berbinar terang. Ia turun dari jendela lalu mengaduk-aduk isi slingbag mencari ponselnya.
Ares melirik jam tangannya. “Waktumu sudah berkurang empat puluh detik.”
“Sebentar. Aku belum menemukan ponselku.”
“Kalau begitu kau cari saja ponselmu dan wawacara ini batal.” Ares memutar badannya.
“Tidak, tidak,” cegah Crystal. Tanpa ia sadari jemari lentiknya sudah meremas lengan kaus hitam Ares dan membuat pemuda 18 tahun itu menatapnya geram.
Crystal melepas remasannya dari kaus Ares. Ia memandang gugup pria itu. Wajah memukau dan sorot mata tajam Ares membuat jantungnya berdegup kencang. Seluruh urat sarafnya menegang dan mulutnya mengatup rapat seakan terhipnotis.
“Waktumu tinggal dua menit.” Ares memperingati.
Crystal mengerjap, mengembalikan kesadarannya. “Oke, oke. Apa pendapatmu tentang kemenangan tim football sekolah kita di pertandingan kemarin?”
“Kami hebat,” balasnya singkat.
“Apa yang ingin kau sampaikan pada adik-adik kelasmu atau calon pemain football untuk tim sekolah kita?”
“Berlatihlah dengan keras,” sahut Ares sambil melirik lagi jam tangannya. “Waktumu sudah habis. Silakan keluar.”
“Tapi—“
“Tidak ada tapi. Pintunya di sana.” Ares menunjuk ke arah pintu mengusir Crystal.
“Baiklah. Terima kasih.” Crystal meninggalkan ruangan itu dengan kesal tapi juga bangga. Mungkin ia satu-satunya gadis yang pernah berbicara sangat dekat dengan pria itu selain adiknya, pikir Crystal.
Keesokan harinya, Mark melontarkan senyuman meledek pada Ares saat ia memasuki kelas. Pria muda berambut cepak dan berkulit hitam manis itu tampak tidak bisa menahan tawa melihat sahabatnya.
“Kenapa kau menertawaiku, Mark? Apakah ada yang salah denganku?” Dahi Ares berkerut dan matanya memeriksa keadaan dirinya, ke bawah, kiri, dan kanan tubuhnya yang terbalut kaus Polo Sport abu-abu dan celana jeans biru tua.
“Tidak. Hanya lucu saja.”
Ares menajamkan pendengarannya. Degup jantung Mark terdengar lebih cepat dari detak jantung manusia normal. Temannya itu sedang senang. Ia bertanya lagi pada Mark dengan nada menekan, “Kenapa kau tertawa?”
“Lihat ini!” Mark memberikan majalah sekolah dengan sampul foto Ares yang mengenakan seragam football.
“Damn!” Ares membuka lembar demi lembar majalah yang diproduksi terbatas hanya untuk konsumsi siswa dan guru SMA Summerdale. “Ini tidak bisa dibiarkan.”
Ares memutar tubuhnya. Ia berjalan ke luar dari kelas. Kekesalan membuat wajahnya memerah. Tidak. Itu bukan perasaan kesal, tapi malu. Ares tidak bisa menerima isi artikel dalam majalah sekolah tersebut.
“Hei, bro. Kau mau ke mana?” Mark berusaha mengikuti langkah Ares.
“Aku akan membereskan masalah. Kau sebaiknya menungguku di kelas.”
“Kau tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh, 'kan?”
“Kita lihat saja nanti.” Ares menghentikan langkahnya lalu memalingkan pandangannya pada Mark yang terengah-engah di sampingnya. “Kau sebaiknya tunggu aku di kelas jika tidak ingin terkena masalah.”
“Oke. Aku akan menunggumu di kelas. Saranku, beri saja gadis itu ciuman. Dia pasti akan diam dan tidak berulah lagi.” Mark tertawa.
“Sialan kau, Mark, tapi saranmu akan kupertimbangkan.” Ares memperlihatkan deretan gigi putihnya, tersenyum lebar.
Ares menuruni anak tangga yang membelah ruang kelas dan ruangan locker siswa. Di pergantian jam seperti ini biasanya banyak siswa yang kembali ke ruang locker untuk mengambil buku, perlengkapan, atau hal lain yang berhubungan dengan mata pelajaran berikutnya.
Ares masih mengingat wangi parfum dan aroma tubuh Crystal setelah semalam mereka berbincang. Penciumannya yang tajam menjelajah ruang locker. Ada banyak wewangian serupa yang tercium olehnya, namun yang bercampur dengan aroma tubuh Crystal berada tepat di arah jam 11 jarum jam. Ares menuju sebuah pintu locker yang terbuka di mana ada seseorang di baliknya. Ia berdiri di samping pintu locker yang terbuka dan berdeham.
Crystal terpangah. Tubuhnya tiba-tiba menegang dan jantungnya berdegup kencang. Ia menutup pelan-pelan pintu lockernya. Sedikit demi sedikit wajah Ares terlihat. Crystal hampir kesulitan bernapas melihat kilat geram di mata Ares.
“Ares?”
“Apa kau sengaja ingin mencari masalah denganku, Nona Kings?”
Crystal membulatkan mata hijaunya. “Apa maksudmu?”
Ares memukulkan dengan pelan majalah yang terlipat di tangannya ke pintu locker Crystal. Tak memedulikan banyak mata yang memandang, ia terus melancarkan aksi intimidasinya pada gadis itu. “Apa yang kau tulis di sini? Kau pembohong besar, Nona Kings.”
“Pembohong?” Crystal mengembus napas kasar. “Seharusnya kau berterima kasih padaku, Tuan Lioncourt.”
“Berterima kasih karena kau sudah menulis bahwa aku seorang yang ramah dan tidak sombong?” Ares melayangkan pandangan skeptisnya.
“Apakah kau keberatan aku menulis tentang dirimu seperti itu?”
“Itu sama sekali bukan aku.”
“Baiklah. Aku akan meralatnya. Aku akan menulis ulang artikel tentang kapten tim footbal sekolah ini yang sombong, tidak punya hati, dan tidak pernah menghargai orang lain. Itu yang kau mau?”
Ares menggertakkan giginya. Gadis itu sama sekali tidak terimidasi oleh sikapnya. Ia bahkan tidak mendengar detak jantung yang meningkat selama mereka berhadapan dan beradu argumen.
“Kau sangat menyebalkan, Nona Kings.”
“Terima kasih atas pujiannya, Ares de Lioncourt.” Crystal tersenyum sinis.
“Jangan pernah lagi menulis artikel tentang aku.” Ares memutar tubuhnya lalu meninggalkan Crystal.
Ares semakin menjauh dari Crystal, tapi pikirannya masih tertuju pada gadis itu. Ada sesuatu yang menurutnya tidak masuk akal. Ia merasakan ketenangan Crystal yang sangat dalam saat mereka berada di posisi yang seharusnya menegangkan untuk mereka berdua.
=====
Alice Gio